16 Mei 2009

Tuntutan Perubahan Guru

BELAJAR TENTANG CARA BELAJAR
ADALAH BELAJAR TENTANG CARA BERFIKIR
Sebuah Tuntutan Perubahan Peranan Guru
dalam Potret Pendidikan Indonesia

Oleh : Muhammad Subkhan*

Pendahuluan
Manusia adalah sosok kehidupan dalam alam raya yang memiliki keunikan dan kemisteriusan. Secara fisik, tubuhnya sangat kecil jika dibandingkan dengan peranannya yang dimainkannya dalam kehidupan. Peristiwa-peristiwa alam seperti terbitnya matahari, bulan dan bintang, serta terjadinya bencana tetusan gunung berapi, banjir, badai, kebakaran telah menunjukkan betapa lemahnya fisik yang dimiliki manusia dalam mengatasi hal tersebut. Namun dengan kemampuannya secara ruhani, manusia dapat mengetahui gejala-gejala dan hukum-hukum berkaitan dengan peristiwa alam tersebut. Dengan kepemilikan potensi-potensi inilah, manusia menjadi bahan kajian dan penelitian oleh manusia itu sendiri.
Kemampuan manusia yang sadar akan dirinya (berada di alam raya) merupakan kontributor aspirasi manusia untuk menjelajah kehidupan dan berusaha menciptakan gagasan-gagasannya sepanjang pergumulannya dengan alam Allah ini.
Pengalaman dan kesadaran manusia inilah yang kemudian membuat manusia menjelma menjadi satu-satunya makhluk yang paling sibuk dan gelisah. Sebagai makhluk ragawi, manusia sibuk untuk menciptakan ide-ide sesuai dengan potensi dan perkembangannya, dan pengaplikasian dari ide-ide itulah yang membuat manusia gelisah sehingga menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang dinamis dan menempatkan dirinya selalu dalam proses perubahan.
Kedinamisan yang luar biasa milik manusia ini bukanlah terjadi tanpa proses atau terjadi dengan sendirinya. Pendidikan terjadi pada manusia inilah yang berperan aktif menciptakan manusia memiliki kemampuan tersebut. Karenanya, pendidikan diakui memiliki kedudukan tersendiri dan konteks psikologis dan sosiologis manusia.
Konsep fitrah yang mendasari proses pendidikan manusia banyak disinggung di dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Dalam hal mana melalui konsep fitrah dalam Islam inilah yang senantiasa akan menjadi ketentuan normatif dalam mengembangkan kualitas manusia melalui pendidikan , yang dengan dilaksanakannya pendidikan, menurut Khursyid Ahmad, manusia dapat mengkomunikasikan kebudayaan atau warisan intelektualnya kepada generasi mendatang, disamping memberikan inspirasi cita-cita hidupnya.
QS. 16 ; An Nahl : 78 menyebutkan :
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿٧٨﴾
(78) Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur.

Dalam tugasnya sebagai khalifah, tentulah manusia telah terbekali dengan berbagai perangkat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, seperti yang tersebut di dalam QS.16 ; An Nahl : 78. Pendengaran, penglihatan dan hati menjadi perangkat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Tanpa ilmu pengetahuan, maka manusia selain tidak layak disebut manusia, juga bukan merupakan cerminan dari tugas kekhalifahan yang diembannya.
Untuk dapat menjadi muslim yang tangguh, maka syarat mutlak yang harus dijalani ialah dengan mengoptimalkan semua potensi ragawiyah dan batiniyah. Potensi fisik dioptimalkan dengan olah raga, potensi akal dioptimalkan dengan berfikir, sedang potensi hati dioptimalkan dengan olah rasa. Demikian teori umumnya.
Maka dalam makalah ini, kita sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan pendidikan, belajar untuk mencoba belajar tentang cara belajar, karena ia adalah belajar tentang cara berfikir.

Hakekat Proses Belajar
Ada sebuah pertanyaan menarik, jika seorang guru sedang mengajar di kelas, apakah dengan sendirinya siswa yang diajarnya otomatis juga sedang belajar ? Apakah dengan telah tersampaikannya materi kepada peserta didik, memberikan soal, mengevaluasi hakekatnya pelajaran telah dianggap selesai pula ?
Belajar hakekatnya tidak hanya sekedar meliputi mata pelajaran saja, tetapi penguasaan, kebiasaan, persepsi, kesenangan, minat, penyesuaian sosial, ketrampilan dan cita-cita. Oemar Hamalik menyatakan, bahwa belajar mengandung pengertian tentang terjadinya perubahan dari persepsi dan perilaku, termasuk juga perbaikan perilaku, misalnya pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara lebih lengkap, karena tujuan belajar yang utama adalah bahwa apa yang dipelajarinya berguna di kemudian hari, yakni membantu kita untuk dapat belajar terus dengan cara yang lebih mudah. Namun tidak semua perubahan perilaku juga merupakan belajar.
Seperti halnya QS.16 ; An Nahl : 78, maka dalam belajar juga harus memperhatikan aspek-aspek atau potensi-potensi ragawi, akal, dan hati yang dimiliki manusia baik berkaitan dengan posisinya sebagai pendidik maupun sebagai peserta didik. Pendidik yang berlaku sebagai transporter ilmu pengetahuan harus memberikan kebebasan berfikir kepada peserta didik. Proses berfikir adalah sesuatu yang kompleks dan rumit yang tidak dapat dipandang secara mekanis, sederhana dan di sama ratakan.
Pemindahan pengetahuan dan nilai-nilai dari seseorang kepada orang lain, dari satu generasi ke generasi lain, hakekatnya bukan merupakan inti dari proses belajar. Hasan Langgulung memberikan tiga syarat pokok suatu proses yang disebut dengan belajar. Dalam belajar harus terdapat ; 1) rangsangan, 2) benda hidup haruslah mengadakan respons terhadap rangangan tersebut, dan 3) respons yang telah didapatkan kemudian diteguhkan seoerti ganjaran benda atau bukan benda supaya respons itu dibuat lagi dalam suasana yang sama pada masa yang akan datang, atau ditinggalkan kalau respons itu diteguhkan secara negatif.
Pada intinya, dalam belajar, seorang guru dihadapkan pada sebuah situasi dimana ia secara individu sedang belajar dari peserta didik yang (sedang) belajar. Guru harus dapat mempertinggi mutu mengajar, agar peserta didik dapat memahami apa yang diajarkan. Tanpa komunikasi yang baik antara guru dan peserta didik, maka proses belajar mengajar tidak akan dapat berjalan efektif serta tidak tercapainya ; pengetahuan yang dikehendaki, penanaman konsep dan ketrampilan, serta pembentukan sikap sebagai tujuan belajar.

