16 Mei 2009

Partai Islam dalam Kancah Politik Indonesia

PARTAI ISLAM DI PENTAS POLITIK NASIONAL
PASCA KEMERDEKAAN
(Membangun Strategi Politik Berbasis Jaringan Spiritual, Sosial dan Intelektual)
By : Muhammad Subkhan*



Pendahuluan
Genderang “perang” pertarungan partai di pentas perpolitikan nasional untuk sebuah hajatan tahun 2009 telah ditabuh. Beberapa aktor-aktris yang munculpun banyak mengalami perubahan. Perubahan yang dimaksud tentunya tertuju pada “Production House” dimana ia berakting menjadi bintang atau figuran dalam episode pementasannya.
Indonesia sebagai negara yang penduduknya mayoritas menganut agama Islampun, nampak dalam perpolitikan nasionalnya lebih terwarnai dengan hadirnya partai-partai yang didirikan oleh umat Islam, baik mengarah pada visi dan misinya demi Islam, ataupun bercirikan Islam dan bahkan hanya konstituennya (yang diharapkan lebih banyak) bergantung pada umat Islam.
Pasca “rezim” orde baru, kran-kran politik yang terbuka lebar memberikan kesempatan luas kepada elemen-elemen masyarakat untuk ikut membangun bangsa dan negara melalui pendirian partai-partai politik. Hal ini lebih dari sekedar euforia demokrasi, tetapi ia muncul sebagai bentuk perwujudan dari kepedulian lajunya demokrasi yang selama orde baru berada dalam “pasungan”. Masyarakat merasa berhak untuk ikut serta membawa bangsa ke arah yang lebih baik, karena pekerjaan tersebut bukan hanya dimiliki oleh segelintir orang yang “dekat” dan “berusaha dekat” dengan penguasa.
Tak terkecuali umat Islam di Indonesia, yang disadari atau tidak, dengan segala kepentingan-kepentingan yang ada, ikut pula hadir sebagai elemen masyarakat dalam wadah partai politik. Bendera-bendera ormaspun lebih dominan untuk menjelma sebagai fasilitator dari aspirasi warganya. Sebut saja (pasca rezim orba) dalam Muhammadiyah, (melalui rekomendasi Tanwir 1998 di Semarang) lahir Partai Amanat Nasional (PAN), Nahdlatul Ulama (NU) melahirkan anak emasnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), (walaupun dibelakangnya terdapat) Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Nahdlatul Umat (PNU) dan Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI). Sementara dalam tubuh Muslimin Indonesia (MI) (yang mencoba mengembalikan kebesaran Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)) lahir Partai Bulan Bintang (PBB) yang di back-up oleh Badan Koordinasi Umat Islam (BKUI), Partai Masyumi Baru (PMB), Partai Politik Islam Indonesia Masyumi (PPIIM). Keluarga Bulan Bintang lain, yaitu pada “nasab” Syarikat Islam (SI), melahirkan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan PSII 1905.
Dalam konteks ini juga menjadi satu catatan penting karena begitu fenomenal dalam kancah perpolitikan Islam Indonesia (yang tidak memiliki akar historis kuat di masyarakat), yaitu berdirinya Partai Keadilan (PK) dan Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI). Partai terakhir ini muncul (bersama Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang berhaluan sosialis) justru ketika Presiden Soeharto masih berkuasa dan elite umat Islam belum menggeliat untuk mendirikan wadah aspirasi politik umat.
Umat Islam menyambut dengan antusias dan berusaha mem-back up secara total atas berdirinya partai-partai Islam di atas. Sebagai salah satu akibatnya adalah benturan-benturan yang menimpa dari masing-masing elite partai sampai kepada tingkat terendah yang berada di daerah dan desa-desa.
Selanjutnya mudah ditebak, jika Harapan yang disandarkan umat Islam kepada para elite partai yang duduk di atas kursi empuk kekuasaan, ternyata belum membawa perubahan yang berarti bagi umat Islam sendiri. Maka sinyalemen adanya kepentingan-kepentingan primordial berdasar pada sentimen golongan lebih kental dari pada kepentingan agama, tercium sudah oleh masyarakat.
Indikator di atas tidaklah berlebihan untuk menjadi sebuah wacana untuk tidak dikatakan sebagai sebuah kenyataan. Beberapa diantaranya, yaitu ; dalam tubuh PKB saja, akibat tidak terakomodirnya kepentingan-kepentingan NU yang merasa “ngeden” (karena tidak merasa sebagai bidan) melahirkan PKB, kemudian sebagian elite PKB mendirikan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Sementara kelahiran Partai Matahari Bangsa (PMB) terinspirasi karena “Partai Muhammadiyah” sebelumnya (baca ; PAN) telah dianggap gagal menjadi artikulator dan agretator dalam mengusung kepentingan-kepentingan politik warga Muhammadiyah (Ma’mun Murad, 2008: 14). Lalu apa sebenarnya yang diperjuangkan oleh elite-elite muslim di partai-partai politik ?

Kilas Balik Sejarah
Telah menjadi catatan kelam umat Islam, pasca wafatnya Nabi saw perpecahan demi perpecahan telah mewarnai kehidupan bernegara saat itu. Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq r.a., mendapatkan gangguan atas munculnya Nabi Palsu, Umar bin Khattab r.a. tewas tertikam belati ketika menunaikan shalat shubuh oleh Abu Lu’luah, sementara Utsman bin Affan r.a., juga tewas secara biadab oleh tentara tiga gubernuran, sampai kemudian terjadi peperangan antara Aisyah ra dan Ali bin Abi Thalib kwh dalam Perang Jamal serta peperangan yang membuat bertambahnya catatan kelam dan coreng morengnya wajah Islam, yaitu Perang Shiffin. Amr bin Ash sebagai politisi ulung (yang juga sebagai panglima tentara Mu’awiyah bin Abi Sufyan) telah berani “merendahkan” makna Al Quran (dengan mengangkat Mushhaf) ketika pasukannya terdesak. Belum lagi peristiwa Karballa yang sangat melukai umat Syi’ah pengikut Ali bin Abi Thalib kwh. Inilah akibat terjadinya penyimpangan antara makna negara yang terkontaminasi oleh praktek-praktek politik.
Laksana sebuah akar yang panjang jika diruntut hubungan antara Islam dan politik di Indonesia. Mereka saling berpelukan sejak tersebarnya Islam di Nusantara, dimana nuansa politik telah menjadi bagian hidup dan kehidupan penguasa muslim dan umat Islam saat itu. Banyak diantara para Sultan kerajaan-kerajaan Islam yang memiliki keunggulan dalam pentas perpolitikan di Nusantara, mulai dari Sultan Malik Al Saleh (Samudera Pasai), Raden Fatah (Demak Bintara), Sultan Hadiwijaya (Pajang), Danang Sutawijaya - Senapati Ing Alaga Sayyidin Panatagama (Mataram Islam), Syarif Hidayatullah (Cirebon), Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), dan lain-lain. Rata-rata dari mereka yang tercatat sukses dan menjadi “aktor” terbaik ketika bertahta memangku jabatan sebagai Sultan adalah mereka yang memiliki keunggulan kepribadian (psikologis), kemasyarakatan (sosiologis), keturunan (genetis), kenegaraan (yuridis), dan keagamaan (asketis). Kelimanya itu menjadikan mereka mampu tampil sebagai tokoh yang handal, fenomenal dan professional tentunya.
Sampai pada abad 20, peran politik umat Islam terus menggelayut pada pundak mereka dengan sebuah “keyakinan” bahwa Nusantara ini dapat berdiri tegak dengan baik apabila ia didirikan oleh umat Islam dengan system Khilafah (yang tentunya berorientasi pada berdirinya Negara Islam).
Ketika Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membuka “kran” bagi berdirinya partai politik berhaluan agama, tahun 1911 Sarekat Islam (SI) tampil sebagai partai Islam pertama setelah sebelumnya bergerak dalam bidang ekonomi kemasyarakatn dengan gerbong Syarikat Dagang Islam (SDI) sebagai kendaraannya. Namun dalam perjanan politiknya (sejak awal berdirinya), SI tidak luput dari intrik-intrik politik yang menggelitik dalam intern partai. Terkuaklah kepada publik, bahwa telah terdapat “SI Putih” dan “SI Merah”. Laqob (gelar) “SI Putih” untuk anggota SI yang benar-benar murni menjalankan tujuan SI yang berlandaskan Islam, dan “SI Merah” untuk anggota yang berafiliasi kepada haluan komunis yang berfaham Markxis. Hal ini akibat adanya infiltrasi dalam tubuh SI oleh kaum komunis yang sengaja membuat keangggotaan rangkap bersama ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereniging) di bawah pengaruh Sneevliet (seorang pekerja lepas Belanda, pengagum J. Stalin dan Lenin). Maka dengan pengaruhnya, pada tahun 1917 berhasil membawa tokoh-tokoh SI menjadi anggota ISDV, diantaranya Semaoen dan Darsono, yang keduanya kemudian menjadi penyebar faham Markxisme di Indonesia. (Setneg RI, 1994 ; 8).
Berikutnya, yang menjadi daftar panjang sejarah perkembangan Islam di Indonesia adalah terjadinya perbedaan persepsi pada segi pemahaman permasalahan ubudiyyah dalam Islam, dimana pada tahun 1912 muncul suatu gerakan sosial Islam berlabel Moehammadijah. Sehingga hal ini (menyebabkan) pada tahun 1926 lahirlah Nahdlatoel Oelama (yang dalam bahasa penulis) muncul sebagai suatu gerakan untuk “menyelamatkan” metode dakwah berbasis kearifan lokal.
Pasca kemerdekaan, yaitu setelah digulirkannya “bola” proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ke seluruh dunia, dimana banyak Negara-negara di dunia mengakui kemerdekan Indonesia, termasuk desakan dari Presiden AS ke 33, Harry S. Truman kepada Pemerintah Belanda berkaitan dengan kebijakan luar negerinya, untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. (Suhindriyo, 1999 ; 128), muncullah Madjlis Sjoera Moeslimin Indonesia (Masjoemi) dalam kancah perpolitikan Indonesia untuk menaungi aspirasi umat Islam, baik dari kalangan Muhammadiyah, NU, Persis, Jam’iyyah Al Washliyah, dan Al Irsyad. Salah satu yang melatarbelakangi berdirinya Masjoemi ini adalah bahwa gerakan-gerakan yang berhaluan komunis yang atheis gaungnya telah dirasakan umat saat itu, sehingga menjadi Wajib adanya untuk mendirikan sebuah partai politik Islam yang diharapkan dapat “menyelamatkan” bangsa dan Negara.
Sebagaimana SI, Masjoemi pun tidak dapat melenggang dalam gelanggang politik dengan mudah, dimana atas beberapa kebijakan-kebijakan parpol “pelangi Islam” ini, memaksa sejumlah anggota Masjoemi yang dimotori oleh Wondoamiseno dan Arudji Kartawinata keluar dari partai dan kemudian mendirikan Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII). Langkah ini pula yang kemudian diambil oleh NU, ketika pada tahun 1952, KH. Abdul Wahab Chasbullah membawa NU keluar dari Masjoemi (akibat tidak terakomodirnya kepentingan-kepentingan NU dalam kebijakan partai), dan kemudian berdiri sebagai partai politik yang perolehan suaranya tidak kalah jauh dari Masjoemi.
Politik seringkali diartikan dengan kekuasaan dan kepentingan, walaupun tidak selamanya keduanya dikonotasikan dalam bentuk negatif. Keduanya dapat dikatakan menjadi baik, apabila dapat merealisasikan aspirasi rakyat.
Sebuah peristiwa besar yang fenomenal (dalam persepsi penulis), yang jika direnungi, kemudian dihayati untuk selanjutnya dapat diaktualisasikan dalam proses politik sadar diri, Purwadi mengetengahkan (2004 ; 225), ketika Pangeran Benawa putra Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir atau Mas Karebet) telah berhasil dididik ayahandanya menjadi seorang putra mahkota yang memiliki akhlak mulia dan senantiasa tulus ikhlas, maka ia menjadi Sultan Pajang hanya sebentar, berhubung banyak orang yang berambisi untuk menjadi penguasa, dia malah rela untuk hidup sebagai pertapa saja. Tahta ia serahkan kepada kakaknya, Danang Sutawijaya atau Panembahan Senapati (Sultan Mataram Islam pertama), yang dianggapnya memiliki moralitas, kapasitas, profesionalitas dan integritas.



























PASANG SURUT PARTAI ISLAM PRA ORDE BARU

Idealisme Perjuangan Politik Islam
Kegiatan politik adalah realitas kehidupan manusia, bahkan kegiatan politik bagi manusia merupakan bentuk asosiasinya dikarenakan adanya tujuan mencapai kebaikan bersama. Oleh karena itu, manusia dapat disebut sebagai makhluk politis (zoon politicon).
Secara umum sebagaimana dipaparkan Ramlan Surbakti yang dikutip oleh Tobroni dan Syamsul Arifin (1994 ; 38) menyebut ;
sekurang-kurangnya ada lima kerangka konseptual yang dapat digunakan dalam memahami politik. Pertama, politik dipahami sebagai usaha warga Negara dalam membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik sebagai segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggapnya penting.

Islam disampaikan untuk menciptakan kesejahteraan umum bagi manusia secara menyeluruh, ia tidak memberi batas pada perbedaan ras dan warna kulit, muslim atau non muslim, atau manusia dalam bahasa apapun, (sekali lagi) Islam tidak mendirikan tabir yang dapat menghalanginya. Hal ini karena ajaran Islam tentang ibadah, mu’amalah, sosial ekonomi, pemerintahan, politik dan sebagainya, telah diatur didalam Al Qur’an yang tentunya harus dipahami secara mendasar dan bersifat universal, serta merupakan suatu kewajiban untuk mematuhinya. Maka umat Islam mengalami kegalauan ketika harus memisahkan dan memilah antara agama dan politik, berkenaan dengan sebab di atas. Sebagaimana diungkapkan A. Hasjmy (1984 ; 53), bahwa :

a. tiap yang berhubungan dengan akidah dan ibadah adalah agama, dan dapat disebut “politik Islam” dalam memperbaiki akidah dan ibadah.
b. tiap yang berhubungan dengan moral dan pendidikan adalah agama, dan dapat disebut “politik Islam” dalam bidang moral dan pendidikan.
c. tiap yang berhubungan dengan mu’amalah adalah agama, dan dapat disebut “politik Islam” dalam memperbaiki ekonomi dan sosial.
d. tiap yang berhubungan dengan pemerintahan dan pentadbiran adalah agama, dan dapat disebut “politik Islam” dalam memperbaiki pemerintahan dan tata usaha negara

Hal mendasar di ataslah yang menjadi kesimpulan awal untuk menciptakan kekuatan politik Islam di Indonesia (pada awal pembentukannya), disamping terdukung adanya motivasi untuk menentang imperialisme dan terdapatnya isu usaha-usaha penyebaran Kristen oleh Missionaris Belanda di Indonesia.

Partai Islam ; Masa Kepemimpinan Soekarno
Menjelang Proklamasi Kemerdekaan, peran parpol Islam tidak memiliki aktifitas berlebihan, namun perjuangan diplomatis tetap dilakukan (walaupun tidak membawa bendera parpol). Hal ini mengemuka tatkala wacana tentang Pancasila digulirkan Bung Karno pada 5 Juni 1945. Bung Karno sendiri sebenarnya menolak ketika ia disebut-sebut sebagai pencipta Pancasila, sebagaimana diutarakan AG Pringgodigdo melalui makalahnya dalam Darji Darmodiharjo, (ed.,1995 ; 128) dimana menurut Bung Karno, ia hanya sekedar menjadi “pengutara” keinginan-keinginan dan jiwa bangsa Indonesia yang turun temurun dan telah lama tergurat pada jiwa bangsa Indonesia. Kemudian baru pada 22 Juni 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) merumuskan Konsep Deklarasi Kemerdekaan Indonesia yang kemudian dikenal dengan Piagam Djakarta. Dalam piagam ini, memberikan sebuah isyarat secara nyata, bahwa pada hakekatnya Islam adalah agama Negara Indonesia (Nurcholis Madjid, 1995;4) melalui sila ketuhanannya yang berbunyi ; “percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kesepakatan ini sehari setelah kemerdekaan digugurkan atas usul Hatta yang disepakati juga oleh beberapa tokoh Islam, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus dan sila pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. (lebih lengkap dapat dibaca dalam Endang Saefudin Anshari, 1983). Lebih lanjut Cak Nur (ibid.; 4) menambahkan bahwa :
“Piagam Jakarta ini sebagai teks kemerdekaan bangsa tepat pada waktunya harus dirumuskan, dan ia dimasukkan ke dalam muqaddimah dari konstitusi Indonesia yang diusulkan. Namun tatkala Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini, 17 Agustus 1945, mereka tidak menggunakan piagam ini. Sebaliknya mereka merumukan sebuah dokumen yang sangat ringkas yang didalamnya tidak disebutkan secara rinci apa yang akan dijadikan nature dari Negara Indonesia merdeka ini, dan didalamnya tidak pula disebutkan, sesuatu menyangkut agama Islam atau agama lainnya.”

Inilah awal dari babak Indonesia Baru telah lahir, yang kemudian kubu Islam dan kubu Developmentalis bersepakat mengambil jalan tengah demi persatuan bangsa, yaitu gagasan mengenai suatu negara yang ingin mengakui suatu asas keagamaan dan ingin bersifat positif terhadap semua agama. (Pramono U. Tanthowi, 2005;40).
Menyikapi hal ini, diawali dari “kekalahan” umat Islam dalam mempertahankan Piagam Jakarta dimana lanjut Pramono (Ibid,:36) menyebutkan bahwa ;
“Kekalahan politik yang diderita kalangan Islam itu terjadi pada tiga periode sejarah. Pertama, kekalahan Islam politik pada masa pra kemerdekaan, yang puncaknya adalah penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kedua, kekalahan politik pada masa demokrasi terpimpin, yang puncaknya adalah pembubaran Masyumi tahun 1960. Dan ketiga, kekalahan politik pada masa orde baru, dengan puncaknya adalah penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi politik dan organisasi massa tahun 1985.”

Pada dasawarsa 1950-an, pertentangan antar partai memanaskan situasi dan suhu politik nasional. Hal ini apabila kita tengok pada latar belakang histories sangat dapat dimaklumi, karena Indonesia memiliki masyarakat yang heterogen, baik dalam masalah agama, etnis, termasuk dalam bidang politik. Dalam hal ini pula bangsa Indonesia dihadapkan pada sebuah kenyataan yang muncul pada tataran permukaan di Nusantara, bahwa mereka harus berhadapan (secara fisik) dengan bangsanya sendiri yang berafiliasi pada suatu pemahaman keharusan pendirian Negara Islam Indonesia (NII). Maka konflik sosialpun dengan terpaksa harus terjadi akibat kuatnya prinsip ideologis yang bersifat primordial. Gejolak sosial politik yang timbul akibat kurang akomodatifnya pemerintah dalam pembagian “jatah” hasil perjuangan fisik ini ikut memperkeruh suasana pasca kemerdekaan RI, dimana DI/TII yang mendapat “angin segar” akibat adanya dukungan masyarakat Islam secara luas plus “diamnya” parpol Islam dalam menyikapi “makar” yang dilakukan DI/TII dikarenakan adanya salah satu “kesamaan tujuan”, yaitu NEGARA ISLAM menyebabkan terbentang lebarnya jurang pemisah antara parpol nasionalis dan Islam (terutama) PNI dan Masyumi, yang sering diibaratkan bahwa PNI adalah pendukung Pancasila, dan Masyumi sebagai penolak Pancasila untuk kedaulatan yang berdasarkan Islam.
Dan ternyata, kembali umat Islam harus menelan pil pahit, manakala perolehan suara partai Islam yang diwakili oleh dua partai besar, yaitu Masyumi dan NU yang masing-masing mampu meraup suara sekitar 20% dan 18%, sementara PNI memperoleh suara terbanyak dengan 22% dan PKI tampil sebagai empat besar dengan pengumpulan kantung suara sebanyak 16%. Dengan terjadinya hal tersebut, maka menyebabkan kabur dan rumitnya kondisi perpolitikan nasional, karena dapat disebutkan tidak adanya partai pemenang pemilu, disebabkan hampir meratanya jumlah kursi parlemen empat partai besar kontestan pemilu. Maka, dapat ditebak kalau parlemen yang dibentuk dapat dipastikan tidak akan berusia lama. Dan pada puncaknya, tanggal 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden. Maka dengan mundurnya Hatta, berakhir pulalah dengan apa yang dinamakan “Dwitunggal”.
Setelah Soekarno pada 5 Juli 1959 mengumumkan Dekrit kembali ke UUD 1945, maka PKI mendapatkan kesempatan terbuka untuk melakukan penanaman ideologinya, apalagi setelah diampuni dan dilupakannya kebiadaban PKI pada pemberontakan Madiun 1948, tanpa terjadi pengusutan, penuntutan dan pengadilan selepas pengakuan kedaulatan 1949 (Taufiq Ismail, 2004;21). Adalah Dipa Nusantara (DN) Aidit selaku Ketua Cental Comite PKI yang memanfaatkan kedudukannya sebagai pimpinan Panitia Kerja Dewan Pertimbangan Agung dengan memasukkan program-program PKI dalam GBHN yang kemudian dikenal dengan Manipol (Manifesto Politik) yang dirumuskan sesuai dengan cita-cita PKI. Hebatnya, Bung Karno kemudian memberikan persetujuan terhadap rumusan Manipol ini. Merasa mendapat dukungan atas langkah dan strategi politik PKI oleh presiden, maka sasaran berikutnya bagi PKI adalah disamping terus menanamkan ideologi komunisme ke dalam orang-orang yang duduk dalam struktur kepemerintahan dan militer, juga membuat suatu gerakan secara khusus untuk “menyingkirkan” lawan politiknya (Masyumi dan NU dari kalangan Agama, Partai Murba dari Nasionalis dan BPS-Barisan Pendukung Soekarno) yang tidak sejalan dengan konsep-konsep PKI. Dan selanjutnya, “atas berkat” agitasi dan propaganda DN. Aidit, adalah keberhasilannya meyakinkan Bung Karno memaksa kepada Masyumi untuk membubarkan diri sehubungan dengan keterlibatan sebagian tokoh dan anggotanya dalam PRRI.( Ibid.;47) Dan pada tahun 1960, kembali kalangan Islam mengalami “kekalahan” dengan hilangnya Masyumi dari percaturan politik nasional dan kemudian disusul dengan dibubarkannya BPS oleh Bung Karno sendiri, demikian pula terjadi pada Partai Murba. Dengan ini maka hanya tinggal ada 1 parpol yang menjadi lawan politik PKI, yaitu NU dan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat yang selalu menjadi batu sandungan bagi PKI dalam mewujudkan tujuannya.
Sebagai akibat dari persaingan kepentingan politik ini, maka setelah dirasakan cukup kuat untuk melancarkan coup de etat (kudeta), beberapa strategi telah diupayakan PKI untuk dapat merebut kekuasaan sebelum akhirnya muncul dengan apa yang dinamakan Gerakan 30 September, dengan Letkol Oentoeng (Komandan Pasukan Kawal Tjakrabhirawa) menjadi pimpinan gerakan. Namun karena pertolongan Tuhan jualah, akhirnya gerakan ini dapat tercium dalangnya dan selanjutnya atas desakan masyarakat, mahasiswa, ormas-oramas keagamaan, dan partai politik serta Front Pancasila, PKI menjadi parpol yang terlarang beserta faham-faham Komunismenya, Markxis dan Leninismenya serta dinyatakan sebagai sebuah Bahaya Laten.



PERAN PARTAI ISLAM MASA ORDE BARU DAN REFORMASI
Partai Islam dalam Masa Orde Baru
Memasuki masa Orde Baru tahun 1967-an, suatu masa dimana telah dicabutnya kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno yang sikap dan tindakannya dianggap MPRS telah menguntungkan PKI dan gerakannya, berujung pada naiknya Soeharto menggantikan Soekarno menjadi presiden RI. Akselerasi Soeharto (dalam karier politiknya) yang mendapat “berkah” atas terjadinya makar yang dilakukan PKI, seolah-olah membawa angin segar bagi parpol Islam. Setelah sekian lama, partai-partai Islam merasa “dikebiri” pada masa Soekarno, maka Soeharto diharapkan dapat membawa angin perubahan yang lebih luwes dan mengakomodir kepentingan partai Islam atas nama umat Islam Indonesia, terlebih adanya keinginan kuat bagi Masjumi untuk merehabilitasi partainya agar dapat menjadi kontestan pemilu.
Namun kalangan Islam nampaknya harus kembali gigit jari melihat langkah-langkah yang dilakukan Soeharto untuk “mengamankan” kekuasaannya, melalui pembentukan sebuah wadah bersifat golongan yang kemudian “mengakomodir diri” menjadi kontestan dalam pemilu, ialah Golongan Karya (Golkar). Lokomotif Golkar memang terlalu perkasa untuk menjadi lawan tanding partai-partai Islam, terlebih partai nasionalis yang sejak kepemimpinan Soeharto terasa termarginalkan untuk tidak mendapatkan bagian “kue” Orde Baru. Mesin politik Golkar pun bergerak dengan sangat cepat dengan segala daya upayanya untuk dapat bertengger di papan atas perolehan suara. Partai-partai kontestan pemilu pun “harus mengakui keperkasaan Golkar” ketika perolehan suara Golkar mencapai 62,8 % jauh diatas perolehan suara partai-partai lama. Diantara partai-partai besar, hanya NU yang mampu bertahan atas “serangan” ini dengan perolehan suara sama seperti pada tahun 1955, yakni 18,4 % dan PNI hanya mendapat 6,9 % suara, sedangkan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) 5.3 % suara jauh dibawah perolehan Masjumi tahun 1955. (William Liddle, 1994;67).
Pada perkembangan berikutnya, pemerintahan Soeharto mencoba “menyatukan” partai-partai Islam, yakni NU, Parmusi, PSII dan Perti. Pada 5 Januari 1973 mereka berfusi untuk membentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan mengusung tanda gambar bercirikan Islam, yakni Ka’bah. Sementara partai-partai nasionalis dan Kristen, yakni PNI, IPKI, Partai Katolik, Parkindo dan Murba, melebur dengan membentuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 10 Januari 1973. Terbentuknya PPP dan PDI yang berselang hanya lima hari, merupakan kebijakan Soeharto yang (disinyalir) sengaja diatur sedemikian rupa supaya lebih mempermudah dalam pembagian “jatah” kekuasaan. Sudah barang tentu Golkar dan elite partainya berupaya dapat bertahan sebagai penguasa.
William Liddle (ibid;68) kemudian mengemukakan pendapat salah seorang kader PPP yang mengatakan, “pemilu tidak lebih dari sekedar sandiwara, pemerintah ingin menentukan pembagian suara menjadi 60 ; 30 ; 10 %. Dengan cara bagaimanapun, kami tidak akan mampu bersaing dengan mereka.”
Soeharto telah berhasil menunjukkan “kepiawaiannya” dalam membuat pemetaan politik yang menguntungkan kekuasaannya. Sejalan dengan itu, ia kemudian membidik sasaran baru yang dapat digunakan untuk meligimitasikan kekuasaannya, yaitu dengan pola pelestarian Pancasila, sehingga pada puncaknya, pemberlakuan “asas tunggal” bagi parpol yang tertuang dalam UU No.3/1983 dan UU No.5/1985 bagi ormas.
Dalam persepsi penulis, “diplekothonya” parpol dan ormas ini, selain memiliki tujuan “save the orba” juga terdapat implikasi yang penulis anggap paling dapat menguntungkan secara positif pada semua kalangan. Pertama, ideologi Pancasila akan menjadi sarana menolak kebangkitan faham komunisme. Kedua, ideology Pancasila dapat mencegah adanya upaya-upaya kelompok radikal Islam yang “ngeden” ingin mendirikan Negara Islam Indonesia.
PPP, yang berasal dari berfusinya partai-partai Islam sebenarnya dapat menjadi sebuah kekuatan untuk menyalurkan aspirasi umat Islam Indonesia. Namun yang terjadi justru kemesraan partai-partai Islam dalam PPP menjadi kabur dan pudar. Para elite partai Islam dalam PPP lebih banyak menguras tenaganya untuk bersaing (secara intern) demi kepentingan kelompoknya ketimbang memikirkan bagaimana prospek umat Islam ke depan. Kebijakan-kebijakan partai dalam memilih ketua umum, tidak mengakomodir kelompok pendulang suara terbesar PPP, yakni NU. Maka seperti yang diungkapkan Hasyim Muzadi, (Ketua Umum PBNU) pada Deklarasi PKB tingkat Anak Cabang Bumiayu, Brebes tahun 1998, “Keberadaan NU dalam PPP ibarat mendorong mobil mogok.” Kalangan NU sering merasa termarginalkan keberadaannya sebagai penentu kebijakan-kebijakan partai. Maka tidak pernah dijumpai pimpinan PPP berasal dari kalangan NU, kecuali Hamzah Haz (yang itu pun terjadi setelah reformasi dan PPP memiliki kepentingan untuk bersaing melawan PKB). Beberapa wacana muncul pada tataran permukaan, bahwa runtuhnya ikatan tradisional, histories, ideologis, dan emosi keagamaan dalam intern PPP hakekatnya merupakan rekayasa akibat terjadinya rivalitas politik dengan “menyusupkan” J. Naro, SH (yang sebelumnya tidak dikenal dalam kalangan Islam) dalam PPP. Konflik ideologi sosial politik yang dipadukan dalam format ideologi Pancasila, menjadi gejala penyusutan dukungan umat terhadap partai Islam (PPP). (Abdul Munir Mulkhan, 1992 ; 73), karenanya banyak kalangan Islam pesimis PPP dapat menjadi “kran” pencerahan, pemberdayaan dan kesejahteraan umat Islam.
Hal ini kemudian diperparah, ketika NU menarik diri keluar dari PPP melalui Munas Situbondo tahun 1983 dan Muktamar di Surabaya tahun 1984, serta kembali menjadi organisasi sosial keagamaan (sebagaimana didirikannya pertama kali) dan menyatakan kembali kepada Khittah 1926. (PB NU, 1984).



Partai Islam dalam Masa Reformasi
Peristiwa 27 Juli 1997 seolah-olah menggugah kaum nasionalis untuk bangkit dari tidurnya dan mendapatkan cahaya semangat primordialitas untuk ikut serta berperan aktif mengusung panji-panji nasionalis kembali berjaya mewarnai perpolitikan Indonesia.
Sementara posisi Soeharto semakin terdesak akibat gencarnya aksi-aksi demontrasi mahasiswa dan rakyat, menuntut turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan (dengan mengusung tema-tema borjuis, kapitalis, korupsi, kolusi dan nepotisme) yang ditujukan kepada Soeharto wa ‘ala alihi wa shahbihi ‘ajma’in. 14-15 Mei 1998 tercatat dalam sejarah perpolitikan di Indonesia sebagai hari kelabu di penghujung pemerintahan orde baru, akibat dari terpasungnya nilai-nilai demokrasi.
Beberapa tokoh-tokoh Islam pun yang sering melakukan kritik-kritik tajam terhadap pemerintahan Orde Baru pun bermunculan tampil sebagai “reformis”, diawali Oleh Sri Bintang Pamungkas (PUDI) yang tampil mengesankan didepan rakyat, lalu Amien Rais, Ketua Umum PP Muhammadiyah yang suaranya selalu terdengar di tengah arus gelombang unjuk rasa mahasiswa anti Orba. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama, orang yang paling dan sangat diperhitungkan Soeharto, karena sikapnya yang seolah-olah “menantang perang terbuka” ketika berkonfrontasi dengannya, melaju dalam kancah reformasi dengan dukungan massa NU yang besar. Sementara, Megawati selalu melakukan konsolidasi intern partai dan turba ke tingkat grassroot, yang dengan kepalan tangannya (sebagai symbol melawan penindasan) selalu dan senantiasa memompa dan mengorbankan semangat nasionalisme pada kader-kader partainya. Keadaan semacam ini kemudian terus berkembang, sehingga muncul kaukus antar sesama tokoh di atas, dengan berkumpul di kediaman Gus Dur, Ciganjur Jakarta Selatan dan menyepakati beberapa agenda-agenda reformasi yang diaspirasikan mahasiswa dan rakyat (walaupun tidak semua tuntutan terakomodir nantinya), dan kemudian dinamakan “Deklarasi Ciganjur”, yang deklaratornya adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Amien Rais, Megawati dan Sri Sultan Hamengku Bhuwana X.
Fenomena “Ciganjur” ini memberikan harapan tersendiri bagi rakyat, dengan bercermin terhadap apa yang mereka alami pada masa rezim Soeharto dan atas apa yang mereka lakukan berupa kritik-kritik social yang membela rakyat.
Euforia reformasi pasca lengsernya Soeharto tahun 1998, menciptakan semangat tersendiri bagi umat Islam untuk membentuk partai Islam dengan “bernostalgia” (walaupun tidak semua) mengambil nama dan tanda gambar partai sama, dan atau menyerupai partai-partai sebelumnya (sebagaimana tersebut pada pendahuluan). Sementara itu, baik Gus Dur maupun Amien Rais tidak ikut-ikutan “latah” memakai label Islam berbekal kadar kemapanan intelektual, spiritual dan latar belakang social, masing-masing dari mereka membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mendapat “legitimasi” dari NU, dan Partai Amanat Nasional (PAN) dengan berbasis massa Muhammadiyah sebagai harapan konstituennya. Keterikatan organisasi spiritual secara primordial, memaksa massa untuk memback up total bagi kemenangan partai. Penamaan partai Islam, menurut Arskal Salim (1999 ; 8) adalah partai yang menggunakan lima criteria ; asas, nama, tanda gambar, tujuan/program dan konstituen. Dengan lima criteria ini, maka yang disebut partai Islam adalah partai yang meski tidak memakai label Islam, tetapi hakekat perjuangannya terutama untuk kepentingan umat Islam ; atau partai yang meski tidak menggunakan label Islam dan memiliki program untuk seluruh kepentingan Islam, tetapi konstituen utamanya adalah umat Islam. Sebut saja pada kriteria ini terdapat PKB yang berbasis pesantren dan massa Nahdliyyin baik struktural maupun kultural dan PAN yang memiliki massa Muhammadiyah.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang telah ada sejak zaman orde baru, tetap bertahan dengan mengubah performance kembali pada tanda gambar Ka’bah setelah sebelumnya “dipaksa” untuk memakai “Bintang” sebagai wujud pengakuan asas tunggal Pancasila di era Soeharto. Bermodalkan Hamzah Haz yang berasal dari kalangan NU, PPP disinyalir dapat mendongkrak perolehan suara Nahdliyin untuk tetap “istiqamah” walau harus berbenturan dengan partai Islam lain yang lebih dekat dengan kultur NU.
Pemilu 1999 pun berlangsung, dan apa yang menjadi kekhawatiran umat Islam menjadi suatu kenyataan, ketika mereka (partai-partai Islam) harus mengakui keunggulan PDI Perjuangan yang mampu keluar sebagai pemenang pemilu, disusul Golkar. Sementara dari kalangan Islam hanya dapat terwakili oleh PKB, PPP dan PAN dimana suara yang diperolehnya belum mampu bersaing dengan kedua parpol sebelumnya.
PDI Perjuangan yang walau telah memenangkan pemilu 1999 dan mendapatkan kursi terbanyak dalam parlemen, tetap tidak dapat mendapatkan “kursi empuk” kepresidenan, setelah sebelumnya ia dihadapkan kepada sebuah kenyataan harus bersaing dengan Abdurrahman Wahid (PKB) yang diusung poros tengah dimana wadah ini merupakan kaukus dari komunitas partai-partai Islam di parlemen. Kaukus ini terbentuk karena terjadi kekhawatiran kalangan Islam akan kebijakan-kebijakan Megawati andai ia duduk di kursi kepresidenan, (yang salah satunya dianggap) akan mengikuti jejak ayahnya “membungkam” partai-partai Islam melalui jaringan dan basis massa nasionalisnya.
Awal baru udara reformasi dibawah kepemimpinan Presiden Wahid, membawa harapan mendalam bagi umat Islam dan bangsa Indonesia, dimana masyarakat mengenal baik bahwa Gus Dur adalah seorang yang memiliki integritas tinggi dalam spiritual, sosial dan intelektual sehingga apabila ia menjadi kepala Negara, seluruh elemen masyarakat akan dapat menghirup udara demokrasi yang selama ini dinanti-nantikan.
Pada giliran berikutnya, adalah penyesalan poros tengah yang menyatakan suatu “kecelakaan” sejarah mengusung Gus Dur, karena kebijakan-kebijakannya yang sering kali “dianggap” melecehkan dan menyimpang dari aspirasi umat Islam, disamping itu juga Gus Dur telah berani berkonfrontasi secara terbuka dengan parlemen (walaupun kekuatannya di parlemen hanya 57 kursi dari Fraksi Kebangkitan Bangsa). Hal ini berakibat jalannya roda reformasi menjadi tersendat karena parlemen (kaukus partai Islam dan Nasionalis) lebih banyak mengeluarkan keringat untuk menjatuhkan Gus Dur ketimbang menyelamatkan dan melanjutkan agenda reformasi. Dan akibatnya bisa ditebak, Gus Dur pun jatuh dari kursi kepresidenan, digantikan Megawati yang sudah menantinya dengan “penuh kesabaran”.
Dari hal ini, maka ditarik sebuah benang merah, bahwa partai-partai Islam yang dibentuk tokoh-tokoh Islam hakekatnya hanya memperjuangkan kepentingan-kepentingannya secara primordial tanpa melihat kepentingan Islam secara universal. Kalangan Islam tradisional lebih melihat Gus Dur keluar dari rel ke-NU-annya, terlebih kalangan Islam fundamentalis lebih melihat Gus Dur bukan sebagai cerminan ke-Islam-an dan lebih berat memandangnya pada perlawanan terhadap Islam, sementara kalangan Islam moderat dan liberal, memandang Gus Dur sebagai penyelamat Islam dengan cara “menghantam” Islam. Masdar F. Mas’udi dalam makalahnya bertittle ; Demokrasi dan Islam (dalam Masyhur Amin - M. Najib, ed.,1993 ; 4) yang disampaikan pada Diskusi Bulanan yang diselenggarakan LKPSM NU DIY, mengatakan :
“ Yang mengherankan adalah bahwa umat Islam, umat yang dalam kitab sucinya jelas-jelas menyebut prinsip human dignity (Al Isra : 70) dan mutlaknya syura dalam menentukan persoalan bersama (Asy Syura : 38) plus pengalaman sejarah perpolitikannya yang begitu panjang dan intens, ternyata belum jelas juga sikapnya dalam demokrasi, atau lebih tepatnya terhadap prinsip kedaulatan manusia-rakyat dalam menentukan urusan-urusannya. Alas an yang selalu dikemukakan adalah bahwa dalam Islam, kedaulatan tertinggi bukan di tangan rakyat, melainkan di tangan Tuhan.”

Maka dengan hal ini, masih banyak dari kalangan umat Islam yang masih sempit dalam mengartikan Islam yang disebut sebagai agama yang Rahmatan lil ‘alamin. (sekedar contoh) Dengan gampang, muslim menyebut orang non muslim sebagai “kafir” (yang menurut pemahamannya, “kafir” berarti bukan umat Islam yang percaya kepada adanya Allah), tetapi mereka tidak pernah mengkafirkan dirinya sendiri (jika melihat dari substansi “kafir” dalam S.Al Baqarah yang menceritakan pengusiran Iblis karena “Abaa”/ membangkang, dan “Takabbur” / sombong).

Potret Partai Islam ke Depan
Pemilu Legislatif 2009 telah diambang pintu. Partai politikpun berusaha maksimal untuk dapat mendulang suara guna memenuhi kursi legislatif. Namun ada hal yang perlu menjadi sebuah catatan penting dalam pemilu kali ini, yaitu jika pada pemilu sebelumnya persaingan calon legislator dalam suatu partai politik tidaklah begitu kuat gesekannya, namun dalam pemilu 2009 ini justru pertarungan yang sangat sengit terjadi dalam intern partai, yang salah satunya adalah akibat dari keputusan Mahkamah Konstitusi tentang kursi legislatif yang dapat diperoleh dengan pendulangan suara terbanyak. Jika pemilu sebelumnya, konstituen memilih dalam Tempat Pemungutan Suara (TPS) melalui pencoblosan dengan melubangi tanda gambar partai dan caleg yang tercantum, maka kali ini harus dengan mencontreng atau mencentangnya. Maka hampir dapat dipastikan pemilu 2009 besok akan banyak membuat masyarakat kalangan bawah merasa “kethetheran” akibat minimnya sosialisasi tata cara pemilihan dalam TPS dan rendahnya tingkat pendidikan sehingga berpengaruh pada rendahnya pemahaman dalam proses pemilihan.
Hal ini kemudian diperparah dengan munculnya istilah “Coast Politic” dan “Dana Aspirasi” (yang penulis belum dapat membedakan istilah di atas dengan Money Politic). Dengan adanya hal ini, masyarakat kalangan bawah kemudian menjadi “cerdas” dengan tidak memilih calon legislator melalui sistem paket dalam satu partai.
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah “terlanjur” mengeluarkan fatwa “Haram” untuk tidak memilih dalam pemilu kali ini, walaupun tidak diikuti fatwa “Haram” menerima “Dana Aspirasi” ataupun “Coast Politic” dari calon legislator ataupun partai politik, karena “mungkin” dana-dana tersebut menurut MUI bukan termasuk katagori “al Rasyi wa al Murtasyi”, sehingga tidak perlu mengeluarkan fatwa tersebut.
Namun yang jelas, keadaan semacam ini adalah akibat dari kekecewaan masyarakat atas sikap anggota legislatif yang mendapatkan “berkah” dari Pemilu 1999. Masyarakat beranggapan, percuma ikut kampanye, konvoi, cari suara untuk partai, jika aspirasi anggota dan simpatisannya tidak terakomodir. Hal ini dapat kita lihat, begitu banyak para pedagang asongan dan kaki lima mendulang banyak rupiah setiap ada deklarasi ataupun kampanye terbuka partai-partai politik pada pemilu 1999. Banyak simpatisan partai (terutama partai-partai yang berbasis Ormas dan nasionalis) rela membeli bendera dan segala atribut partai idolanya guna ikut serta menarik simpati massa untuk memenangkan pemilu. Tetapi fenomena tersebut tidaklah daoat kita jumpai sejak pemilu 2004. Para Calon Legislator, harus siap secara materi karena ada sebuah tuntutan dari masyarakat untuk “ngopeni” dan “tebar pesona”, entah berupa stiker, kalender, baliho, kaos, bendera, bantuan fasilitas umum, sarana olah raga sampai yang paling ekstrim adalah bergerilya melakukan “serangan fajar” pada hari tenang menjelang pemilihan.
Memprihatinkan memang kondisi sosial ekonomi masyarakat sekarang, dimana untuk dapat mendulang suara, para calon legislator harus “membeli suara” yang bukan berasal dari nurani seseorang. Bagi masyarakat, “pemilu ada atau tidak ada, nasib kita tetep begini saja, maka pilih yang “ngopeni” saja”. Mereka tidak lagi memandang partai islam atau berlatar belakang ormas islam. Nasionalispun jika ada imbalan materi, tetap akan mereka back up dalam pendulangan suara pemilu. Luar Biasa …!!
Maka inilah tugas MUI yang mesti menggodok fenomena di atas, tidak hanya sekedar pemenuhan “fatwa-fatwa titipan politik”. Umat Islam harus terselamatkan dari pandangan-pandangan politik di atas. Maka dalam pemilu 2009 ini, masyarakat menaruh harapan banyak kepada calon legislator supaya dapat menjaga amanah rakyat, bukan untuk mengembalikan modal calegnya. Visi Misi Islam yang “memberi rahmat bagi seluruh alam” harus terus diperjuangkan oleh para anggota dewan dari partai-partai Islam.
TH. Sumartana (dalam Abu Zahra, ed. 1999 ; 117-120) menyebutkan :
“Jika Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia (Perjuangan) sementara ini tidak dihitung, yang tinggal dan akan maju menjadi kekuatan paling potensial untuk berkuasa di negeri ini adalah partai Islam dan Tentara. Sejak Orde Baru sampai masa reformasi, de facto, golongan militer berkuasa penuh atas kehidupan politik Indonesia. Setelah Orde Baru pimpinan Soeharto terkapar dalam krisis multi dimensional, muncul kekuatan baru yang selam ini menanti untuk berkuasa, yaitu kekuatan politik atas nama keislaman. Pemerintahan Habibie boleh dikatakan sebagai masa transisi dari sebuah bentuk koalisi antara Islam dan Militer, yang secara embrional sudah dimulai pada akhir pemerintahan Soeharto…. Selanjutnya, bila factor tentara sekarang ini bisa diabaikan, kekuatan politik dengan bendera Islam akan muncul di tengah arena selaku kekuatan baru yang lebih terorganisasi.”

Maka apabila partai-partai Islam, yang sementara ini lebih mengedepankan “syahwat politiknya”, pada era mendatang, tetap berkutat pada konflik internal partai, yang terjadi adalah kekecewaan umat Islam yang berujung pada hilangnya kepercayaan konstituen muslim terhadap partai-partai Islam. Hal ini bukan isapan jempol belaka, beberapa indikator yang menyebabkan timbul klaim demikian sudah terlihat jelas. Salah satunya, seperti yang telah tersebut di atas. Akhirnya yang akan menuai kemenangan bukanlah cita-cita Islam yang seperti diidam-idamkan umat Islam, melainkan kekalahan telak kembali mengukir sejarah perpolitikan Islam di Nusantara.
Maka selanjutnya, mari rapatkan barisan guna dapat memperjuangkan Islam secara kaffah mewujudkan Islam yang Rahmatan li al ‘alamin sehingga negara dapat mengakomodir semua kepentingan-kepentingan bukan saja umat Islam, tetapi umat beragama lain yang pada tahap selanjutnya layak disebut sebagai Baldah at Thayyibah wa Rabbun ghafur (negeri yang baik dan mendapatkan ampunan serta perlindungan dari Tuhan).
-----------------------------------------------------------------------
• Penulis adalah Guru Mata Diklat Pendidikan Agama Islam
di SMK Negeri 1 Tonjong Brebes














DAFTAR BACAAN


- Al Barbasy. Ma’mun Murad, Sejarah Berdirinya PMB, Al Wasath Press, Jakarta, 2008.
- Hasjmy.A, Di Mana Letaknya Negara Islam, Surabaya, Bina Ilmu, 1984
- Ismail. Taufiq, Katastrofi Mendunia, Marxisma-Leninisma-Stalinisma-Maoisma-Narkoba, Jakarta, Titik Infinitum, 2004.
- Liddle. William, Pemilu-pemilu Orde Baru, Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta, LP3ES, 1994.
- Madjid. Nurcholis, Islam Agama Kemanusiaa, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta, Paramadina, 1995.
- Mulkhan. Abdul Munir, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Yogyakarta, Sipress, 1992.
- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Laporan Muktamar NU ke-27 di Surabaya, Jakarta, PBNU, 1984.
- Pringgodigdo.AG., Santiaji Pancasila, Suatu Tinjauan Filosofis, Historis dan Yuridis Konstitusional, dalam Darji Darmodiharjo (editor), Jakarta, Gramedia, 1995.
- Purwadi. Dr.M.Hum., Sejarah Joko Tingkir, Yogyakarta, Pion Harapan, 2004
- Salim. Arskal, Partai Islam dan Relasi Agama Negara, Jakarta, Pusat Penelitian IAIN Jakarta, 1999.
- Sekretariat Negara RI, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Jakarta, Setneg RI, 1994.
- Suhindriyo. Drs., Biografi Singkat Presiden-presiden Amerika Serikat 1789-2001, Yogyakarta, Pustaka Nusatama, 1999.
- Sumartana. TH., Politik Islam dan Pluralisme Bangsa dalam Abu Zahra (editor), Politik Demi Tuhan ; Nasionalisme Religius di Indonesia, Bandung, Pustaka Hidayah, 1999.
- Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam; Pluralisme Budaya dan Politik, Yogyakarta, Sipress, 1994.

Tidak ada komentar: