16 Mei 2009

Sebuah pepatah mengatakan :
Dalam hidup ini jadilah MANUSIA YANG MEMBERI SEBANYAK-BANYAKNYA, DAN JANGAN MENERIMA SEBANYAK-BANYAKNYA.

Sebagai Makhluk Allah SWT, manusia tercipta dengan karunia terbesar dan paling sempurna dengan potensi-potensi fitrah yang terdapat pada dirinya. Ia terkaruniai potensi ; pendengaran, penglihatan dan perasaan. Ketiga potensi yang ada pada diri manusia inilah yang menjadikan manusia dapat memperoleh ilmu pengetahuan.

Sebagai Makhluk Allah SWR, manusia tercipta untuk dapat menjadi Khalifah fii al ardl (wakil Allah SWT di Bumi). Seyogyanya manusia tidak perlu angkuh, sombong wa 'ala alihi wa ashhabihi 'ajma'in. Manusia harus dapat hidup dapat berdampingan dan saling memberi antar sesamanya. Namun alangkah lebih berbahagia jika ia dapat selalu memberi kepada sesamanya. "Tangan di atas lebih mulia dari pada tangan di bawah", begitu kata Nabi SAW. Dalam Al Qur'an juga telah disebutkan : "Maka barang siapa berbuat suatu kebaikan walau hanya sebiji dzarrah, maka ia akan mendapatkan balasan dari Allah SWT berlipat ganda. Namun jika ia menanam benih keburukan, ia akan menuai badai keburukan yang ia tanam sendiri." SUBHANALLAH.....

Pancasila Sebagai Dasar Negara (Menegaskan Kembali Peran Pancasila Dalam Pendidikan)

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Menegaskan Kembali Peran Pancasila dalam Pendidikan
Oleh : Muhammad Subkhan


Pendahuluan
Pasca tumbangnya Orde Baru tahun 1998 dan dilanjutkan dengan era reformasi yang ditandai dengan kebebasan disegala bidang, kebebasan tersebut juga turut dinikmati beberapa kelompok Islam yang konservatif dan atau radikal. Mereka sekarang bebas untuk secara lantang dan nyaring (poten) dan bahkan secara sembunyi-sembunyi (laten) memperjuangkan (kembali) kepentingan politis dan ideologis mereka. Ironisnya, perjuangan besar itu bermuara pada obsesi mengganti Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, meski melalui banyak varian bentuk, ide, gagasan dan cita-cita yang dikembangkan dari obsesi tersebut. Varian tersebut antara lain pendirian khilafah Islamiyah, pendirian negara Islam, pelaksanaan syariat Islam dan sebagainya. Apalagi, tumbangnya Orde Baru juga dibarengi dengan problem berupa meluasnya krisis multi-dimensi, baik sosial, politik, ekonomi dan sebagainya, sehingga kondisi tersebut semakin melegitimasi obsesi mengganti Pancasila, karena dianggap telah gagal membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Selanjutnya, mereka menganggap bahwa Islam dalam segala varian bentuknya merupakan solusi atas segala problem yang ada. Oleh karena itu slogan perjuangan mereka jelas, misalnya al-Islamu huwa al-halu (Islam adalah solusi), al-Islamu huwa al-dinu wa al –dawlah (Islam adalah agama sekaligus negara).

Salah satu kelompok Islam tersebut, misalnya, secara lantang menyatakan bahwa tujuan dan cita-cita akhir mereka adalah mendirikan khilafah Islamiyah di bumi Indonesia. Mereka tanpa ragu menyebut bahwa khilafah Islamiyah adalah sistim terbaik yang bisa menjadi solusi bagi segala problem yang melanda Indonesia. Para anggota kelompok tersebut juga dengan sabar membangun agenda politik mereka, lewat kampanye dan penggalangan massa dikampus-kampus dan masjid-masjid. Secara umum mereka menolak cara-cara kekerasan, meskipun juga menolak demokrasi yang mereka anggap sebagai sistim thaghut (tiran) yang tidak sesuai dengan Islam. Bagi mereka, khilafah (dan bukan negara Pancasila) adalah suatu keniscayaan.
Ada juga satu kelompok Islam yang sering ditunjuk memiliki relasi pengkaderan milisinya dengan kelompok para teroris. Mereka secara nyaring menyatakan bahwa Indonesia haruslah berlandaskan syariat Islam (dan atau menjadi negara Islam). Jika Indonesia menolak dilaksanakannya syariat Islam, sebaiknya NKRI bubar saja. Obsesi mereka jelas, yakni mengubah platform negara yang pluralis berdasarkan Pancasila ini dengan syariat Islam. Pentolan kelompok Islam ini bahkan di masa Orde Baru, terkenal dengan amat sangat gigih menentang Pancasila, bahkan sampai “bekerjasama” dengan kelompok garis keras dari negara Islam lain di Pakistan, Afganistan, Iran, dan Malaysia.

Di luar kelompok di atas, ada juga kelompok yang berusaha mengganti dasar negara Pancasila, tetapi secara sembunyi-sembunyi. Kelompok ini memang tak pernah mengeluarkan suaranya untuk menggulingkan Pancasila. Yang pertama-tama mereka lakukan adalah menjadi mayoritas, meski harus mengikuti cara-cara yang demokratis seperti pembentukan partai politik, menggalang massa melalui pengajian-pengajian dan pertemuan-pertemuan. Sebelum menjadi mayoritas, mereka merasa perlu untuk “menyembunyikan” cita-cita dan tujuan akhir mereka. Mereka menganggap bahwa ide negara Islam hanya akan dapat direalisasikan jika masyarakat secara mayoritas telah siap untuk mengganti dasar negara mereka.

Apapun varian bentuk, ide, gagasan, dan cita-cita kelompok-kelompok di atas, menurut saya, satu hal yang bisa dikatakan adalah bahwa mereka sebenarnya telah dan akan merongrong sendi-sendi yang paling fundamental/asasi dari negara ini, dan itu artinya mereka tidak hanya sedang dan akan menggerogoti NKRI, namun juga sedang memberikan suplai “vitamin” berlabel Islam pada para peserta didik sehingga pada gilirannya peserta didik akan dapat meneruskan dan memperkuat barisan mereka guna mewujudkan cita-cita pendirian negara Islam Indonesia dan menolak Pancasila.


MAKNA PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila, jadi bukan negara Islam, meski bukan negara sekuler. Kalimat ini, bagi kelompok Islam seperti di atas, mungkin masih dirasa ambigu dan memang bagi mereka yang tidak familiar dengan problem ideologi suatu bangsa, kalimat diatas akan terdengar absurd. Akan tetapi, fakta historis telah membuktikan bahwa itulah cara terbaik (the right way) bagi masyarakat Indonesia untuk mendiskripsikan ideologi negara mereka. Sebab, kalimat di atas merupakan ringkasan dari kompromi dan persetujuan (yang sebelumnya amat sulit dicapai) diantara para founding fathers pendiri negara ini. Kesulitan ini mengingatkan kita pada beberapa bulan sebelum dan sesudah kemerdekaan negara dideklarasikan pada 17 Agustus 1945, dan itu bermula ketika para anggota Dokuristu Zumbi Koosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, disingkat BPUPKI), yang disponsori pemerintah kolonial Jepang berdebat tentang dasar ideologi-filosofis yang akan digunakan negara kita.

Pada 9 April 1945 BPUPKI resmi dibentuk sebagai realisasi janji Jepang untuk memberi kemerdekaan pada Indonesia sesuai pengumuman Perdana Menteri Koiso pada 9 September 1944. Anggota BPUPKI dilantik pada 28 Mei, diketuai Radjiman Wedyodiningrat, dan antara 29 Mei sampai 1 Juni 1945 mengadakan sidang pertamanya. Hal-hal yang dibicarakan pada sidang tersebut berkisar pada persoalan tentang bentuk negara, batas negara, dasar negara dan hal lain terkait pembentukan konstitusi bagi sebuah negara baru. Pembicaraan tentang hal-hal itu berjalan lancar, kecuali tentang dasar negara yang berlangsung tegang dan panas.

Ada dua aliran yang muncul yakni golongan Islamis yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan golongan nasionalis (yang kebanyakan anggotanya juga beragama Islam), yang menginginkan pemisahan urusan negara dan urusan Islam, pendek kata, tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Golongan nasionalis menolak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam karena melihat kenyataan bahwa non-Muslim juga ikut berjuang melawan penjajah untuk mencapai kemerdekaan. Golongan ini juga menegaskan bahwa untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam akan secara tidak adil memposisikan penganut agama lain (non-Muslim) sebagai warga negara kelas dua.

Bagi tokoh golongan nasionalis seperti Sukarno, ia berpendirian bahwa Islam tidak relevan sebagai dasar negara karena rasa persatuan yang mengikat bangsa dan melahirkan negara ini adalah spirit kebangsaan (yang tercetus pada 1928). Dasar kebangsaan bukan dalam pengertian yang sempit sehingga mengarah kepada chauvinisme, melainkan dalam pengertian yang menginternasionalisme. Tanpa pelembagaan Islam-pun, dalam negara sebenarnya aspirasi umat Islam bisa terwadahi melalui forum demokrasi. Di sana ada asas musyawarah untuk mufakat. Dalam forum inilah, segala aspirasi rakyat dapat disalurkan. Adapun dua asas lagi yang terakhir menurut Sukarno, yakni kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Kesejahteraan sosial dimaksudkan agar demokrasi yang dibangun bukanlah demokrasi politik semata, melainkan juga juga demokrasi yang menyangkut kesejahteraan sosial. Sedang ketuhanan merupakan upaya untuk tetap memelihara nilai luhur dan keyakinan spiritual yang dimiliki warga negara. Ini adalah bagian dari usul Sukarno tentang Pancasila sebagai dasar ideologi negara dalam pidatonya pada 1 Juni 1945. Urutannya yakni: kebangsaan, perikemanusiaan, permufakatan, kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Bagi Sukarno, Pancasila ini dapat disarikan menjadi trisila yakni: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan, yang dari trisila ini bahkan bisa diperas lagi menjadi ekasila yakni: gotong-royong.
Tokoh nasionalis lainnya seperti Supomo, Muhamad Yamin dan Muhamad Hatta, mereka berpendirian sama, bahwa negara ini didirikan atas dasar kebangsaan (integral), perikemanusiaan, peri ketuhanan, perikerakyatan dan kesejahteraan rakyat. Menurut Supomo, (yang banyak di ilhami filsafat Hegel dan Spinoza ini), negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Intinya bahwa negara harus mengabstraksikan pengayoman seluruh golongan masyarakat (manunggal).
Isu tentang dasar negara telah memaksa para founding fathers mengalami masa-masa sulit. Kuatnya argumen kedua golongan diatas telah mempersulit kata mufakat pada sidang pertama mereka pada 29 Mei 1 Juni 1945. Walhasil, dalam sidang itu dasar negara belum berhasil diputuskan. Pembahasan dilanjutkan dalam panitia kecil yang terdiri dari 9 orang. Setelah melewati perdebatan panjang akhirnya sebuah kompromi politik sebagai modus vivendi (kesepakatan luhur) dalam bentuk Piagam Jakarta dapat dicapai pada 22 Juni 1945. Jika mencermati isi Piagam Jakarta maka negara Indonesia akan dibentuk sesuai isi pancasila seperti yang ada sekarang, hanya sila kesatu berbunyi : Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya (7 kata sila 1). Dalam sidang kedua BPUPKI pada 10-16 Juli 1945, isi Piagam Jakarta ternyata masih mengundang protes, terutama dari Latuharhary, Wongsonegoro, dan Hussein Djajaningrat. Mereka menilai bahwa tambahan 7 kata dalam sila 1 (Ketuhanan) akan berpotensi melahirkan tirani mayoritas dan fanatisme. Akan tetapi, protes tersebut bisa diredakan oleh Sukarno dan para anggota sidang sepakat untuk kembali kepada kesepakatan bersama sesuai hasil sidang pertama pada 22 Juni 1945.

Selanjutnya pada 17 Agustus 1945, seluruh rakyat Indonesia berada dalam perasaan suka cita menyambut penuh antusias Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Namun demikian, ibarat duri dalam daging, UUD 1945 dengan Piagam Jakarta sebagai preambule-nya masih tetap dirasakan sebagai sesuatu yang mengganggu sebagian anggota BPUPKI, terutama mereka yang berasal dari kelompok agama minoritas. Duri yang dimaksud adalah tambahan 7 kata dalam sila 1 (ketuhanan). Sehari sesudahnya, yakni pada 18 Agustus 1945, alasan dibalik kenyataan di atas menjadi jelas. Ketika ada pertemuan panitia penyusun draft UUD, informasi datang dari Tokoh Kristen asal Sulawesi Utara yakni AA Maramis yang menyatakan bahwa ia secara serius telah memprotes kalimat tambahan 7 kata sila 1 Pancasila dalam Piagam Jakarta. Muhammad Hatta, ketua pertemuan rapat, setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan dan Kasman Singodimedjo, dua tokoh muslim yang menonjol, menghapus 7 kata itu. Dalam hal itu, sebagai hasil usulan yang dibuat oleh Ki Bagus Hadikusumo (yang kemudian menjadi ketua Muhammadiyah), sebuah kalimat ditambahkan dalam sila 1 dari kata Ketuhanan, menjadi kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam pandangan Ki Bagus Hadikusumo, kalimat diatas menegaskan aspek monoteisme dalam prinsip kepercayaan kepada Tuhan dan hal itu sesuai dengan ajaran Islam tentang tauhid. Akan tetapi untuk kebanyakan orang Indonesia, UUD dengan sila 1 Pancasila seperti itu dianggap netral, karena meski telah menghilangkan aspek eksklusivisme Islam seperti pada Piagam Jakarta, juga tidak sepenuhnya bisa dianggap mendukung sekulerisme. Dalam pada itu, sebenarnya makna perubahan konstitusi pada saat-saat kritis seperti diatas cukup jelas, yakni bahwa setiap usaha untuk mengubah Indonesia menjadi negara Islam menjadi tidak mungkin, karena hal itu berlawanan dengan konstitusi dasar yang telah disepakati.
Maka dilihat dari kedudukannya, Pancasila memiliki kedudukan yang tinggi, yakni sebagai cita-cita dan pandangan hidup Bangsa Indonesia. Sedangkan dilihat dari fungsinya, Pancasila memiliki fungsi utama sebagai Dasar Negara. Sementara dilihat dari segi materinya, Pancasila digali dari pandangan hidup Bangsa Indonesia, yang merupakan jiwa dan kepribadian Bangsa Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pancasila terbuat dari materi atau bahan “asli dalam negeri” yang murni serta merupakan kebanggan bangsa yang patriotik.


PANCASILA Menjiwai Nilai Pendidikan Nasional
Ada sebagian kecil kaum Muslim, yang memandang bahwa perubahan Pancasila dari Piagam Jakarta dengan eksklusivitas Islamnya, menjadi seperti yang ada sekarang, secara khusus, sebagai wujud kekalahan politik wakil-wakil Muslim, dan secara umum, sebagai simbol kekalahan kaum Muslim di Indonesia.

Akan tetapi, tidaklah demikian dengan pandangan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Ia justru memandang bahwa Pancasila versi yang ada sekarang, adalah wujud kemenangan politik wakil-wakil Muslim, dan bahkan kemenangan kaum Muslim di Indonesia. Menurut Cak Nur, dari pandangan bahwa Islam menghendaki para pengikutnya untuk berjuang bagi kebaikan universal (rahmatan li al-alamin), dan kembali ke keadaan nyata Indonesia, maka sudah jelas bahwa sistim yang menjamin kebaikan konstitusional bagi keseluruhan bangsa ialah sistim yang telah kita sepakati bersama, yakni pokok-pokok yang terkenal dengan Pancasila menurut semangat UUD 1945. Cak Nur menegaskan bahwa hal stereotipikal ini penting dan terpaksa harus sering dikemukakan, terutama karena hal itu menyangkut persoalan pokok yang untuk sebagian masyarakat Muslim dianggap belum selesai benar. Padahal menurut Cak Nur, kaum Muslim di Indonesia seharusnya tidak perlu menolak Pancasila (dan UUD 1945) karena ia sudah sangat Islami. Sifat Islami keduanya didasarkan pada 2 pertimbangan yakni: Pertama, nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran agama Islam, dan Kedua, fungsinya sebagai noktah-noktah kesepakatan antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan sosial-politik bersama.

Kedudukan serta fungsi Pancasila dan UUD 1945 bagi umat Islam Indonesia menurut Cak Nur, sekalipun tidak dapat disamakan, sebenarnya dapat dianalogkan dengan kedudukan serta fungsi dokumen politik pertama dalam sejarah Islam (yang kini dikenal sebagai Piagam Madinah/ mitsaq al-madinah) pada masa-masa awal setelah hijrah Nabi Muhammad SAW. Jadi, segera setelah Nabi SAW tiba di Yastrib (Madinah) pada 622, beliau membuat perjanjian antara orang-orang Muhajirin (orang Islam Mekkah yang ikut hijrah bersama Nabi), Ansar (penduduk Muslim Madinah) dan orang-orang Yahudi. Perjanjian inilah yang disebut dengan Piagam Madinah.

Pancasila melalui slogannya Bhineka Tuggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua), mengandung makna bahwa meskipun masyarakat Indonesia sangatlah plural baik dari segi agama, suku bangsa, bahasa dan sebagainya tetapi mereka diikat dan disatukan oleh sebuah landasan hidup bersama (common platform) yakni Pancasila. Secara serupa, Piagam Madinah juga merupakan rumusan tentang prinsip-prinsip kesepakatan antara kaum Muslim Madinah dibawah pimpinan Nabi SAW dengan berbagai kelompok non-Muslim di kota itu untuk membangun tatanan sosial-politik bersama.

Di dalam Piagam Madinah, salah satunya, dinyatakan tentang hak kewarganegaraan dan partisipiasi kaum non-Muslim di kota Madinah yang dipimpin Nabi SAW. Kaum Yahudi yang semula merupakan himpunan suku-suku juga diangkat statusnya oleh Piagam itu menjadi warga negara yang sah. Jadi, dengan Piagam itu Nabi ingin memproklamirkan bahwa semua warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, adalah satu bangsa atau umma wahida dan bahwa mereka semua memiliki hak dan kewajiban yang sama. Memang, setelah terjadinya peristiwa-peristiwa pengkhianatan Yahudi tersebut, resminya Piagam Madinah itu sudah tidak berlaku lagi, namun prinsip-prinsipnya sebenarnya tetap sah dan diikuti ditempat lain. Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa ketika orang-orang Arab melakukan gerakan-gerakan pembebasan ke daerah-daerah luar Arabia, dan mendapatkan masyarakat yang plural/majemuk, maka yang pertama kali mereka lakukan adalah mengatur hubungan antar kelompok itu dengan mencontoh praktek dan kebijaksanaan Nabi sewaktu di Madinah dahulu.
Idealisasi pendidikan kita tertuang dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Maka jika hal di atas benar-benar ingin menjadi sesuatu yang diwujudkan dalam bentuk nyata, sudah barang tentu praktisi pendidikan harus melakukan semacam reorientasi dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan kita telah terlanjur (untuk tidak dikatakan terperosok) pada orientasi perolehan target hasil akhir secara instan yang hanya diukur dengan angka-angka mati. Reorientasi harus diarahkan pada idealisasi pendidikan kita yang berorientasi pada proses dan diukur dengan terciptanya pembentukan karakter dan perilaku peserta didik.
Demikian pula terjadi pada guru yang memang diakui atau tidak, profesi guru adalah profesi yang seringkali tidak diukur dengan untung rugi, tetapi profesi yang lebih berpijak kepada sebuah pepatah melayu kuno, yaitu : “Jadilah orang yang memberi sebanyak-banyaknya, bukan orang yang menerima sebanyak-banyaknya.”
Kalimat “ menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab” adalah sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional dengan mengedepankan penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pada gilirannya, peserta didik diharapkan akan pemegang tongkat estafeta amanah untuk pembangunan bangsa ke depan yang “terlanjur” tidak hanya dimiliki dan dikuasai oleh umat Islam saja.

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis sampai pada kesimpulan bahwa, sikap umat Islam Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan. Dari sudut pandang itu pula kita harus menilai kesungguhan para founding fathers dan para tokoh Islam yang selalu menegaskan bahwa antara Islam serta kaum Muslim Indonesia dan Pancasila serta UUD 1945 tidak ada masalah. Kesulitan-kesulitan sosial-politik yang datang dari kalangan Muslim, tidak harus selalu dilihat dalam kerangka hubungannya dengan Pancasila dan UUD 1945, melainkan sebaiknya juga dilihat kaitan-kaitan nisbinya saja serta dicarikan pemecahannya secara pragmatis. Misalnya, dipertimbangkan bahwa kesulitan serius datang dari kalangan Islam karena memang sebagian besar rakyat beragama Islam, dan kesulitan yang sama atau sebanding juga datang dari kalangan non-Muslim. Kecenderungan untuk secara gampang mencari keterangan atas suatu kesulitan sosial-politik yang datang dari suatu kelompok dengan stereotipikal mengkaitkannya kepada hal-hal yang prinsipiil seperti Pancasila dan UUD 1945 adalah satu petunjuk kemampuan berpikir yang sederhana dan ketidakberanian menghadapi kenyataan persoalan. Atau, mungkin juga hal itu dilakukan karena mengharap keuntungan sosial-politik dengan mudah, akan tetapi, dengan akibat bahwa kerusakan negara menjadi semakin parah dan persoalan yang sebenarnya tidak terselesaikan.
Dengan adanya hal tersebut, sudah semestinya kemajemukan bangsa Indonesia harus disikapi secara arif dengan mengedepankan nilai-nilai persatuan dengan tidak mengedepankan ego atas nama etnis, ras dan agama masing-masing. Inilah yang mesti dijadikan sebagai salah satu pioneer dalam pendidikan di Indonesia supaya bangsa Indonesia dapat kembali bangkit dari keterpurukan dan krisis multidimensi.

Penulis adalah Pecinta "Demokrasi dan Alam Indonesia"
Pengampu Mata Diklat PAI di SMK Negeri 1 Tonjong – Brebes – Jawa Tengah

DAFTAR BACAAN

1. Nurcholish Madjid, (2003), Islam and the State in Indonesia, dalam Ihsan Ali Fauzi (ed), 2003, The True Face of Islam, 2003, Jakarta: Voice Center Indonesia

2. Nurcholish Madjid,(1991), Agama dan Negara dalam Islam, seri KKA No. 55/Tahun V/1991

3. Nurcholish Madjid, Mohamad Roem, (1997), Tidak Ada Negara Islam, Surat-surat politik Nurcholish Madjid-Muhamad Roem, Jakarta: Penerbit Djambatan

4. A Syafii Maarif, (2006), Tragedi Pancasila, dalam harian Republika, Edisi Selasa, 30 Mei 2006.
5. Darji Darmodiharjo, (1995), Orientasi Singkat Pancasila, dalam Santiaji Pancasila (Suatu Tinjauan Filosofis, Historis dan Yuridis Kontitusional), Ed.Darji Darmodiharjo, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

6. Kaelan, MS., (2004), Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta,

7. AG. Pringgodigdo, (1995), Perjuangan Bangsa Indonesia Menegakkan Pancasila dalam Masa Pendudukan Jepang, dalam Santiaji Pancasila, Ed. Darji Darmodiharjo, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

8. Pramono U. Tanthowi, (2005), Kebangkitan Politik Kaum Santri (Islam dan Demokratisasi di Indonesia 1990-2000), PSAP, Jakarta

ILMU DAN KEUTAMAANNYA (Konsepsi Syaikh Az Zarnuzi)

ILMU DAN KEUTAMANNYA
Dalam Konsepsi Syaikh Az Zarnuzi
Oleh : Muhammad Subkhan

Muqaddimah
Manusia adalah sosok kehidupan dalam alam raya yang memiliki keunikan dan kemisteriusan. Secara fisik, tubuhnya sangat kecil jika dibandingkan dengan peranannya yang dimainkannya dalam kehidupan. Peristiwa-peristiwa alam seperti terbitnya matahari, bulan dan bintang, serta terjadinya bencana tetusan gunung berapi, banjir, badai, kebakaran telah menunjukkan betapa lemahnya fisik yang dimiliki manusia dalam mengatasi hal tersebut. Namun dengan kemampuannya secara ruhani, manusia dapat mengetahui gejala-gejala dan hukum-hukum berkaitan dengan peristiwa alam tersebut. Dengan kepemilikan potensi-potensi inilah, manusia menjadi bahan kajian dan penelitian oleh manusia itu sendiri.
Kemampuan manusia yang sadar akan dirinya (berada di alam raya) merupakan kontributor aspirasi manusia untuk menjelajah kehidupan dan berusaha menciptakan gagasan-gagasannya sepanjang pergumulannya dengan alam Allah ini.
Pengalaman dan kesadaran manusia inilah yang kemudian membuat manusia menjelma menjadi satu-satunya makhluk yang paling sibuk dan gelisah. Sebagai makhluk ragawi, manusia sibuk untuk menciptakan ide-ide sesuai dengan potensi dan perkembangannya, dan pengaplikasian dari ide-ide itulah yang membuat manusia gelisah sehingga menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang dinamis dan menempatkan dirinya selalu dalam proses perubahan.
Kedinamisan yang luar biasa milik manusia ini bukanlah terjadi tanpa proses atau terjadi dengan sendirinya. Pendidikan terjadi pada manusia inilah yang berperan aktif menciptakan manusia memiliki kemampuan tersebut. Karenanya, pendidikan diakui memiliki kedudukan tersendiri dan konteks psikologis dan sosiologis manusia.
Konsep fitah yang mendasari proses pendidikan manusia banyak disinggung di dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Dalam hal mana melalui konsep fitrah dalam Islam inilah yang senantiasa akan menjadi ketentuan normatif dalam mengembangkan kualitas manusia melalui pendidikan , yang dengan dilaksanakannya pendidikan, menurut Khursyid Ahmad, manusia dapat mengkomunikasikan kebudayaan atau warisan intelektualnya kepada generasi mendatang, serta memberikan inspirasi cita-cita hidupnya.

Manusia sebagai Peserta Didik dan Kewajiban Belajar

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاء هَـٰؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ ِ
( QS. 2 ; Al Baqarah : 31)
(31) Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!"

Arti Mufradat dan Penjelasan QS. 2 ; Al Baqarah : 31
علّم - : (Dia ; Allah) telah mengajarkan
الأسماء - : Nama-nama (dari benda-benda)
Ayat di atas terkait dengan ayat sebelumnya yang menerangkan bahwa Allah telah menetapkan manusia sebagai Khalifah di bumi, yaitu pada QS. 2 ; Al Baqarah : 30
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
(30) Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".

Dengan adanya ketetapan tentang tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah, maka sudah barang tentu Allah membekali Nabi Adam as dengan berbagai macam hal, karena kehidupan di bumi memerlukan potensi-potensi tertentu dalam rangka mengelola dan mengembangkannya. Maka علّم disini mempunyai makna mengajarkan atas الأسماء (nama-nama benda) secara substansial, baik dzat, sifat-sifatnya, karakteristiknya dan beberapa hal lain berkenaan dengan nama-nama benda yang diajarkan Allah kepada Nabi Adam as. Hal tersebut terkait pula pada segi pemaknaan علّم yang juga sebagai proses transformasi ilmu (pengetahuan), dimana kelengkapan pengetahuan ini adalah syarat mutlak bagi khalifah yang memiliki tugas berat untuk mengelola bumi beserta isinya. Pengetahuan yang merupakan persyaratan ini yang nantinya mesti dikembangkan oleh manusia yang tidak hanya sekedar diciptakan, namun ia juga harus mencerminkan sifat-sifat Ilahiyah pada aktualisasi kehidupannya di bumi, karena hakekatnya ia merupakan Wakil dari Allah.
Inilah yang membedakan antara manusia dengan hewan. Hewan tidak memiliki potensi selengkap yang dimiliki manusia. Maka manusia (yang walaupun) dari beberapa hal mirip dengan hewan, banyak yang menyebutnya sebagai “Animal Educandum” (makhluk yang dapat dididik).

Dalam ayat lain, yaitu QS. 16 ; An Nahl : 78
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿٧٨﴾

(78) Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

Arti Mufradat dan Penjelasan QS.16 ; An Nahl : 78
- لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا : Dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun
- السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ : Pendengaran, Penglihatan dan hati.
Manusia sejak lahir tidak mempunyai kemampuan dan daya apapun untuk dapat menyerap dan mendapatkan ilmu pengetahuan. Karunia Allah lah yang kemudian menjadikan manusia kemudian dapat mengetahui segala sesuatu. Namun untuk mendapatkan pengetahuan manusia membutuhkan perangkat yang mendukung untuk mendapatkannya. Surat An Nahl : 78 telah menunjukkan bahwa manusia telah dikaruniai beberapa perangkat, seperti ; pendengaran, penglihatan, dan hati.
Secara berurutan penyebutan perangkat-perangkat di atas menunjukkan fungsinya, dalam hal mana tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri tidak lain adalah untuk (tercapainya) suatu kebenaran. Pendengaran adalah fungsi pertama yang dijalankan manusia untuk menangkap pesan-pesan atau materi-materi yang ada di sekitarnya. Penglihatan adalah fungsi kedua yang melengkapi fungsi pertama, yang dengan dukungan fungsi kedus ini, maka dapat tertangkaplah pengetahuan-pengetahuan secara indrawi. Adapun hati berfungsi sebagai control, tentang bagaimana pengetahuan yang telah didapatkan bias terkonstruk dengan baik dalam aktualisasinya pada kehidupan nyata. Sehingga dengan fungsi terakhir tadi, manusia dapat mengetahui dan membedakan antara yang baik dan yang buruk, manusia dapat menentukan pilihan-pilihan tertentu dalam hajat hidupnya, dan manusia juga dapat mengaplikasikannya tampil sebagai citra dari sifat-sifat Ilahiyah sebagai sebuah bentuk konsekuensi atas tugas dan gelar yang telah diberikan kepadanya, yaitu Khalifah fi al Ardl. Konstruksi manusia merupakan yang paling ideal dan paling dianggap sempurna sebagai wakil Allah di bumi (walaupun hal ini pernah dipertanyakan oleh Malaikat seperti pada QS.2; Al Baqarah : 30). Melalui konstruksi sebagaimana tertuang dalam QS.16 ; An Nahl 78 di atas dan QS.23; Al Mu’minun : 12-14 dan QS.7; Al A’raaf : 172, serta maka jelas sekali, bahwa manusia terkonstruk atas dua macam unsur, yaitu unsur jasmani dan ruhani, materi dan immateri. Tubuh manusia berasal dari tanah dan ruh berasal dari substansi immateri di alam gaib. Dari padanya banyak ayat-ayat Al Qur’an yang diakhiri dengan sebuah kalimat tanya, “apakah kamu tidak memikirkannya?”. Hal itu menunjukkan bahwa manusia dituntut pula oleh Allah untuk memfungsikan potensi akalnya guna mencari kebenaran-kebenaran yang dapat diketahui melalui ayat-ayat qauliyah maupun kauniyah, karena yang terjadi bukanlah intuisi (belaka) atau mengetahui maupun memahami sesuatu tanpa dipikirkan
Maka melalui potensi-potensi yang telah dikaruniakan kepada manusia itulah yang menuntut manusia agar dapat belajar. Belajar memiliki arti penting dan mendapatkan tempat yang sangat mulia karena ia merupakan bagian terpenting dari kehidupan manusia. Proses ini pula yang membedakan antara manusia dengan hewan. Hewan juga “belajar”, tetapi lebih ditentukan oleh instink. Sedangkan manusia, belajar berarti rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna menuju kehidupan yang lebih berarti.

Keutamaan Ilmu
                  
269. Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).

Islam memandang ilmu sebagai suatu yang suci sebab pada akhirnya semua pegetahuan menyangkut semacam aspek dari manifestasi Tuhan kepada manusia. Pandangan yang suci tentang ilmu inilah yang mewarnai keseluruhan pendidikan Islam. Sahabat Ali bin Abi Thalin kwh sampai berkata ; “Siapa yang mengajarkanku sepotong huruf, niscaya aku telah menjadi hambanya.” Maka seluruh persoalan pendidikan di dalam Islam senantiasa menjadi jantung, pusat kehidupan, peradaban Islam sebagai salah satu tonggaknya sebab ia tidak dapat dipisahkan dari tradisi itu sendiri yang membentuk tulang punggung keseluruhan peradaban Islam.
Karenanya, dengan memandang bahwa ilmu merupakan salah satu sendi kehidupan manusia yang terpenting, Az Zarnuzi menafsiri sebagai berikut ; “kondisi sedemikian rupa yang jika dimiliki oleh seseorang maka menjadi jelas apa yang diketahuinya.”, lebih lanjut beliau menyatakan pula, bahwa “ tiada artinya suatu ilmu kecuali untuk diamalkan, sedang pengamalan itu berwujud pada memanfaatkan orientasi duniawi untuk dan demi ukhrawi.”

Ada baiknya kita coba telaah Kisah Pendidikan Lukman kepada anaknya, seperti termaktub dalam Firman Allah SWT QS. 31; Luqman : 13-14

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ ﴿١٣﴾وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ ﴿١٤﴾



(13) Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (14) Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.





Makna Mufradat dan Penjelasan QS. 31 ; Luqman : 13-14

حَمَلَتْهُ أُمُّه : Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah
وَهْنًا عَلَىٰ وَهْن : yang bertambah-tambah ٍ
وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ : dan menyapihnya dalam dua tahun

Luqman diyakini oleh sebagian Ulama sebagai Nabi Allah. Hal ini dibuktikan betapa penting artinya nasehat Luqman kepada anaknya sehingga Allah harus memberitahukan melalui ayat qauliyah-Nya kepada Nabi Muhammad saw. Sangat sederhana nasehat yang diberikan Luqman kepada anaknya, yaitu : “jangan engkau mempersekutukan Allah.”
Sekilas ucapan ini terdengar sangat tidak asing, dan mungkin dapat kita hadapi dengan apriori atau biasa-biasa saja. Namun tidak bagi Luqman. Anaknya mengikuti perintah orang tuanya dengan baik, ia taat terhadap sesuatu yang diperintahkan kedua orang tuanya. Sementara banyak dari kita yang justru sulit untuk menghadapi kelakuan anak-anak kita.
Patut kita simak Hadits Nabi saw yang sudah masyhur di bawah ini :

كل مولود يولد على الفطرة فابواه يهودانه او ينصرانه اويمجسانه


Artinya : “ Setiap (bayi) yang dilahirkan (berdiri) di atas fitrahnya, kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi”.

Salah satu investasi besar yang dimiliki manusia dan dijadikannya sebagai bekal untuk menghadap Allah adalah memiliki anak saleh yang mendoakan orang tuanya. Untuk menciptakan generasi yang seperti ini tentunya (agama Islam) telah mengaturnya. Dalam hal mana proses pendidikan sebenarnya telah dimulai pada saat kita memilih dan menentukan pasangan hidup. Hal ini seperti anjuran Rasul saw, tentang empat kriteria ketika menentukan pasangan hidup, yaitu ; Lijamaaliha (karena kecantikannya), Limaaliha (karena hartanya), Linasabiha (karena keturunannya), dan Lidiiniha (karena faktor keyakinan agamanya).
Dalam pendidikan yang dilakukan oleh Luqman bukan seperti yang dilakukan kebanyakan manusia. Keluarga Luqman adalah miniatur dari pembentukan manusia sesuai dengan konsep-konsep Ilahiyah. Mereka terkonstruk dari unsur-unsur yang bersih dan suci sehingga untuk dapat memasukkan pesan-pesan moral kepada keluarganya, bukan merupakan hal yang sulit seperti sebagaimana kita lakukan.
Lebih jelas lagi didalam ayat tersebut dijelaskan, bahwa istrinya menyapih anaknya sampai dengan dua tahun. Angka tersebut adalah angka sapihan tertinggi yang diajarkan dalam Islam. Dengan dua tahun sapihan, maka kesempurnaan atas konstruksi dari anak-anak Luqman jelas adanya. Terlebih dalam masa kehamilannya (walau dalam keadaan lemah) si ibu tetap dalam kesabaran sesuai di jalan Allah.
Manusia dilahirkan membawa kecenderungan memiliki potensi yang baik (QS. Al A’raaf : 172). Maka anggapan bahwa manusia tidak memiliki kecenderungan apapun (baik dan buruk) karena lingkunganlah yang membentuk kepribadiannya adalah anggapan yang keliru. Lingkungan diakui memang benar ikut memainkan peranan dalam perkembangan kejiwaan manusia. Tetapi potensi-potensi awal lah yang memainkan peranan besar dalam menentukan kepribadian seseorang, baik dari faktor pasangan hidup, makanan atau minuman yang dikonsumsi, dan lain-lain yang terjaga dengan baik, maka pesan-pesan yang dinyatakan oleh orang tua akan lebih mengena kepada anak sebagai peserta didik. Demikian juga berlaku bagi guru di sekolah. Besar sekali harapan manusia akan bekal untuk menghadapi situasi yang sulit dalam kehidupan. Maka ilmu pengetahuan menjadi kata kunci dalam menjawab tantangan kehidupan. Karena dengan bermodal ilmu, maka kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat akan terjawab. Itulah kemudian bahwa Ilmu itu adalah suci yang bertalian dengan aspek sifat-sifat Tuhan. Inilah salah satu kunci keberhasilan pendidikan keluarga yang mampu mengembangkan potensi-potensi yang telah dikaruniakan Allah sebagaimana tercermin dalam keluarga Luqman.
Wallahu’alam bishawab
 Bacaan Pendukung
Abdullah. Abdurrahman Saleh, Educational Theory a Quranic Outlook, Ummul Qurra, Makkah, 1990
Ahmad. Khursyid. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, Pustaka Progresif, Surabaya, 1992
Anshari. Endang Saefudin, Ilmu, Filsafat dan Agama, Bina Ilmu, Surabaya, 1987
Depag RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, 1990
Langgulung. Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Al Husna, Jakarta, 1998
Nasution. Harun, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran Prof.Dr. Harun Nasution, Mizan, Bandung, 1995
Syah. Djalinus, Kamus Pelajar, Kata Serapan Bahasa Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1993
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, Sipress, Yogyakarta, 1994

ILMU DAN KEUTAMAANNYA
Dalam Konsepsi Syaikh Az Zarnuzi


Makalah








Dosen Pengampu
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, MA.
Prof. Dr. Mukhsin Asy Syadzili, M.Ag.



Oleh :
Muhammad Subkhan
NIM : 505830033




DEPARTEMEN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN CIREBON
PROGRAM PASCASARJANA
TAHUN AKADEMIK 2008-2009

Tuntutan Perubahan Guru

BELAJAR TENTANG CARA BELAJAR
ADALAH BELAJAR TENTANG CARA BERFIKIR
Sebuah Tuntutan Perubahan Peranan Guru
dalam Potret Pendidikan Indonesia

Oleh : Muhammad Subkhan*

Pendahuluan
Manusia adalah sosok kehidupan dalam alam raya yang memiliki keunikan dan kemisteriusan. Secara fisik, tubuhnya sangat kecil jika dibandingkan dengan peranannya yang dimainkannya dalam kehidupan. Peristiwa-peristiwa alam seperti terbitnya matahari, bulan dan bintang, serta terjadinya bencana tetusan gunung berapi, banjir, badai, kebakaran telah menunjukkan betapa lemahnya fisik yang dimiliki manusia dalam mengatasi hal tersebut. Namun dengan kemampuannya secara ruhani, manusia dapat mengetahui gejala-gejala dan hukum-hukum berkaitan dengan peristiwa alam tersebut. Dengan kepemilikan potensi-potensi inilah, manusia menjadi bahan kajian dan penelitian oleh manusia itu sendiri.
Kemampuan manusia yang sadar akan dirinya (berada di alam raya) merupakan kontributor aspirasi manusia untuk menjelajah kehidupan dan berusaha menciptakan gagasan-gagasannya sepanjang pergumulannya dengan alam Allah ini.
Pengalaman dan kesadaran manusia inilah yang kemudian membuat manusia menjelma menjadi satu-satunya makhluk yang paling sibuk dan gelisah. Sebagai makhluk ragawi, manusia sibuk untuk menciptakan ide-ide sesuai dengan potensi dan perkembangannya, dan pengaplikasian dari ide-ide itulah yang membuat manusia gelisah sehingga menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang dinamis dan menempatkan dirinya selalu dalam proses perubahan.
Kedinamisan yang luar biasa milik manusia ini bukanlah terjadi tanpa proses atau terjadi dengan sendirinya. Pendidikan terjadi pada manusia inilah yang berperan aktif menciptakan manusia memiliki kemampuan tersebut. Karenanya, pendidikan diakui memiliki kedudukan tersendiri dan konteks psikologis dan sosiologis manusia.
Konsep fitrah yang mendasari proses pendidikan manusia banyak disinggung di dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Dalam hal mana melalui konsep fitrah dalam Islam inilah yang senantiasa akan menjadi ketentuan normatif dalam mengembangkan kualitas manusia melalui pendidikan , yang dengan dilaksanakannya pendidikan, menurut Khursyid Ahmad, manusia dapat mengkomunikasikan kebudayaan atau warisan intelektualnya kepada generasi mendatang, disamping memberikan inspirasi cita-cita hidupnya.
QS. 16 ; An Nahl : 78 menyebutkan :
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿٧٨﴾
(78) Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur.

Dalam tugasnya sebagai khalifah, tentulah manusia telah terbekali dengan berbagai perangkat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, seperti yang tersebut di dalam QS.16 ; An Nahl : 78. Pendengaran, penglihatan dan hati menjadi perangkat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Tanpa ilmu pengetahuan, maka manusia selain tidak layak disebut manusia, juga bukan merupakan cerminan dari tugas kekhalifahan yang diembannya.
Untuk dapat menjadi muslim yang tangguh, maka syarat mutlak yang harus dijalani ialah dengan mengoptimalkan semua potensi ragawiyah dan batiniyah. Potensi fisik dioptimalkan dengan olah raga, potensi akal dioptimalkan dengan berfikir, sedang potensi hati dioptimalkan dengan olah rasa. Demikian teori umumnya.
Maka dalam makalah ini, kita sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan pendidikan, belajar untuk mencoba belajar tentang cara belajar, karena ia adalah belajar tentang cara berfikir.

Hakekat Proses Belajar
Ada sebuah pertanyaan menarik, jika seorang guru sedang mengajar di kelas, apakah dengan sendirinya siswa yang diajarnya otomatis juga sedang belajar ? Apakah dengan telah tersampaikannya materi kepada peserta didik, memberikan soal, mengevaluasi hakekatnya pelajaran telah dianggap selesai pula ?
Belajar hakekatnya tidak hanya sekedar meliputi mata pelajaran saja, tetapi penguasaan, kebiasaan, persepsi, kesenangan, minat, penyesuaian sosial, ketrampilan dan cita-cita. Oemar Hamalik menyatakan, bahwa belajar mengandung pengertian tentang terjadinya perubahan dari persepsi dan perilaku, termasuk juga perbaikan perilaku, misalnya pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara lebih lengkap, karena tujuan belajar yang utama adalah bahwa apa yang dipelajarinya berguna di kemudian hari, yakni membantu kita untuk dapat belajar terus dengan cara yang lebih mudah. Namun tidak semua perubahan perilaku juga merupakan belajar.
Seperti halnya QS.16 ; An Nahl : 78, maka dalam belajar juga harus memperhatikan aspek-aspek atau potensi-potensi ragawi, akal, dan hati yang dimiliki manusia baik berkaitan dengan posisinya sebagai pendidik maupun sebagai peserta didik. Pendidik yang berlaku sebagai transporter ilmu pengetahuan harus memberikan kebebasan berfikir kepada peserta didik. Proses berfikir adalah sesuatu yang kompleks dan rumit yang tidak dapat dipandang secara mekanis, sederhana dan di sama ratakan.
Pemindahan pengetahuan dan nilai-nilai dari seseorang kepada orang lain, dari satu generasi ke generasi lain, hakekatnya bukan merupakan inti dari proses belajar. Hasan Langgulung memberikan tiga syarat pokok suatu proses yang disebut dengan belajar. Dalam belajar harus terdapat ; 1) rangsangan, 2) benda hidup haruslah mengadakan respons terhadap rangangan tersebut, dan 3) respons yang telah didapatkan kemudian diteguhkan seoerti ganjaran benda atau bukan benda supaya respons itu dibuat lagi dalam suasana yang sama pada masa yang akan datang, atau ditinggalkan kalau respons itu diteguhkan secara negatif.
Pada intinya, dalam belajar, seorang guru dihadapkan pada sebuah situasi dimana ia secara individu sedang belajar dari peserta didik yang (sedang) belajar. Guru harus dapat mempertinggi mutu mengajar, agar peserta didik dapat memahami apa yang diajarkan. Tanpa komunikasi yang baik antara guru dan peserta didik, maka proses belajar mengajar tidak akan dapat berjalan efektif serta tidak tercapainya ; pengetahuan yang dikehendaki, penanaman konsep dan ketrampilan, serta pembentukan sikap sebagai tujuan belajar.

Mindset Gaya Mengajar
Penulis belum dapat memahami faktor apa yang melatarbelakangi pendidikan di Indonesia, sehingga dalam pelaksanaannya baik pemerintah (lembaga terkait) sebagai penentu kebijakan, guru bahkan orang tua peserta didik, begitu “mendewakan” prestasi akademik. Departemen terkait merasa bangga jika ada anak yang nilainya tinggi (secara akademik) lalu dijadikannya sebagai “ikon” keberhasilan pendidikan di wilayahnya. Guru begitu memuji-muji prestasi muridnya yang memiliki peringkat tertinggi nilai akademiknya, karena ia (dipercaya) akan membawa “nama baik” sekolahnya. Sementara orang tua merasa beruntung jika anaknya mendapatkan juara I karena nilai raportnya tertinggi di atas teman-temannya. Keberuntungan orang tua itu karena dengan prestasi anaknya itu akan membuatnya hidup bahagia (secara materi) di masa mendatang. Sementara jika terdapat peserta didik yang (secara akademik) tidak begitu menonjol, tetapi ia dapat melakukan suatu tindakan sosial, misalnya ; berdialog dengan masyarakat, dapat mendamaikan teman yang bertikai, dan tindakan-tindakan lain yang berkaitan erat dengan kepekaan-kepekaan sosial, ia tidak pernah mendapatkan sanjungan, terlebih penghargaan secara nyata sebagai siswa yang berprestasi.
Pandangan di atas merupakan sebuah potret, bahwa peserta didik dianggapnya sebagai kotak kosong yang harus diisi. Guru bertindak sebagai sumber dan pemegang otoritas ilmu, yang mana peserta didik “dipasung” untuk taat, tunduk, patuh, dan satu kata dengan guru, yang pada akhirnya peserta didik harus mengikuti kesimpulan guru.
Pandangan ini bukan saja “memasung” kreatifitas peserta didik, namun yang lebih tidak manusiawi adalah bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM).
Peserta didik adalah organisme hidup yang tumbuh dan berkembang atas tenaga dalamnya sendiri. Guru bukanlah pemegang otoritas ilmu. Guru juga bukan merupakan sumber belajar, karena sumber belajar bias didapatkan dari mana saja dan dari siapa saja. Tugas guru adalah mengapresiasi, mengapersepsi, mengeksplorasi untuk kemudian memanipulasinya agar mengarah pada tujuan pembelajaran serta bermanfaat seoptimal mungkin bagi kehidupan individu mereka sendiri maupun kehidupan masyarakatnya di masa sekarang dan akan datang. Tuhan saja meninggikan kedudukan mereka, mengapa kita sebagai guru justru menganggap bahwa mereka rendah ?
Pandangan inilah yang akan membuat guru lebih bersemangat untuk menciptakan suasana belajar yang lebih menantang berpartisipasi aktif, belajar di atas minat yang dibangun bersama, membimbing untuk berfikir dan bersikap positif, membangkitkan motivasi, rasa ingin tahu, keinginan berpetualang dalam rimba ilmu, dan kegairahan belajar yang menyenangkan, meningkatkan kepercayaan diri serta menantang untuk meraih impian.
Sekedar sebagai pengetahuan saja, fakta-fakta yang ada berikut ini merupakan kejadian-kejadian yang dialami oleh para tokoh-tokoh dunia terkemuka. Sir Thomas Alfa Edison, pernah dipukul gurunya, karena suka bingung dan dianggap anak yang bawel karena suka bertanya. Albert Einstein, ketika berada di bangku Sekolah Dasar dianggap bodoh oleh gurunya dan suka melamun. Sastrawan Emile Zola justru pernah mendapat nilai “nol” dalam pelajaran sastra. Wondrow Willson, diklaim gurunya tidak dapat membaca dan nilai membacanya jeblok, tetapi kemudian ia meroket dengan menjadi Presiden Amerika Serikat. Sang Maestro Musik Klasik, Beethoven, dianggap payah dan bodoh dalam pelajaran musik di sekolah dan terbelakang dalam pelajaran matematika. Tidak menutup kemungkinan di negeri kita juga terdapat banyak anak-anak jenius yang “missing”. Apakah secara tidak sadar kita juga akan memasung bakat mereka ?

Belajar dan Beribadah
Guru pada dasawarsa terakhir ini menjadi sebuah profesi yang dapat dikatagorikan sebagai profesi “primadona “. Katagori ini didasarkan pada pendapatan secara materiil yang diperoleh guru. Terlebih pada dua tahun terakhir ini, guru “dimanjakan” dengan imbalan finansial yang bakal atau bahkan telah diterimanya sebagai tunjangan profesi. Sebut saja, program sertifikasi guru yang sebenarnya menuntut supaya guru di sekolah lebih memiliki kreatifitas tidak hanya berkutat (secara administratif) pada tugas-tugasnya saja di sekolah.
Ditinjau dari satu segi, dapat saja semua orang disebut guru. Ketika seseorang memberikan sebuah pengetahuan atau informasi kepada orang lain, yang mengarah pada terbentuknya sikap kedewasaan, pemberi informasi tersebut layak disebut guru. Tetapi dalam konteks ini, seseorang tidak dapat mengajukan tuntutan untuk memperoleh gelar “guru”, karena guru disebut berkaitan dengan masalah waktu, tempat dan keadaan dimana konsep fungsi guru untuk pertama kalinya secara resmi dinyatakan untuk lembaga yang bernama sekolah. dimana terletak suatu pertanggungjawaban untuk membawa murid-muridnya pada suatu taraf kematangan tertentu.
Pandangan bahwa untuk menjadi orang yang dapat dikatakan berhasil, sukses, secara materiil dengan berprofesi menjadi guru adalah pandangan yang keliru. Sebab jika pandangan tersebut tetap berada dalam benak guru atau calon-calon guru yang ngantri dibelakangnya, yang terjadi adalah guru akan merasa sebagai pemegang otoritas ilmu, sumber ilmu dan lebih teruk lagi adalah, guru hanya menyampaikan materi pelajaran dalam kelas secara konvensional, tanpa harus peduli siswa akan memahami atau tidak materi yang tersampaikannya. Baginya yang terpenting adalah bahwa ia sudah merasa melaksanakan kewajibannya sebagai “guru”.

Potret Pendidikan Kita
Ujian Nasional (UN) tingkat sekolah menengah tahun 2009 telah lebih dari sepekan digelar. Beberapa masalahpun bermunculan dengan aroma yang tidak sedap bagi “hidung” para praktisi pendidikan. Aroma yang paling menyengat adalah indikasi adanya kebocoran soal-soal mata pelajaran yang di-UN-kan.
Sudah merupakan rahasia umum jika pada saat diselenggarakannya UN, bukan siswa yang menjawab soal-soal ujian, tetapi guru-guru mata pelajaran bersangkutan yang berjibaku demi “suksesnya” peserta didik. Ada yang bermain “bersih” (dalam pengertian tidak mencolok mata pengawas dan tim independen), tetapi ada bahkan banyak juga yang bermain “kasar” (dalam pengertian memberikan jawaban benar 50 % layaknya membagi snack dalam rapat) baik oleh tim sukses maupun oleh pengawas yang dipaksa untuk menghormati “tuan rumah”.
Pada hakekatnya, UN berfungsi sebagai salah satu alat evaluasi dalam system pendidikan kita. Meski demikian tidak sedikit kalangan praktisi pendidikan akhirnya menjustifikasi bahwa UN adalah satu-satunya instrument yang menentukan baik buruknya wajah pendidikan kita. Karena itu, di mata mereka UN menjadi segala-galanya. Keberhasilan pendidikan kita akhirnya diukur dengan hasil UN semata. Maka siswa yang dianggap sukses adalah siswa yang Lulus UN. Sekolah yang dianggap sukses adalah sekolah yang paling banyak meluluskan siswanya.
Anggapan semacam ini tentunya berujung pada kelahiran sikap-sikap pragmatism sempit dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan hanya dipahami hanya sebatas pencapaian hasil akhir berupa angka-angka statistic tingkat kelulusan, bukan rangkaian proses panjang dan sinambung yang melibatkan pembentukan karakter dan perilaku peserta didik.
Sampai dengan hal ini, bukan hanya penulis yang menilai bahwa UN hanya melahirkan potensi mengkerdilkan pendidikan kita, tetapi masyarakat dan banyak guru-guru swasta maupun negeri yang memiliki pendapat yang sama. Mengapa ? Sebab, UN disinyalir berkemungkinan besar akan mendorong anak didik dan guru-guru kita lebih mementingkan hasil dan pengakuan dari pada proses. Jika itu kemudian terjadi secara meluas, maka akan melahirkan individu-individu yang jangankan memiliki inovatif karena untuk memiliki kreatifitaspun proses pendidikan mereka terpasung habis.
Sebagai guru yang menganut agama Islam, ada baiknya kita tengok ayat Al Qur’an di bawah ini :

 QS.4 ; An Nisaa : 9 :
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا ﴿٩﴾
(9) Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Sangat memiriskan hati memang, sementara kalangan malah menilai UN merupakan sarana paling jitu dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan kita. Karena itu mereka beranggapan keberadaan UN perlu dipertahankan demi sebuah “pengakuan” masyarakat internasional walaupun anak bangsa terkorbankan hanya untuk mementingkan hasil akhir dan menafikan proses.
Sementara tanggungjawab, ketekunan, kegigihan, kerja keras dan kejujuran sangat boleh jadi akan semakin jauh terpinggirkan dari dunia pendidikan anak-anak kita. Pihak sekolah akan tidak berhenti “mendoktrin” siswanya, bahwa skor atau nilai tinggi dalam UN adalah segala-galanya, dan mereka harus dapat meraih itu.

Penutup
Idealisasi pendidikan kita tertuang dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Maka jika hal di atas benar-benar ingin menjadi sesuatu yang diwujudkan dalam bentuk nyata, sudah barang tentu praktisi pendidikan harus melakukan semacam reorientasi dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan kita telah terlanjur (untuk tidak dikatakan terperosok) pada orientasi perolehan target hasil akhir secara instan yang hanya diukur dengan angka-angka mati. Reorientasi harus diarahkan pada idealisasi pendidikan kita yang berorientasi pada proses dan diukur dengan terciptanya pembentukan karakter dan perilaku peserta didik.
Demikian pula terjadi pada guru yang memang diakui atau tidak, profesi guru adalah profesi yang seringkali tidak diukur dengan untung rugi, tetapi profesi yang lebih berpijak kepada sebuah pepatah melayu kuno, yaitu : “Jadilah orang yang memberi sebanyak-banyaknya, bukan orang yang menerima sebanyak-banyaknya.”

 QS. 99 ; Az Zalzalah : 7
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ ﴿٧﴾
(7) Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.


 QS. 7 ; Al Israa : 7
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا ۚ
(7) Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri,

Dari ayat Al Qur’an yang penulis cantumkan di atas, cukuplah jelas bahwa bila kita berlaku baik kepada orang, maka hakekatnya kita menabung (berinvestasi) untuk kebaikan kita sendiri. Hal tersebut diperkuat pula dengan memahami makna bahwa manusia adalah merupakan khalifah (wakil) Allah di bumi. Dengan “jabatan” tersebut, maka manusia (tidak terfokus pada profesi seorang guru saja) berkewajiban dan bertanggungjawab untuk membumikan sifat-sifat Allah. Maka ucapan “Lillahi Ta’alaa” bukan ditujukan untuk Allah, melainkan menjalankan tugas-tugas kekhalifahan didasari atas perintah Allah yang terwakilkan kepada kita.
Maka, jika mindset itu yang kita terima, implikasinya akan terwujud dalam setiap pribadi guru bahwa tugas guru itu adalah cerminan sifat-sifat Allah serta menyadari bahwa ia sebagai orang yang bertanggung jawab untuk mendewasakan orang lain, supaya orang lain tersebut dapat menempuh serta menjalani kehidupan dengan baik, bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat baik secara mikro maupun makro sehingga potret wajah pendidikan kita pun tidak suram untuk dipandang, karena siswa berada dalam genggaman tangan-tangan yang selalu berharap akan ridla Allah SWT semata di dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikannya..


Wallahu a’lam bishawab
----------------------------------------------------------------
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana STAIN Cirebon – Kons.PAI
Pengampu Mata Diklat PAI di SMK Negeri 1 Tonjong – Brebes – Jawa Tengah



DAFTAR BACAAN 
Ahmad.Khursid, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, Pustaka Progresif, Surabaya, 1992
AM.Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar dan Mengajar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994
Faisal.Amir, Mencetak Siswa Unggulan dengan Spiritual Quantum Teaching, SQ Consul, Semarang, 2007
Goble.Norman M, Perubahan Peranan Guru, alih bahasa : Suryatin, Gunung Agung, Jakarta, 1983
Hamalik.Oemar, Psikologi Belajar dan Mengajar, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1992,
Langgulung.Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1988
Nasution.S, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta, 1992
Surakhmad.Winarno, Pengantar Interaksi Mengajar – Belajar, Dasar dan Teknik Metodologi Pengajaran, Tarsito, Bandung, 1994
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, Sipress, Yogyakarta, 1994

Konsepsi Pendidikan Islam (Al Ghazaly)

KONSEPSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM KHAZANAH PENDIDIK MUSLIM
( Konsepsi Dasar Pendidikan Islam menurut Al Ghazaly )

By : (Al Faqier) Muhammad Subkhan*




Muqaddimah

Pendidikan memang diakui mempunyai kedudukan sendiri dalam konteks psikologis dan soiologis manusia. Dengan adanya pendidikan, seseorang bisa tahu apa yang sebelumnya tidak tahu. Dengan pendidikan pula, tatanan suatu masyarakat akan menjadi baik karena masyarakat tahu apa yang harus mereka kerjakan untuk dirinya sendiri dan orang lain.
Melalui sumber ajaran Islam yang utama, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah banyak sekali menyinggung masalah pendidikan, maka Islam menghimbau kepada ummatnya untuk mengembangkan potensi fitrah yang ada pada manusia melalui pendidikan.
Melalui konsep fitrah dalam Islam inilah yang senantiasa akan menjadi ketentuan normative dalam mengembangkan kualias manusia melalui pendidikan. (Tobroni dan Syamsul Arifin, 1994 : 160). Hal ini pula selaras dengan konsep Islam yang mengakui bahwa manusia merupakan Animal Educandum (makhluk yang dapat dididik) sekaligus Animal Educabile (makhluk yang dapat mendidik) sebagaimana tersurat dalam Al Qur’an



Artinya : Dan Dia telah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat … (QS.2 : 31)


Dalam rangka pengembangan potensi fitrah, naluri keagamaan yang merupakan modal dasar beragama, maka dibutuhkan suatu kegiatan dan atau usaha berupa arahan, bimbingan dan asuhan dari faktor eksternal yang disebut dengan pendidikan, baik dalam keluarga, sekolah dan masyarakat dimana individu hidup dan berinteraksi. Maka pendidikan dilaksanakan sebagai usaha membina atau mengembangkan pribadi manusia dari aspek-aspek ruhaniah dan jasmaniah yang juga berlangsung secara bertahap.
Menyadari tentang hakekat pendidikan itu sendiri (dalam perspektif Islam), yang oleh aliran behaviorisme (sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Saleh) ditentang melalui “Teori Tabula Rasa”, dimana manusia ketika dilahirkan tidak memiliki kecenderungan baik maupun jahat, lingkunganlah yang memainkan peranan dalam membentuk kepribadiannya. (Abdurrahman Saleh, 1990 : 61)
Padahal jika kita perhatikan tentang konsep fitrah manusia, dimana semua manusia pada saat kelahirannya dalam keadaan suci (karena telah bersaksi bahwa Allah SWT sebagai Tuhannya, ketika Ia meniupkan ruh ke dalam rahim ibu). Ruh yang berasal dari Allah SWT itulah sebenarnya hakekat manusia. Maka manusia terdiri dari dua substansi yaitu materi yang berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Maka hakekat manusia itu adalah ruh, sedang jasadnya hanyalah alat yang digunakan oleh ruh untuk menjalani




kehidupan material di alam material yang bersifat sekunder dan ruh adalah primer. (Zuhairini, 1992 :77)

Pendidikan Islam

Adalah suatu hal yang naïf jika kita ingin mengetahui pendidikan Islam tanpa tahu dan memahami Islam sendiri. Islam berarti tunduk kepada Allah SWT dan berserah diri secara total serta menyerahkan segala urusan kepada-Nya, yakni dengan menegakkan hubungan antara manusia dengan Tuhannya atas dasar prinsip “taat dan patuh”.
Ada kalanya orang merasa bahwa di langit atau di bumi tidak ada yang berkuasa atas dirinya, sehingga ia merasa bebas untuk berbuat sesuatu yang dikehendakinya tanpa ada yang dapat menghalanginya, karena ia tidak merasa terikat oleh apapun.
Tetapi jika ia berfikir bagaimana ia diciptakan, bagaimana ia tumbuh dan berkembang, bagaimana ia dapat membangun sutau interaksi social, bagaimana ia dapat mengalami kesedihan dan kegembiraan, ia akan mengetahui bahwa ternyata ada suatu kekuatan yang berkuasa atas dirinya dimana ia bergantung atas kehendak-Nya. Maka pada gilirannya, ia akan berfikir bahwa ia harus menjalin hubungan mesra dengan Pemilik kekuatan tersebut yang telah menciptakan, memelihara dan melimpahkan rahmat-Nya pada dirinya. Karena itulah, maka tidak ada tempat bagi manusia untuk merasa sombong dan membangkang perintah-Nya.
Adalah keliru jika orang mengira bahwa Islam itu adalah nama khusus bagi ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW 15 abad silam. Islam adalah semua risalah Ilahiyah yang memberikan tuntunan kepada umat manusia sejak penciptaannya hingga sekarang. Islam sebagai agama, kemudian menjelma sebagai suatu kekuatan yang memberi “hidup” bagi suatu peradaban raksasa yang salah satu buahnya adalah pendidikan. Islam melalui ajarannya yang bersumber langsung dari Allah SWT memberikan ruang gerak yang sangat luas, lentur dilambari dengan semangat demokrasi yang bersifat universal bagi penganutnya. Islam menjadi ahli waris bagi warisan intelektual dari berbagai peradaban-peradaban besar sebelumnya. Ia menjadi “payung” bagi transit dan berteduhnya tradisi intelektual dimana mereka menemui hidup baru.
Jadi pendidikan Islam ini bukanlah wujud dan hadir secara kebetulan di tengah-tengah orang Islam, tetapi dihasilkan dalam bentuk seperti ia dihasilkan oleh orang-orang berilmu yang membawa perwujudan bernama pendidikan ini. Maka Ilmu dalam pandangan Islam adalah suci, sebab pada akhirnya semua ilmu bertalian dengan berbagai aspek dari sifat-sifat Tuhan. (Hasan Langgulung, 1988 : 29)
Pendidikan Islam memiliki jiwa, dan pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam itu sendiri, sebagaimana tujuan Rasulullah SAW lahir di tengah-tengah umat Jahiliyah untuk menyempurnakan akhlak mereka. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan sebenarnya. Tetapi dengan adanya statement ini bukan berarti pendidikan Islam menafikan pendidikan jasmani atau akal atau ilmu dari segi-segi praktis lainnya. Islam justru menghendaki umatnya kuat secara jasmani, akal, ilmu dan membutuhkan pula budi pekerti, perasaan, kemauan, cita-cita dan kepribadian. (Mohd. Athiyah Al Abrasy, 1970 :1)





Selaras dengan hal tersebut di atas, bahwa pendidikan Islam memperhatikan ketiga unsur manusia, yaitu unsur tubuh (jasmani), hati nurani (qalbu) dan akal yang sama diperhatikan dan dikembangkan. Dengan jalan inilah akan terbentuk manusia yang seimbang dan utuh serta menjadi landasan pembangunan nasional, yakni pembangunan manusia seutuhnya. (Muhaimin, 1991 : 20)
Dengan berbagai macam konsep di atas itulah, maka pendidikan Islam adalah pendidikan yang falsafah, dasar, tujuan dan prinsip-prinsip dalam melaksanakan pendidikannya atas nilai-nilai dasar Islam yang terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Karena bagaimanapun umat Islam telah mengakui bahwa Al Qur’an dan As Sunnah merupakan sumber utama ajaran Islam termasuk didalamnya adalah pendidikan. Di dalam sebuah hadits pernah disebutkan :





Artinya : Telah aku tinggalkan untuk kamu dua perkara, yang jika kamu berpegang teguh pada keduanya, kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan sunnah rasul-Nya


Namun demikian, di dalam kedua sumber tersebut masih mengandung prinsip-prinsip yang pokok saja, sehingga dalam pendidikan Islam tetap terbukanya unsur-unsur ijtihady, dengan tetap berpegang pada Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana hukum-hukum fiqh. Hal ini mesti dilakukan, karena perkembangan zaman dan kebudayaan serta peraban manusia yang dinamis dengan background (latar belakang) sosio cultural, geography, anthropology dan pemahaman-pemahaman lain yang satu sama lain berbeda.
Karenanya banyak para pendidik-pendidik muslim kemudian melakukan Ijtihad yang kemudian diterjemahkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh generasi berkutnya tentunya dengan perspektif yang dimilikinya.


Implikasi Fitrah dalam Proses Pendidikan Islam

Ada baiknya kita telaah firman Allah SWT dalam Surat Al A’raaf : 179, yaitu :









Artinya : Dan sesunggunya kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya utnuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS.7 : 179)



Ayat tersebut mempunyai tiga implikasi hakekat manusia, yaitu :

1. manusia mempunyai berbagai jenis potensi (untuk memahami, melihat dan mendengarkan) yang tidak diberikan kepada binatang
2. apabila manusia tidak mempergunakan potensi tersebut, maka ia akan kehilangan sifat kemanusiaannya (insaniyyah) sehingga ia layak disebut hewan atau binatang (dalam arti sifat bukan kesamaan dalam substansinya)
3. perubahan sifat mulia kea rah sifat hina tersebut dikarenakan keteledoran manusia, yakni sifat ghulf (lalai).

Bagaimana manusia mengenal dirinya ? pertanyaan ini begitu sederhana, banyak literateur yang menyebutkan bahwa manusia sama dengan hewan. Kalau manusia bukan hewan, lalu siapa dan apa manusia itu sebenarnya ?
Allah SWT mengingatkan kepada manusia agar mengenal dirinya sendiri ;
Firman Allah SWT surat Adz Dzariyat : 21 ;



Artinya : “dan (juga) kepada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?”

Dalam surat Fushshilat : 52 ;



Artinya : “… siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang selalu berada dalam penyimpangan yang jauh?”

Dengan mengenal dirinya sendiri, manusia dapat mengetahui substansinya. Pengetahuan substansi manusia dapat dilihat dari empat unsur pokok potensi ruhaniahnya, yaitu ruh, qolb, aqlu dan nafsu. (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993 : 33)


Sekilas tentang Al Ghazaly ( Hidup dan Perkembangan Alam Pikirannya )

Mengutip dari Ahmad Hanafi, (dalam Pengantar Filsafat Islam, 1990) Ia (Al Ghazaly) adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al Ghazaly, bergelar Hujjatul Islam, lahir tahun 450 di Tus, suatu kota kecil di Khurasan Iran. Ayah Al Ghazaly, adalah seorang tasawuf yang shaleh dan wafat ketika Al Ghazaly beserta saudaranya masih kecil. Namun sebelum wafatnya, ayah Al Ghazaly telah menitipkannya kepada salah seorang tasawwuf pula untuk mendapatkan bimbingan dan pemeliharaan dalam hidupnya.
Al Ghazaly pertama kali belajar agama di kota Tus, kemudian Jurjan dan akhirnya berguru pada Imam al Juwaini di Naisabur. Kemudian ia berkunjung kepada Nidzam al Mulk di kota Mu’askar, dan dari padanya ia mendapat kehormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu selama enam tahun lamanya. Tahun 1090 M/483 H, ia diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamah Baghdad, dan kecemerlangan akal pikirannya mulai memancarkan sinarnya ketika ia selain mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan bathiniyah, Ismailiyah, gologan filsafat dan lain-lain.

Selama waktu itu, ia tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya, sehingga ia menderita penyakit yang tidak dapat diobati secara lahiriyah (fisioterapi). Ia pergi ke Damsyik, dan di kota ini ia merenung, membaca dan menulis selama kurang lebih dua tahun lamanya, dengan tasawwuf sebagai jalan hidupnya. Kemudian ia pindah ke Palestina, dan disini pun ia tetap merenung, membaca dan menulis dengan mengambil tempat di Masjid Bait al Maqdis. Tergerak hatinya untuk ia pergi melaksanakan ibadah haji di Makkah, dan setelahnya ia kembali ke kota kelahirannya dan di sana ia tetap sama seperti biasa, yaitu berkhalwat dan beribadah. Ia jalani proses yang semacam itu hingga sepuluh tahun lamanya, dan dalam masa ini ia menuliskan buku-bukunya yang terkenal di dunia, antara lain Ihya’ ‘Ulumuddin.
Karena desakan penguasa pada masanya, Al Ghazaly mau kembali mengajar di sekolah Nidzamiyah di Naisabur pada tahun 499 H. Selama dua tahun ia mengajar, ia pun akhirnya kembali ke Tus, dimana ia kemudian mendirikan sebuah sekolah untuk para fuqaha dan sebuah biara untuk para ahli tasawwuf. Di kota itu pulalah ia wafat pada usia 54 tahun dalam tahun 1111 M / 505 H.
Al Ghazaly adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya, dan memiliki nafas panjang dalam karangan-karangannya. Pengaruh Al Ghazaly di kalangan kaum muslimin besar sekali, sehingga menurut pandangan orang-orang ahli ketimuran, agama Islam yang digambarkan oleh kebanyakan kaum muslimin berpangkal pada konsepsi Al Ghazaly. Pikiran-pikiran Al Ghazaly telah mengalami perkembangan sepanjang hidupnya dan penuh kegoncangan batin, sehingga sukar diketahui kesatuan dan kejelasan corak pemikirannya, seperti terlihat dari sikapnya terhadap filosof-filosof dan terhadap aliran-aliran aqidah pada masa lampau. Evolusi pemikiran Al Ghazaly banyak dan dapat disimak secara gambling pada kitabnya, Al Munqidlu min adl Dlalal (penyelamat dari kesesatan).

Konsepsi Dasar dari Unsur Pokok Pendidikan Islam versi Al Ghazaly
Dawam Raharjo, dalam Insan Kamil, Konsep Manusia menurut Islam, 1987, menyatakan pandangan Al Ghazaly tentang empat unsur pokok pada manusia, yaitu :
1. Ruh
Ruh menurut Al Ghazaly memiliki dua pengertian, yaitu :
a. Ruh yang bersifat jasmani
Yaitu dzat yang amat halus bersumber dari ruangan hati (jantung), yang menjadi pusat semua urat (pembuluh darah), yang mampu menjadikan manusia hidup dan bergerak, serta merasakan berbagai macam rasa. Ruh inilah yang biasa disebut sebagai nafs (jiwa).
b. Ruh yang bersifat ruhani
Ruh ini memiliki ciri halus dan gaib, yang dengan ruh ini manusia dapat mengenal dirinya sendiri, mengenal Tuhannya dan mampu mencapai ilmu bermacam-macam. Dengan Ruh ini pula seorang manusia dapat berperikemanusiaan, berakhlak yang baik yang berbeda dengan binatang. (sebagai catatan, hakekat ruh tidak dapat diketahui secara pasti oleh manusia, serta tidak dapat di ukur dan di analisa. Ruh tetap hidup walaupun jasad telah hancur)

2. Qolb
Qolb dalam pandangan Al Ghazaly, memiliki dua arti, yaitu arti fisik dan metafisik.
a. Arti Fisik
Al Qolb yaitu segumpal daging yang berbentuk bulat memanjang yang terletak di pinggir dada sebelah kiri. Al Qolb bertugas mengatur peredaran darah pada seluruh tubuh, yang didalamnya terdapat rongga-rongga yang mengandung darah hitam, sebagai sumber ruh jasmani.

b. Arti Metafisik
Al Qolb adalah batin tempat pikiran yang sangat rahasia dan murni, yang merupakan latifah (hal yang halus) manusia selama ia berada dalam tubuh. Dengan Al Qolb ini, manusia dapat menangkap rasa, mengetahui dan mengenal sesuatu dan pada akhirnya memperoleh ilmu mukasyafah (ilmu yang diperoleh melalui ilham Allah SWT)

3. Aqlu (akal)

Al Ghazaly membagi akal dengan empat macam, yaitu akal hayulani (bil quwwah) yang mempunyai kesediaan untuk menerima hakikat sesuatu yang bebas dari materi, akal naluri (bil malakah) yang berfungsi mengetahui sejumlah ilmu dasar apriori, akal aktif (bil fi’li) yang berfungsi mengetahui pengetahuan praktis, sehingga dapat menampilkan bentuk-bentuk rasional, serta akal mustafad yang mampu mengetahui hal-hal yang masuk akal.
Sedangkan dalam pandangan beliau pula, akal mempunyai empat pengertian, yaitu :
a. Sebutan yang membedakan manusia dengan hewan
b. Ilmu yang lahir di saat anak telah mencapai usia aqil baligh, sehingga dapat mengetahui mana yang baik untuk diamalkan dan mana yang buruk untuk ditinggalkan
c. Ilmu-ilmu yang didapat dari pengalaman, sehingga dapat dikatakan “siapa yang banyak pengalaman, maka ia orang yang berakal.”
d. Kekuatan yang dapat menghentikan dorongan naluriah untuk menerawang jauh ke angkasa, mengekang, dan menundukkan syahwat yang selalu menginginkan kenikmatan

4. Nafsu

Al Ghazaly membagi nafsu dengan tiga bagian, yaitu :
a. Nafsu tingkatan utama, meliputi Nafsu Mardliyah (cenderung melaksanakan kebaikan), Nafsu Rodliyah (cenderung melaksanakan kebaikan ikhlas tanpa pamrih), Nafsu Muthma’innah (cenderung tenang dalam lindungan-Nya), Nafsu Kamilah (mengarah pada tingkat kesempurnaan), dan Nafsu Mulhamah (nafsu yang memiliki keutamaan dalam bertindak karena ia sadar bahwa ia adalah wakil Allah di bumi, menjauhi segala perbuatan yang dapat merugikan orang lain dan juga dirinya sendiri)
b. Nafsu Lawwamah, yaitu nafsu yang mencerminkan sifat-sifat insaniyyah (kemanusiaan / humanism)
c. Nafsu Ammarah, nafsu yang mencerminkan sifat-sifat hayawan dan bahamiyah (kehewanan dan kebinatangan)










Kesimpulan

Dari paparan tentang pandangan Al Ghazaly terhadap Konsepsi Dasar Pendidikan Islam di atas, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut :

1. Pendidikan diarahkan agar manusia dapat melakukan kewajiban kepada Tuhannya
2. Pendidikan diarahkan agar manusia dapat berkomunikasi dan berinteraksi social antar sesamanya
3. Pendidikan diarahkan agar manusia dapat berpegang pada kaidah dan pedoman dasarnya dengan kuat

Potensi yang dimiliki manusia mempunyai kecenderungan tertentu. Oleh karenanya, menurut hemat penulis, bahwa tugas pendidikan Islam adalah mengembangkan dan melestarikan serta menyempurnakan kecenderungan-kecenderungan negative atau jahat yang melakat pada diri manusia secara kodrati, untuk kemudian dialihkan dan dikendalikan menuju kecenderungan-kecenderungan yang baik.

Wallahu’alam bishshawab

-----------------------------------------------
• Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana STAIN Cirebon TA.2008-2009
• Guru PAI pada SMK Negeri 1 Tonjong Brebes Jawa Tengah


REFFERENTIE
Daftar Bacaan



Abdullah. Abdurrahman Saleh, Educational Theory a Qur’anic Outlook, Makkah, Ummul Quro, 1990
Al Abrasyi. M. Athiyah, Diterjemahkan Butami A.Gani, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1984.
Hanafi. Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1990.
Langgulung. Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta, Al Husna, 1988.
Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam Sebuah Telaah Komponen Dasar Kurikulum, Solo, Ramadhani, 1991.
Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofi dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung, Trigenda Karya, 1993.
Raharjo. Dawam, Insan Kamil Konsep Manusia menurut Islam, Jakarta, Temprit, 1987
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, Yogyakarta, Sipress, 1994.
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara-Depag RI, 1992.

Partai Islam dalam Kancah Politik Indonesia

PARTAI ISLAM DI PENTAS POLITIK NASIONAL
PASCA KEMERDEKAAN
(Membangun Strategi Politik Berbasis Jaringan Spiritual, Sosial dan Intelektual)
By : Muhammad Subkhan*



Pendahuluan
Genderang “perang” pertarungan partai di pentas perpolitikan nasional untuk sebuah hajatan tahun 2009 telah ditabuh. Beberapa aktor-aktris yang munculpun banyak mengalami perubahan. Perubahan yang dimaksud tentunya tertuju pada “Production House” dimana ia berakting menjadi bintang atau figuran dalam episode pementasannya.
Indonesia sebagai negara yang penduduknya mayoritas menganut agama Islampun, nampak dalam perpolitikan nasionalnya lebih terwarnai dengan hadirnya partai-partai yang didirikan oleh umat Islam, baik mengarah pada visi dan misinya demi Islam, ataupun bercirikan Islam dan bahkan hanya konstituennya (yang diharapkan lebih banyak) bergantung pada umat Islam.
Pasca “rezim” orde baru, kran-kran politik yang terbuka lebar memberikan kesempatan luas kepada elemen-elemen masyarakat untuk ikut membangun bangsa dan negara melalui pendirian partai-partai politik. Hal ini lebih dari sekedar euforia demokrasi, tetapi ia muncul sebagai bentuk perwujudan dari kepedulian lajunya demokrasi yang selama orde baru berada dalam “pasungan”. Masyarakat merasa berhak untuk ikut serta membawa bangsa ke arah yang lebih baik, karena pekerjaan tersebut bukan hanya dimiliki oleh segelintir orang yang “dekat” dan “berusaha dekat” dengan penguasa.
Tak terkecuali umat Islam di Indonesia, yang disadari atau tidak, dengan segala kepentingan-kepentingan yang ada, ikut pula hadir sebagai elemen masyarakat dalam wadah partai politik. Bendera-bendera ormaspun lebih dominan untuk menjelma sebagai fasilitator dari aspirasi warganya. Sebut saja (pasca rezim orba) dalam Muhammadiyah, (melalui rekomendasi Tanwir 1998 di Semarang) lahir Partai Amanat Nasional (PAN), Nahdlatul Ulama (NU) melahirkan anak emasnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), (walaupun dibelakangnya terdapat) Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Nahdlatul Umat (PNU) dan Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI). Sementara dalam tubuh Muslimin Indonesia (MI) (yang mencoba mengembalikan kebesaran Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)) lahir Partai Bulan Bintang (PBB) yang di back-up oleh Badan Koordinasi Umat Islam (BKUI), Partai Masyumi Baru (PMB), Partai Politik Islam Indonesia Masyumi (PPIIM). Keluarga Bulan Bintang lain, yaitu pada “nasab” Syarikat Islam (SI), melahirkan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan PSII 1905.
Dalam konteks ini juga menjadi satu catatan penting karena begitu fenomenal dalam kancah perpolitikan Islam Indonesia (yang tidak memiliki akar historis kuat di masyarakat), yaitu berdirinya Partai Keadilan (PK) dan Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI). Partai terakhir ini muncul (bersama Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang berhaluan sosialis) justru ketika Presiden Soeharto masih berkuasa dan elite umat Islam belum menggeliat untuk mendirikan wadah aspirasi politik umat.
Umat Islam menyambut dengan antusias dan berusaha mem-back up secara total atas berdirinya partai-partai Islam di atas. Sebagai salah satu akibatnya adalah benturan-benturan yang menimpa dari masing-masing elite partai sampai kepada tingkat terendah yang berada di daerah dan desa-desa.
Selanjutnya mudah ditebak, jika Harapan yang disandarkan umat Islam kepada para elite partai yang duduk di atas kursi empuk kekuasaan, ternyata belum membawa perubahan yang berarti bagi umat Islam sendiri. Maka sinyalemen adanya kepentingan-kepentingan primordial berdasar pada sentimen golongan lebih kental dari pada kepentingan agama, tercium sudah oleh masyarakat.
Indikator di atas tidaklah berlebihan untuk menjadi sebuah wacana untuk tidak dikatakan sebagai sebuah kenyataan. Beberapa diantaranya, yaitu ; dalam tubuh PKB saja, akibat tidak terakomodirnya kepentingan-kepentingan NU yang merasa “ngeden” (karena tidak merasa sebagai bidan) melahirkan PKB, kemudian sebagian elite PKB mendirikan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Sementara kelahiran Partai Matahari Bangsa (PMB) terinspirasi karena “Partai Muhammadiyah” sebelumnya (baca ; PAN) telah dianggap gagal menjadi artikulator dan agretator dalam mengusung kepentingan-kepentingan politik warga Muhammadiyah (Ma’mun Murad, 2008: 14). Lalu apa sebenarnya yang diperjuangkan oleh elite-elite muslim di partai-partai politik ?

Kilas Balik Sejarah
Telah menjadi catatan kelam umat Islam, pasca wafatnya Nabi saw perpecahan demi perpecahan telah mewarnai kehidupan bernegara saat itu. Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq r.a., mendapatkan gangguan atas munculnya Nabi Palsu, Umar bin Khattab r.a. tewas tertikam belati ketika menunaikan shalat shubuh oleh Abu Lu’luah, sementara Utsman bin Affan r.a., juga tewas secara biadab oleh tentara tiga gubernuran, sampai kemudian terjadi peperangan antara Aisyah ra dan Ali bin Abi Thalib kwh dalam Perang Jamal serta peperangan yang membuat bertambahnya catatan kelam dan coreng morengnya wajah Islam, yaitu Perang Shiffin. Amr bin Ash sebagai politisi ulung (yang juga sebagai panglima tentara Mu’awiyah bin Abi Sufyan) telah berani “merendahkan” makna Al Quran (dengan mengangkat Mushhaf) ketika pasukannya terdesak. Belum lagi peristiwa Karballa yang sangat melukai umat Syi’ah pengikut Ali bin Abi Thalib kwh. Inilah akibat terjadinya penyimpangan antara makna negara yang terkontaminasi oleh praktek-praktek politik.
Laksana sebuah akar yang panjang jika diruntut hubungan antara Islam dan politik di Indonesia. Mereka saling berpelukan sejak tersebarnya Islam di Nusantara, dimana nuansa politik telah menjadi bagian hidup dan kehidupan penguasa muslim dan umat Islam saat itu. Banyak diantara para Sultan kerajaan-kerajaan Islam yang memiliki keunggulan dalam pentas perpolitikan di Nusantara, mulai dari Sultan Malik Al Saleh (Samudera Pasai), Raden Fatah (Demak Bintara), Sultan Hadiwijaya (Pajang), Danang Sutawijaya - Senapati Ing Alaga Sayyidin Panatagama (Mataram Islam), Syarif Hidayatullah (Cirebon), Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), dan lain-lain. Rata-rata dari mereka yang tercatat sukses dan menjadi “aktor” terbaik ketika bertahta memangku jabatan sebagai Sultan adalah mereka yang memiliki keunggulan kepribadian (psikologis), kemasyarakatan (sosiologis), keturunan (genetis), kenegaraan (yuridis), dan keagamaan (asketis). Kelimanya itu menjadikan mereka mampu tampil sebagai tokoh yang handal, fenomenal dan professional tentunya.
Sampai pada abad 20, peran politik umat Islam terus menggelayut pada pundak mereka dengan sebuah “keyakinan” bahwa Nusantara ini dapat berdiri tegak dengan baik apabila ia didirikan oleh umat Islam dengan system Khilafah (yang tentunya berorientasi pada berdirinya Negara Islam).
Ketika Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membuka “kran” bagi berdirinya partai politik berhaluan agama, tahun 1911 Sarekat Islam (SI) tampil sebagai partai Islam pertama setelah sebelumnya bergerak dalam bidang ekonomi kemasyarakatn dengan gerbong Syarikat Dagang Islam (SDI) sebagai kendaraannya. Namun dalam perjanan politiknya (sejak awal berdirinya), SI tidak luput dari intrik-intrik politik yang menggelitik dalam intern partai. Terkuaklah kepada publik, bahwa telah terdapat “SI Putih” dan “SI Merah”. Laqob (gelar) “SI Putih” untuk anggota SI yang benar-benar murni menjalankan tujuan SI yang berlandaskan Islam, dan “SI Merah” untuk anggota yang berafiliasi kepada haluan komunis yang berfaham Markxis. Hal ini akibat adanya infiltrasi dalam tubuh SI oleh kaum komunis yang sengaja membuat keangggotaan rangkap bersama ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereniging) di bawah pengaruh Sneevliet (seorang pekerja lepas Belanda, pengagum J. Stalin dan Lenin). Maka dengan pengaruhnya, pada tahun 1917 berhasil membawa tokoh-tokoh SI menjadi anggota ISDV, diantaranya Semaoen dan Darsono, yang keduanya kemudian menjadi penyebar faham Markxisme di Indonesia. (Setneg RI, 1994 ; 8).
Berikutnya, yang menjadi daftar panjang sejarah perkembangan Islam di Indonesia adalah terjadinya perbedaan persepsi pada segi pemahaman permasalahan ubudiyyah dalam Islam, dimana pada tahun 1912 muncul suatu gerakan sosial Islam berlabel Moehammadijah. Sehingga hal ini (menyebabkan) pada tahun 1926 lahirlah Nahdlatoel Oelama (yang dalam bahasa penulis) muncul sebagai suatu gerakan untuk “menyelamatkan” metode dakwah berbasis kearifan lokal.
Pasca kemerdekaan, yaitu setelah digulirkannya “bola” proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ke seluruh dunia, dimana banyak Negara-negara di dunia mengakui kemerdekan Indonesia, termasuk desakan dari Presiden AS ke 33, Harry S. Truman kepada Pemerintah Belanda berkaitan dengan kebijakan luar negerinya, untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. (Suhindriyo, 1999 ; 128), muncullah Madjlis Sjoera Moeslimin Indonesia (Masjoemi) dalam kancah perpolitikan Indonesia untuk menaungi aspirasi umat Islam, baik dari kalangan Muhammadiyah, NU, Persis, Jam’iyyah Al Washliyah, dan Al Irsyad. Salah satu yang melatarbelakangi berdirinya Masjoemi ini adalah bahwa gerakan-gerakan yang berhaluan komunis yang atheis gaungnya telah dirasakan umat saat itu, sehingga menjadi Wajib adanya untuk mendirikan sebuah partai politik Islam yang diharapkan dapat “menyelamatkan” bangsa dan Negara.
Sebagaimana SI, Masjoemi pun tidak dapat melenggang dalam gelanggang politik dengan mudah, dimana atas beberapa kebijakan-kebijakan parpol “pelangi Islam” ini, memaksa sejumlah anggota Masjoemi yang dimotori oleh Wondoamiseno dan Arudji Kartawinata keluar dari partai dan kemudian mendirikan Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII). Langkah ini pula yang kemudian diambil oleh NU, ketika pada tahun 1952, KH. Abdul Wahab Chasbullah membawa NU keluar dari Masjoemi (akibat tidak terakomodirnya kepentingan-kepentingan NU dalam kebijakan partai), dan kemudian berdiri sebagai partai politik yang perolehan suaranya tidak kalah jauh dari Masjoemi.
Politik seringkali diartikan dengan kekuasaan dan kepentingan, walaupun tidak selamanya keduanya dikonotasikan dalam bentuk negatif. Keduanya dapat dikatakan menjadi baik, apabila dapat merealisasikan aspirasi rakyat.
Sebuah peristiwa besar yang fenomenal (dalam persepsi penulis), yang jika direnungi, kemudian dihayati untuk selanjutnya dapat diaktualisasikan dalam proses politik sadar diri, Purwadi mengetengahkan (2004 ; 225), ketika Pangeran Benawa putra Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir atau Mas Karebet) telah berhasil dididik ayahandanya menjadi seorang putra mahkota yang memiliki akhlak mulia dan senantiasa tulus ikhlas, maka ia menjadi Sultan Pajang hanya sebentar, berhubung banyak orang yang berambisi untuk menjadi penguasa, dia malah rela untuk hidup sebagai pertapa saja. Tahta ia serahkan kepada kakaknya, Danang Sutawijaya atau Panembahan Senapati (Sultan Mataram Islam pertama), yang dianggapnya memiliki moralitas, kapasitas, profesionalitas dan integritas.



























PASANG SURUT PARTAI ISLAM PRA ORDE BARU

Idealisme Perjuangan Politik Islam
Kegiatan politik adalah realitas kehidupan manusia, bahkan kegiatan politik bagi manusia merupakan bentuk asosiasinya dikarenakan adanya tujuan mencapai kebaikan bersama. Oleh karena itu, manusia dapat disebut sebagai makhluk politis (zoon politicon).
Secara umum sebagaimana dipaparkan Ramlan Surbakti yang dikutip oleh Tobroni dan Syamsul Arifin (1994 ; 38) menyebut ;
sekurang-kurangnya ada lima kerangka konseptual yang dapat digunakan dalam memahami politik. Pertama, politik dipahami sebagai usaha warga Negara dalam membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik sebagai segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggapnya penting.

Islam disampaikan untuk menciptakan kesejahteraan umum bagi manusia secara menyeluruh, ia tidak memberi batas pada perbedaan ras dan warna kulit, muslim atau non muslim, atau manusia dalam bahasa apapun, (sekali lagi) Islam tidak mendirikan tabir yang dapat menghalanginya. Hal ini karena ajaran Islam tentang ibadah, mu’amalah, sosial ekonomi, pemerintahan, politik dan sebagainya, telah diatur didalam Al Qur’an yang tentunya harus dipahami secara mendasar dan bersifat universal, serta merupakan suatu kewajiban untuk mematuhinya. Maka umat Islam mengalami kegalauan ketika harus memisahkan dan memilah antara agama dan politik, berkenaan dengan sebab di atas. Sebagaimana diungkapkan A. Hasjmy (1984 ; 53), bahwa :

a. tiap yang berhubungan dengan akidah dan ibadah adalah agama, dan dapat disebut “politik Islam” dalam memperbaiki akidah dan ibadah.
b. tiap yang berhubungan dengan moral dan pendidikan adalah agama, dan dapat disebut “politik Islam” dalam bidang moral dan pendidikan.
c. tiap yang berhubungan dengan mu’amalah adalah agama, dan dapat disebut “politik Islam” dalam memperbaiki ekonomi dan sosial.
d. tiap yang berhubungan dengan pemerintahan dan pentadbiran adalah agama, dan dapat disebut “politik Islam” dalam memperbaiki pemerintahan dan tata usaha negara

Hal mendasar di ataslah yang menjadi kesimpulan awal untuk menciptakan kekuatan politik Islam di Indonesia (pada awal pembentukannya), disamping terdukung adanya motivasi untuk menentang imperialisme dan terdapatnya isu usaha-usaha penyebaran Kristen oleh Missionaris Belanda di Indonesia.

Partai Islam ; Masa Kepemimpinan Soekarno
Menjelang Proklamasi Kemerdekaan, peran parpol Islam tidak memiliki aktifitas berlebihan, namun perjuangan diplomatis tetap dilakukan (walaupun tidak membawa bendera parpol). Hal ini mengemuka tatkala wacana tentang Pancasila digulirkan Bung Karno pada 5 Juni 1945. Bung Karno sendiri sebenarnya menolak ketika ia disebut-sebut sebagai pencipta Pancasila, sebagaimana diutarakan AG Pringgodigdo melalui makalahnya dalam Darji Darmodiharjo, (ed.,1995 ; 128) dimana menurut Bung Karno, ia hanya sekedar menjadi “pengutara” keinginan-keinginan dan jiwa bangsa Indonesia yang turun temurun dan telah lama tergurat pada jiwa bangsa Indonesia. Kemudian baru pada 22 Juni 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) merumuskan Konsep Deklarasi Kemerdekaan Indonesia yang kemudian dikenal dengan Piagam Djakarta. Dalam piagam ini, memberikan sebuah isyarat secara nyata, bahwa pada hakekatnya Islam adalah agama Negara Indonesia (Nurcholis Madjid, 1995;4) melalui sila ketuhanannya yang berbunyi ; “percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kesepakatan ini sehari setelah kemerdekaan digugurkan atas usul Hatta yang disepakati juga oleh beberapa tokoh Islam, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus dan sila pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. (lebih lengkap dapat dibaca dalam Endang Saefudin Anshari, 1983). Lebih lanjut Cak Nur (ibid.; 4) menambahkan bahwa :
“Piagam Jakarta ini sebagai teks kemerdekaan bangsa tepat pada waktunya harus dirumuskan, dan ia dimasukkan ke dalam muqaddimah dari konstitusi Indonesia yang diusulkan. Namun tatkala Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini, 17 Agustus 1945, mereka tidak menggunakan piagam ini. Sebaliknya mereka merumukan sebuah dokumen yang sangat ringkas yang didalamnya tidak disebutkan secara rinci apa yang akan dijadikan nature dari Negara Indonesia merdeka ini, dan didalamnya tidak pula disebutkan, sesuatu menyangkut agama Islam atau agama lainnya.”

Inilah awal dari babak Indonesia Baru telah lahir, yang kemudian kubu Islam dan kubu Developmentalis bersepakat mengambil jalan tengah demi persatuan bangsa, yaitu gagasan mengenai suatu negara yang ingin mengakui suatu asas keagamaan dan ingin bersifat positif terhadap semua agama. (Pramono U. Tanthowi, 2005;40).
Menyikapi hal ini, diawali dari “kekalahan” umat Islam dalam mempertahankan Piagam Jakarta dimana lanjut Pramono (Ibid,:36) menyebutkan bahwa ;
“Kekalahan politik yang diderita kalangan Islam itu terjadi pada tiga periode sejarah. Pertama, kekalahan Islam politik pada masa pra kemerdekaan, yang puncaknya adalah penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kedua, kekalahan politik pada masa demokrasi terpimpin, yang puncaknya adalah pembubaran Masyumi tahun 1960. Dan ketiga, kekalahan politik pada masa orde baru, dengan puncaknya adalah penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi politik dan organisasi massa tahun 1985.”

Pada dasawarsa 1950-an, pertentangan antar partai memanaskan situasi dan suhu politik nasional. Hal ini apabila kita tengok pada latar belakang histories sangat dapat dimaklumi, karena Indonesia memiliki masyarakat yang heterogen, baik dalam masalah agama, etnis, termasuk dalam bidang politik. Dalam hal ini pula bangsa Indonesia dihadapkan pada sebuah kenyataan yang muncul pada tataran permukaan di Nusantara, bahwa mereka harus berhadapan (secara fisik) dengan bangsanya sendiri yang berafiliasi pada suatu pemahaman keharusan pendirian Negara Islam Indonesia (NII). Maka konflik sosialpun dengan terpaksa harus terjadi akibat kuatnya prinsip ideologis yang bersifat primordial. Gejolak sosial politik yang timbul akibat kurang akomodatifnya pemerintah dalam pembagian “jatah” hasil perjuangan fisik ini ikut memperkeruh suasana pasca kemerdekaan RI, dimana DI/TII yang mendapat “angin segar” akibat adanya dukungan masyarakat Islam secara luas plus “diamnya” parpol Islam dalam menyikapi “makar” yang dilakukan DI/TII dikarenakan adanya salah satu “kesamaan tujuan”, yaitu NEGARA ISLAM menyebabkan terbentang lebarnya jurang pemisah antara parpol nasionalis dan Islam (terutama) PNI dan Masyumi, yang sering diibaratkan bahwa PNI adalah pendukung Pancasila, dan Masyumi sebagai penolak Pancasila untuk kedaulatan yang berdasarkan Islam.
Dan ternyata, kembali umat Islam harus menelan pil pahit, manakala perolehan suara partai Islam yang diwakili oleh dua partai besar, yaitu Masyumi dan NU yang masing-masing mampu meraup suara sekitar 20% dan 18%, sementara PNI memperoleh suara terbanyak dengan 22% dan PKI tampil sebagai empat besar dengan pengumpulan kantung suara sebanyak 16%. Dengan terjadinya hal tersebut, maka menyebabkan kabur dan rumitnya kondisi perpolitikan nasional, karena dapat disebutkan tidak adanya partai pemenang pemilu, disebabkan hampir meratanya jumlah kursi parlemen empat partai besar kontestan pemilu. Maka, dapat ditebak kalau parlemen yang dibentuk dapat dipastikan tidak akan berusia lama. Dan pada puncaknya, tanggal 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden. Maka dengan mundurnya Hatta, berakhir pulalah dengan apa yang dinamakan “Dwitunggal”.
Setelah Soekarno pada 5 Juli 1959 mengumumkan Dekrit kembali ke UUD 1945, maka PKI mendapatkan kesempatan terbuka untuk melakukan penanaman ideologinya, apalagi setelah diampuni dan dilupakannya kebiadaban PKI pada pemberontakan Madiun 1948, tanpa terjadi pengusutan, penuntutan dan pengadilan selepas pengakuan kedaulatan 1949 (Taufiq Ismail, 2004;21). Adalah Dipa Nusantara (DN) Aidit selaku Ketua Cental Comite PKI yang memanfaatkan kedudukannya sebagai pimpinan Panitia Kerja Dewan Pertimbangan Agung dengan memasukkan program-program PKI dalam GBHN yang kemudian dikenal dengan Manipol (Manifesto Politik) yang dirumuskan sesuai dengan cita-cita PKI. Hebatnya, Bung Karno kemudian memberikan persetujuan terhadap rumusan Manipol ini. Merasa mendapat dukungan atas langkah dan strategi politik PKI oleh presiden, maka sasaran berikutnya bagi PKI adalah disamping terus menanamkan ideologi komunisme ke dalam orang-orang yang duduk dalam struktur kepemerintahan dan militer, juga membuat suatu gerakan secara khusus untuk “menyingkirkan” lawan politiknya (Masyumi dan NU dari kalangan Agama, Partai Murba dari Nasionalis dan BPS-Barisan Pendukung Soekarno) yang tidak sejalan dengan konsep-konsep PKI. Dan selanjutnya, “atas berkat” agitasi dan propaganda DN. Aidit, adalah keberhasilannya meyakinkan Bung Karno memaksa kepada Masyumi untuk membubarkan diri sehubungan dengan keterlibatan sebagian tokoh dan anggotanya dalam PRRI.( Ibid.;47) Dan pada tahun 1960, kembali kalangan Islam mengalami “kekalahan” dengan hilangnya Masyumi dari percaturan politik nasional dan kemudian disusul dengan dibubarkannya BPS oleh Bung Karno sendiri, demikian pula terjadi pada Partai Murba. Dengan ini maka hanya tinggal ada 1 parpol yang menjadi lawan politik PKI, yaitu NU dan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat yang selalu menjadi batu sandungan bagi PKI dalam mewujudkan tujuannya.
Sebagai akibat dari persaingan kepentingan politik ini, maka setelah dirasakan cukup kuat untuk melancarkan coup de etat (kudeta), beberapa strategi telah diupayakan PKI untuk dapat merebut kekuasaan sebelum akhirnya muncul dengan apa yang dinamakan Gerakan 30 September, dengan Letkol Oentoeng (Komandan Pasukan Kawal Tjakrabhirawa) menjadi pimpinan gerakan. Namun karena pertolongan Tuhan jualah, akhirnya gerakan ini dapat tercium dalangnya dan selanjutnya atas desakan masyarakat, mahasiswa, ormas-oramas keagamaan, dan partai politik serta Front Pancasila, PKI menjadi parpol yang terlarang beserta faham-faham Komunismenya, Markxis dan Leninismenya serta dinyatakan sebagai sebuah Bahaya Laten.



PERAN PARTAI ISLAM MASA ORDE BARU DAN REFORMASI
Partai Islam dalam Masa Orde Baru
Memasuki masa Orde Baru tahun 1967-an, suatu masa dimana telah dicabutnya kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno yang sikap dan tindakannya dianggap MPRS telah menguntungkan PKI dan gerakannya, berujung pada naiknya Soeharto menggantikan Soekarno menjadi presiden RI. Akselerasi Soeharto (dalam karier politiknya) yang mendapat “berkah” atas terjadinya makar yang dilakukan PKI, seolah-olah membawa angin segar bagi parpol Islam. Setelah sekian lama, partai-partai Islam merasa “dikebiri” pada masa Soekarno, maka Soeharto diharapkan dapat membawa angin perubahan yang lebih luwes dan mengakomodir kepentingan partai Islam atas nama umat Islam Indonesia, terlebih adanya keinginan kuat bagi Masjumi untuk merehabilitasi partainya agar dapat menjadi kontestan pemilu.
Namun kalangan Islam nampaknya harus kembali gigit jari melihat langkah-langkah yang dilakukan Soeharto untuk “mengamankan” kekuasaannya, melalui pembentukan sebuah wadah bersifat golongan yang kemudian “mengakomodir diri” menjadi kontestan dalam pemilu, ialah Golongan Karya (Golkar). Lokomotif Golkar memang terlalu perkasa untuk menjadi lawan tanding partai-partai Islam, terlebih partai nasionalis yang sejak kepemimpinan Soeharto terasa termarginalkan untuk tidak mendapatkan bagian “kue” Orde Baru. Mesin politik Golkar pun bergerak dengan sangat cepat dengan segala daya upayanya untuk dapat bertengger di papan atas perolehan suara. Partai-partai kontestan pemilu pun “harus mengakui keperkasaan Golkar” ketika perolehan suara Golkar mencapai 62,8 % jauh diatas perolehan suara partai-partai lama. Diantara partai-partai besar, hanya NU yang mampu bertahan atas “serangan” ini dengan perolehan suara sama seperti pada tahun 1955, yakni 18,4 % dan PNI hanya mendapat 6,9 % suara, sedangkan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) 5.3 % suara jauh dibawah perolehan Masjumi tahun 1955. (William Liddle, 1994;67).
Pada perkembangan berikutnya, pemerintahan Soeharto mencoba “menyatukan” partai-partai Islam, yakni NU, Parmusi, PSII dan Perti. Pada 5 Januari 1973 mereka berfusi untuk membentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan mengusung tanda gambar bercirikan Islam, yakni Ka’bah. Sementara partai-partai nasionalis dan Kristen, yakni PNI, IPKI, Partai Katolik, Parkindo dan Murba, melebur dengan membentuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 10 Januari 1973. Terbentuknya PPP dan PDI yang berselang hanya lima hari, merupakan kebijakan Soeharto yang (disinyalir) sengaja diatur sedemikian rupa supaya lebih mempermudah dalam pembagian “jatah” kekuasaan. Sudah barang tentu Golkar dan elite partainya berupaya dapat bertahan sebagai penguasa.
William Liddle (ibid;68) kemudian mengemukakan pendapat salah seorang kader PPP yang mengatakan, “pemilu tidak lebih dari sekedar sandiwara, pemerintah ingin menentukan pembagian suara menjadi 60 ; 30 ; 10 %. Dengan cara bagaimanapun, kami tidak akan mampu bersaing dengan mereka.”
Soeharto telah berhasil menunjukkan “kepiawaiannya” dalam membuat pemetaan politik yang menguntungkan kekuasaannya. Sejalan dengan itu, ia kemudian membidik sasaran baru yang dapat digunakan untuk meligimitasikan kekuasaannya, yaitu dengan pola pelestarian Pancasila, sehingga pada puncaknya, pemberlakuan “asas tunggal” bagi parpol yang tertuang dalam UU No.3/1983 dan UU No.5/1985 bagi ormas.
Dalam persepsi penulis, “diplekothonya” parpol dan ormas ini, selain memiliki tujuan “save the orba” juga terdapat implikasi yang penulis anggap paling dapat menguntungkan secara positif pada semua kalangan. Pertama, ideologi Pancasila akan menjadi sarana menolak kebangkitan faham komunisme. Kedua, ideology Pancasila dapat mencegah adanya upaya-upaya kelompok radikal Islam yang “ngeden” ingin mendirikan Negara Islam Indonesia.
PPP, yang berasal dari berfusinya partai-partai Islam sebenarnya dapat menjadi sebuah kekuatan untuk menyalurkan aspirasi umat Islam Indonesia. Namun yang terjadi justru kemesraan partai-partai Islam dalam PPP menjadi kabur dan pudar. Para elite partai Islam dalam PPP lebih banyak menguras tenaganya untuk bersaing (secara intern) demi kepentingan kelompoknya ketimbang memikirkan bagaimana prospek umat Islam ke depan. Kebijakan-kebijakan partai dalam memilih ketua umum, tidak mengakomodir kelompok pendulang suara terbesar PPP, yakni NU. Maka seperti yang diungkapkan Hasyim Muzadi, (Ketua Umum PBNU) pada Deklarasi PKB tingkat Anak Cabang Bumiayu, Brebes tahun 1998, “Keberadaan NU dalam PPP ibarat mendorong mobil mogok.” Kalangan NU sering merasa termarginalkan keberadaannya sebagai penentu kebijakan-kebijakan partai. Maka tidak pernah dijumpai pimpinan PPP berasal dari kalangan NU, kecuali Hamzah Haz (yang itu pun terjadi setelah reformasi dan PPP memiliki kepentingan untuk bersaing melawan PKB). Beberapa wacana muncul pada tataran permukaan, bahwa runtuhnya ikatan tradisional, histories, ideologis, dan emosi keagamaan dalam intern PPP hakekatnya merupakan rekayasa akibat terjadinya rivalitas politik dengan “menyusupkan” J. Naro, SH (yang sebelumnya tidak dikenal dalam kalangan Islam) dalam PPP. Konflik ideologi sosial politik yang dipadukan dalam format ideologi Pancasila, menjadi gejala penyusutan dukungan umat terhadap partai Islam (PPP). (Abdul Munir Mulkhan, 1992 ; 73), karenanya banyak kalangan Islam pesimis PPP dapat menjadi “kran” pencerahan, pemberdayaan dan kesejahteraan umat Islam.
Hal ini kemudian diperparah, ketika NU menarik diri keluar dari PPP melalui Munas Situbondo tahun 1983 dan Muktamar di Surabaya tahun 1984, serta kembali menjadi organisasi sosial keagamaan (sebagaimana didirikannya pertama kali) dan menyatakan kembali kepada Khittah 1926. (PB NU, 1984).



Partai Islam dalam Masa Reformasi
Peristiwa 27 Juli 1997 seolah-olah menggugah kaum nasionalis untuk bangkit dari tidurnya dan mendapatkan cahaya semangat primordialitas untuk ikut serta berperan aktif mengusung panji-panji nasionalis kembali berjaya mewarnai perpolitikan Indonesia.
Sementara posisi Soeharto semakin terdesak akibat gencarnya aksi-aksi demontrasi mahasiswa dan rakyat, menuntut turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan (dengan mengusung tema-tema borjuis, kapitalis, korupsi, kolusi dan nepotisme) yang ditujukan kepada Soeharto wa ‘ala alihi wa shahbihi ‘ajma’in. 14-15 Mei 1998 tercatat dalam sejarah perpolitikan di Indonesia sebagai hari kelabu di penghujung pemerintahan orde baru, akibat dari terpasungnya nilai-nilai demokrasi.
Beberapa tokoh-tokoh Islam pun yang sering melakukan kritik-kritik tajam terhadap pemerintahan Orde Baru pun bermunculan tampil sebagai “reformis”, diawali Oleh Sri Bintang Pamungkas (PUDI) yang tampil mengesankan didepan rakyat, lalu Amien Rais, Ketua Umum PP Muhammadiyah yang suaranya selalu terdengar di tengah arus gelombang unjuk rasa mahasiswa anti Orba. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama, orang yang paling dan sangat diperhitungkan Soeharto, karena sikapnya yang seolah-olah “menantang perang terbuka” ketika berkonfrontasi dengannya, melaju dalam kancah reformasi dengan dukungan massa NU yang besar. Sementara, Megawati selalu melakukan konsolidasi intern partai dan turba ke tingkat grassroot, yang dengan kepalan tangannya (sebagai symbol melawan penindasan) selalu dan senantiasa memompa dan mengorbankan semangat nasionalisme pada kader-kader partainya. Keadaan semacam ini kemudian terus berkembang, sehingga muncul kaukus antar sesama tokoh di atas, dengan berkumpul di kediaman Gus Dur, Ciganjur Jakarta Selatan dan menyepakati beberapa agenda-agenda reformasi yang diaspirasikan mahasiswa dan rakyat (walaupun tidak semua tuntutan terakomodir nantinya), dan kemudian dinamakan “Deklarasi Ciganjur”, yang deklaratornya adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Amien Rais, Megawati dan Sri Sultan Hamengku Bhuwana X.
Fenomena “Ciganjur” ini memberikan harapan tersendiri bagi rakyat, dengan bercermin terhadap apa yang mereka alami pada masa rezim Soeharto dan atas apa yang mereka lakukan berupa kritik-kritik social yang membela rakyat.
Euforia reformasi pasca lengsernya Soeharto tahun 1998, menciptakan semangat tersendiri bagi umat Islam untuk membentuk partai Islam dengan “bernostalgia” (walaupun tidak semua) mengambil nama dan tanda gambar partai sama, dan atau menyerupai partai-partai sebelumnya (sebagaimana tersebut pada pendahuluan). Sementara itu, baik Gus Dur maupun Amien Rais tidak ikut-ikutan “latah” memakai label Islam berbekal kadar kemapanan intelektual, spiritual dan latar belakang social, masing-masing dari mereka membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mendapat “legitimasi” dari NU, dan Partai Amanat Nasional (PAN) dengan berbasis massa Muhammadiyah sebagai harapan konstituennya. Keterikatan organisasi spiritual secara primordial, memaksa massa untuk memback up total bagi kemenangan partai. Penamaan partai Islam, menurut Arskal Salim (1999 ; 8) adalah partai yang menggunakan lima criteria ; asas, nama, tanda gambar, tujuan/program dan konstituen. Dengan lima criteria ini, maka yang disebut partai Islam adalah partai yang meski tidak memakai label Islam, tetapi hakekat perjuangannya terutama untuk kepentingan umat Islam ; atau partai yang meski tidak menggunakan label Islam dan memiliki program untuk seluruh kepentingan Islam, tetapi konstituen utamanya adalah umat Islam. Sebut saja pada kriteria ini terdapat PKB yang berbasis pesantren dan massa Nahdliyyin baik struktural maupun kultural dan PAN yang memiliki massa Muhammadiyah.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang telah ada sejak zaman orde baru, tetap bertahan dengan mengubah performance kembali pada tanda gambar Ka’bah setelah sebelumnya “dipaksa” untuk memakai “Bintang” sebagai wujud pengakuan asas tunggal Pancasila di era Soeharto. Bermodalkan Hamzah Haz yang berasal dari kalangan NU, PPP disinyalir dapat mendongkrak perolehan suara Nahdliyin untuk tetap “istiqamah” walau harus berbenturan dengan partai Islam lain yang lebih dekat dengan kultur NU.
Pemilu 1999 pun berlangsung, dan apa yang menjadi kekhawatiran umat Islam menjadi suatu kenyataan, ketika mereka (partai-partai Islam) harus mengakui keunggulan PDI Perjuangan yang mampu keluar sebagai pemenang pemilu, disusul Golkar. Sementara dari kalangan Islam hanya dapat terwakili oleh PKB, PPP dan PAN dimana suara yang diperolehnya belum mampu bersaing dengan kedua parpol sebelumnya.
PDI Perjuangan yang walau telah memenangkan pemilu 1999 dan mendapatkan kursi terbanyak dalam parlemen, tetap tidak dapat mendapatkan “kursi empuk” kepresidenan, setelah sebelumnya ia dihadapkan kepada sebuah kenyataan harus bersaing dengan Abdurrahman Wahid (PKB) yang diusung poros tengah dimana wadah ini merupakan kaukus dari komunitas partai-partai Islam di parlemen. Kaukus ini terbentuk karena terjadi kekhawatiran kalangan Islam akan kebijakan-kebijakan Megawati andai ia duduk di kursi kepresidenan, (yang salah satunya dianggap) akan mengikuti jejak ayahnya “membungkam” partai-partai Islam melalui jaringan dan basis massa nasionalisnya.
Awal baru udara reformasi dibawah kepemimpinan Presiden Wahid, membawa harapan mendalam bagi umat Islam dan bangsa Indonesia, dimana masyarakat mengenal baik bahwa Gus Dur adalah seorang yang memiliki integritas tinggi dalam spiritual, sosial dan intelektual sehingga apabila ia menjadi kepala Negara, seluruh elemen masyarakat akan dapat menghirup udara demokrasi yang selama ini dinanti-nantikan.
Pada giliran berikutnya, adalah penyesalan poros tengah yang menyatakan suatu “kecelakaan” sejarah mengusung Gus Dur, karena kebijakan-kebijakannya yang sering kali “dianggap” melecehkan dan menyimpang dari aspirasi umat Islam, disamping itu juga Gus Dur telah berani berkonfrontasi secara terbuka dengan parlemen (walaupun kekuatannya di parlemen hanya 57 kursi dari Fraksi Kebangkitan Bangsa). Hal ini berakibat jalannya roda reformasi menjadi tersendat karena parlemen (kaukus partai Islam dan Nasionalis) lebih banyak mengeluarkan keringat untuk menjatuhkan Gus Dur ketimbang menyelamatkan dan melanjutkan agenda reformasi. Dan akibatnya bisa ditebak, Gus Dur pun jatuh dari kursi kepresidenan, digantikan Megawati yang sudah menantinya dengan “penuh kesabaran”.
Dari hal ini, maka ditarik sebuah benang merah, bahwa partai-partai Islam yang dibentuk tokoh-tokoh Islam hakekatnya hanya memperjuangkan kepentingan-kepentingannya secara primordial tanpa melihat kepentingan Islam secara universal. Kalangan Islam tradisional lebih melihat Gus Dur keluar dari rel ke-NU-annya, terlebih kalangan Islam fundamentalis lebih melihat Gus Dur bukan sebagai cerminan ke-Islam-an dan lebih berat memandangnya pada perlawanan terhadap Islam, sementara kalangan Islam moderat dan liberal, memandang Gus Dur sebagai penyelamat Islam dengan cara “menghantam” Islam. Masdar F. Mas’udi dalam makalahnya bertittle ; Demokrasi dan Islam (dalam Masyhur Amin - M. Najib, ed.,1993 ; 4) yang disampaikan pada Diskusi Bulanan yang diselenggarakan LKPSM NU DIY, mengatakan :
“ Yang mengherankan adalah bahwa umat Islam, umat yang dalam kitab sucinya jelas-jelas menyebut prinsip human dignity (Al Isra : 70) dan mutlaknya syura dalam menentukan persoalan bersama (Asy Syura : 38) plus pengalaman sejarah perpolitikannya yang begitu panjang dan intens, ternyata belum jelas juga sikapnya dalam demokrasi, atau lebih tepatnya terhadap prinsip kedaulatan manusia-rakyat dalam menentukan urusan-urusannya. Alas an yang selalu dikemukakan adalah bahwa dalam Islam, kedaulatan tertinggi bukan di tangan rakyat, melainkan di tangan Tuhan.”

Maka dengan hal ini, masih banyak dari kalangan umat Islam yang masih sempit dalam mengartikan Islam yang disebut sebagai agama yang Rahmatan lil ‘alamin. (sekedar contoh) Dengan gampang, muslim menyebut orang non muslim sebagai “kafir” (yang menurut pemahamannya, “kafir” berarti bukan umat Islam yang percaya kepada adanya Allah), tetapi mereka tidak pernah mengkafirkan dirinya sendiri (jika melihat dari substansi “kafir” dalam S.Al Baqarah yang menceritakan pengusiran Iblis karena “Abaa”/ membangkang, dan “Takabbur” / sombong).

Potret Partai Islam ke Depan
Pemilu Legislatif 2009 telah diambang pintu. Partai politikpun berusaha maksimal untuk dapat mendulang suara guna memenuhi kursi legislatif. Namun ada hal yang perlu menjadi sebuah catatan penting dalam pemilu kali ini, yaitu jika pada pemilu sebelumnya persaingan calon legislator dalam suatu partai politik tidaklah begitu kuat gesekannya, namun dalam pemilu 2009 ini justru pertarungan yang sangat sengit terjadi dalam intern partai, yang salah satunya adalah akibat dari keputusan Mahkamah Konstitusi tentang kursi legislatif yang dapat diperoleh dengan pendulangan suara terbanyak. Jika pemilu sebelumnya, konstituen memilih dalam Tempat Pemungutan Suara (TPS) melalui pencoblosan dengan melubangi tanda gambar partai dan caleg yang tercantum, maka kali ini harus dengan mencontreng atau mencentangnya. Maka hampir dapat dipastikan pemilu 2009 besok akan banyak membuat masyarakat kalangan bawah merasa “kethetheran” akibat minimnya sosialisasi tata cara pemilihan dalam TPS dan rendahnya tingkat pendidikan sehingga berpengaruh pada rendahnya pemahaman dalam proses pemilihan.
Hal ini kemudian diperparah dengan munculnya istilah “Coast Politic” dan “Dana Aspirasi” (yang penulis belum dapat membedakan istilah di atas dengan Money Politic). Dengan adanya hal ini, masyarakat kalangan bawah kemudian menjadi “cerdas” dengan tidak memilih calon legislator melalui sistem paket dalam satu partai.
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah “terlanjur” mengeluarkan fatwa “Haram” untuk tidak memilih dalam pemilu kali ini, walaupun tidak diikuti fatwa “Haram” menerima “Dana Aspirasi” ataupun “Coast Politic” dari calon legislator ataupun partai politik, karena “mungkin” dana-dana tersebut menurut MUI bukan termasuk katagori “al Rasyi wa al Murtasyi”, sehingga tidak perlu mengeluarkan fatwa tersebut.
Namun yang jelas, keadaan semacam ini adalah akibat dari kekecewaan masyarakat atas sikap anggota legislatif yang mendapatkan “berkah” dari Pemilu 1999. Masyarakat beranggapan, percuma ikut kampanye, konvoi, cari suara untuk partai, jika aspirasi anggota dan simpatisannya tidak terakomodir. Hal ini dapat kita lihat, begitu banyak para pedagang asongan dan kaki lima mendulang banyak rupiah setiap ada deklarasi ataupun kampanye terbuka partai-partai politik pada pemilu 1999. Banyak simpatisan partai (terutama partai-partai yang berbasis Ormas dan nasionalis) rela membeli bendera dan segala atribut partai idolanya guna ikut serta menarik simpati massa untuk memenangkan pemilu. Tetapi fenomena tersebut tidaklah daoat kita jumpai sejak pemilu 2004. Para Calon Legislator, harus siap secara materi karena ada sebuah tuntutan dari masyarakat untuk “ngopeni” dan “tebar pesona”, entah berupa stiker, kalender, baliho, kaos, bendera, bantuan fasilitas umum, sarana olah raga sampai yang paling ekstrim adalah bergerilya melakukan “serangan fajar” pada hari tenang menjelang pemilihan.
Memprihatinkan memang kondisi sosial ekonomi masyarakat sekarang, dimana untuk dapat mendulang suara, para calon legislator harus “membeli suara” yang bukan berasal dari nurani seseorang. Bagi masyarakat, “pemilu ada atau tidak ada, nasib kita tetep begini saja, maka pilih yang “ngopeni” saja”. Mereka tidak lagi memandang partai islam atau berlatar belakang ormas islam. Nasionalispun jika ada imbalan materi, tetap akan mereka back up dalam pendulangan suara pemilu. Luar Biasa …!!
Maka inilah tugas MUI yang mesti menggodok fenomena di atas, tidak hanya sekedar pemenuhan “fatwa-fatwa titipan politik”. Umat Islam harus terselamatkan dari pandangan-pandangan politik di atas. Maka dalam pemilu 2009 ini, masyarakat menaruh harapan banyak kepada calon legislator supaya dapat menjaga amanah rakyat, bukan untuk mengembalikan modal calegnya. Visi Misi Islam yang “memberi rahmat bagi seluruh alam” harus terus diperjuangkan oleh para anggota dewan dari partai-partai Islam.
TH. Sumartana (dalam Abu Zahra, ed. 1999 ; 117-120) menyebutkan :
“Jika Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia (Perjuangan) sementara ini tidak dihitung, yang tinggal dan akan maju menjadi kekuatan paling potensial untuk berkuasa di negeri ini adalah partai Islam dan Tentara. Sejak Orde Baru sampai masa reformasi, de facto, golongan militer berkuasa penuh atas kehidupan politik Indonesia. Setelah Orde Baru pimpinan Soeharto terkapar dalam krisis multi dimensional, muncul kekuatan baru yang selam ini menanti untuk berkuasa, yaitu kekuatan politik atas nama keislaman. Pemerintahan Habibie boleh dikatakan sebagai masa transisi dari sebuah bentuk koalisi antara Islam dan Militer, yang secara embrional sudah dimulai pada akhir pemerintahan Soeharto…. Selanjutnya, bila factor tentara sekarang ini bisa diabaikan, kekuatan politik dengan bendera Islam akan muncul di tengah arena selaku kekuatan baru yang lebih terorganisasi.”

Maka apabila partai-partai Islam, yang sementara ini lebih mengedepankan “syahwat politiknya”, pada era mendatang, tetap berkutat pada konflik internal partai, yang terjadi adalah kekecewaan umat Islam yang berujung pada hilangnya kepercayaan konstituen muslim terhadap partai-partai Islam. Hal ini bukan isapan jempol belaka, beberapa indikator yang menyebabkan timbul klaim demikian sudah terlihat jelas. Salah satunya, seperti yang telah tersebut di atas. Akhirnya yang akan menuai kemenangan bukanlah cita-cita Islam yang seperti diidam-idamkan umat Islam, melainkan kekalahan telak kembali mengukir sejarah perpolitikan Islam di Nusantara.
Maka selanjutnya, mari rapatkan barisan guna dapat memperjuangkan Islam secara kaffah mewujudkan Islam yang Rahmatan li al ‘alamin sehingga negara dapat mengakomodir semua kepentingan-kepentingan bukan saja umat Islam, tetapi umat beragama lain yang pada tahap selanjutnya layak disebut sebagai Baldah at Thayyibah wa Rabbun ghafur (negeri yang baik dan mendapatkan ampunan serta perlindungan dari Tuhan).
-----------------------------------------------------------------------
• Penulis adalah Guru Mata Diklat Pendidikan Agama Islam
di SMK Negeri 1 Tonjong Brebes














DAFTAR BACAAN


- Al Barbasy. Ma’mun Murad, Sejarah Berdirinya PMB, Al Wasath Press, Jakarta, 2008.
- Hasjmy.A, Di Mana Letaknya Negara Islam, Surabaya, Bina Ilmu, 1984
- Ismail. Taufiq, Katastrofi Mendunia, Marxisma-Leninisma-Stalinisma-Maoisma-Narkoba, Jakarta, Titik Infinitum, 2004.
- Liddle. William, Pemilu-pemilu Orde Baru, Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta, LP3ES, 1994.
- Madjid. Nurcholis, Islam Agama Kemanusiaa, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta, Paramadina, 1995.
- Mulkhan. Abdul Munir, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Yogyakarta, Sipress, 1992.
- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Laporan Muktamar NU ke-27 di Surabaya, Jakarta, PBNU, 1984.
- Pringgodigdo.AG., Santiaji Pancasila, Suatu Tinjauan Filosofis, Historis dan Yuridis Konstitusional, dalam Darji Darmodiharjo (editor), Jakarta, Gramedia, 1995.
- Purwadi. Dr.M.Hum., Sejarah Joko Tingkir, Yogyakarta, Pion Harapan, 2004
- Salim. Arskal, Partai Islam dan Relasi Agama Negara, Jakarta, Pusat Penelitian IAIN Jakarta, 1999.
- Sekretariat Negara RI, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Jakarta, Setneg RI, 1994.
- Suhindriyo. Drs., Biografi Singkat Presiden-presiden Amerika Serikat 1789-2001, Yogyakarta, Pustaka Nusatama, 1999.
- Sumartana. TH., Politik Islam dan Pluralisme Bangsa dalam Abu Zahra (editor), Politik Demi Tuhan ; Nasionalisme Religius di Indonesia, Bandung, Pustaka Hidayah, 1999.
- Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam; Pluralisme Budaya dan Politik, Yogyakarta, Sipress, 1994.