Mindset Gaya Mengajar
Penulis belum dapat memahami faktor apa yang melatarbelakangi pendidikan di Indonesia, sehingga dalam pelaksanaannya baik pemerintah (lembaga terkait) sebagai penentu kebijakan, guru bahkan orang tua peserta didik, begitu “mendewakan” prestasi akademik. Departemen terkait merasa bangga jika ada anak yang nilainya tinggi (secara akademik) lalu dijadikannya sebagai “ikon” keberhasilan pendidikan di wilayahnya. Guru begitu memuji-muji prestasi muridnya yang memiliki peringkat tertinggi nilai akademiknya, karena ia (dipercaya) akan membawa “nama baik” sekolahnya. Sementara orang tua merasa beruntung jika anaknya mendapatkan juara I karena nilai raportnya tertinggi di atas teman-temannya. Keberuntungan orang tua itu karena dengan prestasi anaknya itu akan membuatnya hidup bahagia (secara materi) di masa mendatang. Sementara jika terdapat peserta didik yang (secara akademik) tidak begitu menonjol, tetapi ia dapat melakukan suatu tindakan sosial, misalnya ; berdialog dengan masyarakat, dapat mendamaikan teman yang bertikai, dan tindakan-tindakan lain yang berkaitan erat dengan kepekaan-kepekaan sosial, ia tidak pernah mendapatkan sanjungan, terlebih penghargaan secara nyata sebagai siswa yang berprestasi.
Pandangan di atas merupakan sebuah potret, bahwa peserta didik dianggapnya sebagai kotak kosong yang harus diisi. Guru bertindak sebagai sumber dan pemegang otoritas ilmu, yang mana peserta didik “dipasung” untuk taat, tunduk, patuh, dan satu kata dengan guru, yang pada akhirnya peserta didik harus mengikuti kesimpulan guru.
Pandangan ini bukan saja “memasung” kreatifitas peserta didik, namun yang lebih tidak manusiawi adalah bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM).
Peserta didik adalah organisme hidup yang tumbuh dan berkembang atas tenaga dalamnya sendiri. Guru bukanlah pemegang otoritas ilmu. Guru juga bukan merupakan sumber belajar, karena sumber belajar bias didapatkan dari mana saja dan dari siapa saja. Tugas guru adalah mengapresiasi, mengapersepsi, mengeksplorasi untuk kemudian memanipulasinya agar mengarah pada tujuan pembelajaran serta bermanfaat seoptimal mungkin bagi kehidupan individu mereka sendiri maupun kehidupan masyarakatnya di masa sekarang dan akan datang. Tuhan saja meninggikan kedudukan mereka, mengapa kita sebagai guru justru menganggap bahwa mereka rendah ?
Pandangan inilah yang akan membuat guru lebih bersemangat untuk menciptakan suasana belajar yang lebih menantang berpartisipasi aktif, belajar di atas minat yang dibangun bersama, membimbing untuk berfikir dan bersikap positif, membangkitkan motivasi, rasa ingin tahu, keinginan berpetualang dalam rimba ilmu, dan kegairahan belajar yang menyenangkan, meningkatkan kepercayaan diri serta menantang untuk meraih impian.
Sekedar sebagai pengetahuan saja, fakta-fakta yang ada berikut ini merupakan kejadian-kejadian yang dialami oleh para tokoh-tokoh dunia terkemuka. Sir Thomas Alfa Edison, pernah dipukul gurunya, karena suka bingung dan dianggap anak yang bawel karena suka bertanya. Albert Einstein, ketika berada di bangku Sekolah Dasar dianggap bodoh oleh gurunya dan suka melamun. Sastrawan Emile Zola justru pernah mendapat nilai “nol” dalam pelajaran sastra. Wondrow Willson, diklaim gurunya tidak dapat membaca dan nilai membacanya jeblok, tetapi kemudian ia meroket dengan menjadi Presiden Amerika Serikat. Sang Maestro Musik Klasik, Beethoven, dianggap payah dan bodoh dalam pelajaran musik di sekolah dan terbelakang dalam pelajaran matematika. Tidak menutup kemungkinan di negeri kita juga terdapat banyak anak-anak jenius yang “missing”. Apakah secara tidak sadar kita juga akan memasung bakat mereka ?

Belajar dan Beribadah
Guru pada dasawarsa terakhir ini menjadi sebuah profesi yang dapat dikatagorikan sebagai profesi “primadona “. Katagori ini didasarkan pada pendapatan secara materiil yang diperoleh guru. Terlebih pada dua tahun terakhir ini, guru “dimanjakan” dengan imbalan finansial yang bakal atau bahkan telah diterimanya sebagai tunjangan profesi. Sebut saja, program sertifikasi guru yang sebenarnya menuntut supaya guru di sekolah lebih memiliki kreatifitas tidak hanya berkutat (secara administratif) pada tugas-tugasnya saja di sekolah.
Ditinjau dari satu segi, dapat saja semua orang disebut guru. Ketika seseorang memberikan sebuah pengetahuan atau informasi kepada orang lain, yang mengarah pada terbentuknya sikap kedewasaan, pemberi informasi tersebut layak disebut guru. Tetapi dalam konteks ini, seseorang tidak dapat mengajukan tuntutan untuk memperoleh gelar “guru”, karena guru disebut berkaitan dengan masalah waktu, tempat dan keadaan dimana konsep fungsi guru untuk pertama kalinya secara resmi dinyatakan untuk lembaga yang bernama sekolah. dimana terletak suatu pertanggungjawaban untuk membawa murid-muridnya pada suatu taraf kematangan tertentu.
Pandangan bahwa untuk menjadi orang yang dapat dikatakan berhasil, sukses, secara materiil dengan berprofesi menjadi guru adalah pandangan yang keliru. Sebab jika pandangan tersebut tetap berada dalam benak guru atau calon-calon guru yang ngantri dibelakangnya, yang terjadi adalah guru akan merasa sebagai pemegang otoritas ilmu, sumber ilmu dan lebih teruk lagi adalah, guru hanya menyampaikan materi pelajaran dalam kelas secara konvensional, tanpa harus peduli siswa akan memahami atau tidak materi yang tersampaikannya. Baginya yang terpenting adalah bahwa ia sudah merasa melaksanakan kewajibannya sebagai “guru”.

Potret Pendidikan Kita
Ujian Nasional (UN) tingkat sekolah menengah tahun 2009 telah lebih dari sepekan digelar. Beberapa masalahpun bermunculan dengan aroma yang tidak sedap bagi “hidung” para praktisi pendidikan. Aroma yang paling menyengat adalah indikasi adanya kebocoran soal-soal mata pelajaran yang di-UN-kan.
Sudah merupakan rahasia umum jika pada saat diselenggarakannya UN, bukan siswa yang menjawab soal-soal ujian, tetapi guru-guru mata pelajaran bersangkutan yang berjibaku demi “suksesnya” peserta didik. Ada yang bermain “bersih” (dalam pengertian tidak mencolok mata pengawas dan tim independen), tetapi ada bahkan banyak juga yang bermain “kasar” (dalam pengertian memberikan jawaban benar 50 % layaknya membagi snack dalam rapat) baik oleh tim sukses maupun oleh pengawas yang dipaksa untuk menghormati “tuan rumah”.
Pada hakekatnya, UN berfungsi sebagai salah satu alat evaluasi dalam system pendidikan kita. Meski demikian tidak sedikit kalangan praktisi pendidikan akhirnya menjustifikasi bahwa UN adalah satu-satunya instrument yang menentukan baik buruknya wajah pendidikan kita. Karena itu, di mata mereka UN menjadi segala-galanya. Keberhasilan pendidikan kita akhirnya diukur dengan hasil UN semata. Maka siswa yang dianggap sukses adalah siswa yang Lulus UN. Sekolah yang dianggap sukses adalah sekolah yang paling banyak meluluskan siswanya.
Anggapan semacam ini tentunya berujung pada kelahiran sikap-sikap pragmatism sempit dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan hanya dipahami hanya sebatas pencapaian hasil akhir berupa angka-angka statistic tingkat kelulusan, bukan rangkaian proses panjang dan sinambung yang melibatkan pembentukan karakter dan perilaku peserta didik.
Sampai dengan hal ini, bukan hanya penulis yang menilai bahwa UN hanya melahirkan potensi mengkerdilkan pendidikan kita, tetapi masyarakat dan banyak guru-guru swasta maupun negeri yang memiliki pendapat yang sama. Mengapa ? Sebab, UN disinyalir berkemungkinan besar akan mendorong anak didik dan guru-guru kita lebih mementingkan hasil dan pengakuan dari pada proses. Jika itu kemudian terjadi secara meluas, maka akan melahirkan individu-individu yang jangankan memiliki inovatif karena untuk memiliki kreatifitaspun proses pendidikan mereka terpasung habis.
Sebagai guru yang menganut agama Islam, ada baiknya kita tengok ayat Al Qur’an di bawah ini :

 QS.4 ; An Nisaa : 9 :
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا ﴿٩﴾
(9) Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Sangat memiriskan hati memang, sementara kalangan malah menilai UN merupakan sarana paling jitu dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan kita. Karena itu mereka beranggapan keberadaan UN perlu dipertahankan demi sebuah “pengakuan” masyarakat internasional walaupun anak bangsa terkorbankan hanya untuk mementingkan hasil akhir dan menafikan proses.
Sementara tanggungjawab, ketekunan, kegigihan, kerja keras dan kejujuran sangat boleh jadi akan semakin jauh terpinggirkan dari dunia pendidikan anak-anak kita. Pihak sekolah akan tidak berhenti “mendoktrin” siswanya, bahwa skor atau nilai tinggi dalam UN adalah segala-galanya, dan mereka harus dapat meraih itu.

Penutup
Idealisasi pendidikan kita tertuang dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Maka jika hal di atas benar-benar ingin menjadi sesuatu yang diwujudkan dalam bentuk nyata, sudah barang tentu praktisi pendidikan harus melakukan semacam reorientasi dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan kita telah terlanjur (untuk tidak dikatakan terperosok) pada orientasi perolehan target hasil akhir secara instan yang hanya diukur dengan angka-angka mati. Reorientasi harus diarahkan pada idealisasi pendidikan kita yang berorientasi pada proses dan diukur dengan terciptanya pembentukan karakter dan perilaku peserta didik.
Demikian pula terjadi pada guru yang memang diakui atau tidak, profesi guru adalah profesi yang seringkali tidak diukur dengan untung rugi, tetapi profesi yang lebih berpijak kepada sebuah pepatah melayu kuno, yaitu : “Jadilah orang yang memberi sebanyak-banyaknya, bukan orang yang menerima sebanyak-banyaknya.”

 QS. 99 ; Az Zalzalah : 7
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ ﴿٧﴾
(7) Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.


 QS. 7 ; Al Israa : 7
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا ۚ
(7) Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri,

Dari ayat Al Qur’an yang penulis cantumkan di atas, cukuplah jelas bahwa bila kita berlaku baik kepada orang, maka hakekatnya kita menabung (berinvestasi) untuk kebaikan kita sendiri. Hal tersebut diperkuat pula dengan memahami makna bahwa manusia adalah merupakan khalifah (wakil) Allah di bumi. Dengan “jabatan” tersebut, maka manusia (tidak terfokus pada profesi seorang guru saja) berkewajiban dan bertanggungjawab untuk membumikan sifat-sifat Allah. Maka ucapan “Lillahi Ta’alaa” bukan ditujukan untuk Allah, melainkan menjalankan tugas-tugas kekhalifahan didasari atas perintah Allah yang terwakilkan kepada kita.
Maka, jika mindset itu yang kita terima, implikasinya akan terwujud dalam setiap pribadi guru bahwa tugas guru itu adalah cerminan sifat-sifat Allah serta menyadari bahwa ia sebagai orang yang bertanggung jawab untuk mendewasakan orang lain, supaya orang lain tersebut dapat menempuh serta menjalani kehidupan dengan baik, bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat baik secara mikro maupun makro sehingga potret wajah pendidikan kita pun tidak suram untuk dipandang, karena siswa berada dalam genggaman tangan-tangan yang selalu berharap akan ridla Allah SWT semata di dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikannya..


Wallahu a’lam bishawab
----------------------------------------------------------------
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana STAIN Cirebon – Kons.PAI
Pengampu Mata Diklat PAI di SMK Negeri 1 Tonjong – Brebes – Jawa Tengah



DAFTAR BACAAN 
Ahmad.Khursid, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, Pustaka Progresif, Surabaya, 1992
AM.Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar dan Mengajar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994
Faisal.Amir, Mencetak Siswa Unggulan dengan Spiritual Quantum Teaching, SQ Consul, Semarang, 2007
Goble.Norman M, Perubahan Peranan Guru, alih bahasa : Suryatin, Gunung Agung, Jakarta, 1983
Hamalik.Oemar, Psikologi Belajar dan Mengajar, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1992,
Langgulung.Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1988
Nasution.S, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta, 1992
Surakhmad.Winarno, Pengantar Interaksi Mengajar – Belajar, Dasar dan Teknik Metodologi Pengajaran, Tarsito, Bandung, 1994
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, Sipress, Yogyakarta, 1994

Tidak ada komentar: