16 Mei 2009

Pancasila Sebagai Dasar Negara (Menegaskan Kembali Peran Pancasila Dalam Pendidikan)

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Menegaskan Kembali Peran Pancasila dalam Pendidikan
Oleh : Muhammad Subkhan


Pendahuluan
Pasca tumbangnya Orde Baru tahun 1998 dan dilanjutkan dengan era reformasi yang ditandai dengan kebebasan disegala bidang, kebebasan tersebut juga turut dinikmati beberapa kelompok Islam yang konservatif dan atau radikal. Mereka sekarang bebas untuk secara lantang dan nyaring (poten) dan bahkan secara sembunyi-sembunyi (laten) memperjuangkan (kembali) kepentingan politis dan ideologis mereka. Ironisnya, perjuangan besar itu bermuara pada obsesi mengganti Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, meski melalui banyak varian bentuk, ide, gagasan dan cita-cita yang dikembangkan dari obsesi tersebut. Varian tersebut antara lain pendirian khilafah Islamiyah, pendirian negara Islam, pelaksanaan syariat Islam dan sebagainya. Apalagi, tumbangnya Orde Baru juga dibarengi dengan problem berupa meluasnya krisis multi-dimensi, baik sosial, politik, ekonomi dan sebagainya, sehingga kondisi tersebut semakin melegitimasi obsesi mengganti Pancasila, karena dianggap telah gagal membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Selanjutnya, mereka menganggap bahwa Islam dalam segala varian bentuknya merupakan solusi atas segala problem yang ada. Oleh karena itu slogan perjuangan mereka jelas, misalnya al-Islamu huwa al-halu (Islam adalah solusi), al-Islamu huwa al-dinu wa al –dawlah (Islam adalah agama sekaligus negara).

Salah satu kelompok Islam tersebut, misalnya, secara lantang menyatakan bahwa tujuan dan cita-cita akhir mereka adalah mendirikan khilafah Islamiyah di bumi Indonesia. Mereka tanpa ragu menyebut bahwa khilafah Islamiyah adalah sistim terbaik yang bisa menjadi solusi bagi segala problem yang melanda Indonesia. Para anggota kelompok tersebut juga dengan sabar membangun agenda politik mereka, lewat kampanye dan penggalangan massa dikampus-kampus dan masjid-masjid. Secara umum mereka menolak cara-cara kekerasan, meskipun juga menolak demokrasi yang mereka anggap sebagai sistim thaghut (tiran) yang tidak sesuai dengan Islam. Bagi mereka, khilafah (dan bukan negara Pancasila) adalah suatu keniscayaan.
Ada juga satu kelompok Islam yang sering ditunjuk memiliki relasi pengkaderan milisinya dengan kelompok para teroris. Mereka secara nyaring menyatakan bahwa Indonesia haruslah berlandaskan syariat Islam (dan atau menjadi negara Islam). Jika Indonesia menolak dilaksanakannya syariat Islam, sebaiknya NKRI bubar saja. Obsesi mereka jelas, yakni mengubah platform negara yang pluralis berdasarkan Pancasila ini dengan syariat Islam. Pentolan kelompok Islam ini bahkan di masa Orde Baru, terkenal dengan amat sangat gigih menentang Pancasila, bahkan sampai “bekerjasama” dengan kelompok garis keras dari negara Islam lain di Pakistan, Afganistan, Iran, dan Malaysia.

Di luar kelompok di atas, ada juga kelompok yang berusaha mengganti dasar negara Pancasila, tetapi secara sembunyi-sembunyi. Kelompok ini memang tak pernah mengeluarkan suaranya untuk menggulingkan Pancasila. Yang pertama-tama mereka lakukan adalah menjadi mayoritas, meski harus mengikuti cara-cara yang demokratis seperti pembentukan partai politik, menggalang massa melalui pengajian-pengajian dan pertemuan-pertemuan. Sebelum menjadi mayoritas, mereka merasa perlu untuk “menyembunyikan” cita-cita dan tujuan akhir mereka. Mereka menganggap bahwa ide negara Islam hanya akan dapat direalisasikan jika masyarakat secara mayoritas telah siap untuk mengganti dasar negara mereka.

Apapun varian bentuk, ide, gagasan, dan cita-cita kelompok-kelompok di atas, menurut saya, satu hal yang bisa dikatakan adalah bahwa mereka sebenarnya telah dan akan merongrong sendi-sendi yang paling fundamental/asasi dari negara ini, dan itu artinya mereka tidak hanya sedang dan akan menggerogoti NKRI, namun juga sedang memberikan suplai “vitamin” berlabel Islam pada para peserta didik sehingga pada gilirannya peserta didik akan dapat meneruskan dan memperkuat barisan mereka guna mewujudkan cita-cita pendirian negara Islam Indonesia dan menolak Pancasila.


MAKNA PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila, jadi bukan negara Islam, meski bukan negara sekuler. Kalimat ini, bagi kelompok Islam seperti di atas, mungkin masih dirasa ambigu dan memang bagi mereka yang tidak familiar dengan problem ideologi suatu bangsa, kalimat diatas akan terdengar absurd. Akan tetapi, fakta historis telah membuktikan bahwa itulah cara terbaik (the right way) bagi masyarakat Indonesia untuk mendiskripsikan ideologi negara mereka. Sebab, kalimat di atas merupakan ringkasan dari kompromi dan persetujuan (yang sebelumnya amat sulit dicapai) diantara para founding fathers pendiri negara ini. Kesulitan ini mengingatkan kita pada beberapa bulan sebelum dan sesudah kemerdekaan negara dideklarasikan pada 17 Agustus 1945, dan itu bermula ketika para anggota Dokuristu Zumbi Koosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, disingkat BPUPKI), yang disponsori pemerintah kolonial Jepang berdebat tentang dasar ideologi-filosofis yang akan digunakan negara kita.

Pada 9 April 1945 BPUPKI resmi dibentuk sebagai realisasi janji Jepang untuk memberi kemerdekaan pada Indonesia sesuai pengumuman Perdana Menteri Koiso pada 9 September 1944. Anggota BPUPKI dilantik pada 28 Mei, diketuai Radjiman Wedyodiningrat, dan antara 29 Mei sampai 1 Juni 1945 mengadakan sidang pertamanya. Hal-hal yang dibicarakan pada sidang tersebut berkisar pada persoalan tentang bentuk negara, batas negara, dasar negara dan hal lain terkait pembentukan konstitusi bagi sebuah negara baru. Pembicaraan tentang hal-hal itu berjalan lancar, kecuali tentang dasar negara yang berlangsung tegang dan panas.

Ada dua aliran yang muncul yakni golongan Islamis yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan golongan nasionalis (yang kebanyakan anggotanya juga beragama Islam), yang menginginkan pemisahan urusan negara dan urusan Islam, pendek kata, tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Golongan nasionalis menolak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam karena melihat kenyataan bahwa non-Muslim juga ikut berjuang melawan penjajah untuk mencapai kemerdekaan. Golongan ini juga menegaskan bahwa untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam akan secara tidak adil memposisikan penganut agama lain (non-Muslim) sebagai warga negara kelas dua.

Bagi tokoh golongan nasionalis seperti Sukarno, ia berpendirian bahwa Islam tidak relevan sebagai dasar negara karena rasa persatuan yang mengikat bangsa dan melahirkan negara ini adalah spirit kebangsaan (yang tercetus pada 1928). Dasar kebangsaan bukan dalam pengertian yang sempit sehingga mengarah kepada chauvinisme, melainkan dalam pengertian yang menginternasionalisme. Tanpa pelembagaan Islam-pun, dalam negara sebenarnya aspirasi umat Islam bisa terwadahi melalui forum demokrasi. Di sana ada asas musyawarah untuk mufakat. Dalam forum inilah, segala aspirasi rakyat dapat disalurkan. Adapun dua asas lagi yang terakhir menurut Sukarno, yakni kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Kesejahteraan sosial dimaksudkan agar demokrasi yang dibangun bukanlah demokrasi politik semata, melainkan juga juga demokrasi yang menyangkut kesejahteraan sosial. Sedang ketuhanan merupakan upaya untuk tetap memelihara nilai luhur dan keyakinan spiritual yang dimiliki warga negara. Ini adalah bagian dari usul Sukarno tentang Pancasila sebagai dasar ideologi negara dalam pidatonya pada 1 Juni 1945. Urutannya yakni: kebangsaan, perikemanusiaan, permufakatan, kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Bagi Sukarno, Pancasila ini dapat disarikan menjadi trisila yakni: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan, yang dari trisila ini bahkan bisa diperas lagi menjadi ekasila yakni: gotong-royong.
Tokoh nasionalis lainnya seperti Supomo, Muhamad Yamin dan Muhamad Hatta, mereka berpendirian sama, bahwa negara ini didirikan atas dasar kebangsaan (integral), perikemanusiaan, peri ketuhanan, perikerakyatan dan kesejahteraan rakyat. Menurut Supomo, (yang banyak di ilhami filsafat Hegel dan Spinoza ini), negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Intinya bahwa negara harus mengabstraksikan pengayoman seluruh golongan masyarakat (manunggal).
Isu tentang dasar negara telah memaksa para founding fathers mengalami masa-masa sulit. Kuatnya argumen kedua golongan diatas telah mempersulit kata mufakat pada sidang pertama mereka pada 29 Mei 1 Juni 1945. Walhasil, dalam sidang itu dasar negara belum berhasil diputuskan. Pembahasan dilanjutkan dalam panitia kecil yang terdiri dari 9 orang. Setelah melewati perdebatan panjang akhirnya sebuah kompromi politik sebagai modus vivendi (kesepakatan luhur) dalam bentuk Piagam Jakarta dapat dicapai pada 22 Juni 1945. Jika mencermati isi Piagam Jakarta maka negara Indonesia akan dibentuk sesuai isi pancasila seperti yang ada sekarang, hanya sila kesatu berbunyi : Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya (7 kata sila 1). Dalam sidang kedua BPUPKI pada 10-16 Juli 1945, isi Piagam Jakarta ternyata masih mengundang protes, terutama dari Latuharhary, Wongsonegoro, dan Hussein Djajaningrat. Mereka menilai bahwa tambahan 7 kata dalam sila 1 (Ketuhanan) akan berpotensi melahirkan tirani mayoritas dan fanatisme. Akan tetapi, protes tersebut bisa diredakan oleh Sukarno dan para anggota sidang sepakat untuk kembali kepada kesepakatan bersama sesuai hasil sidang pertama pada 22 Juni 1945.

Selanjutnya pada 17 Agustus 1945, seluruh rakyat Indonesia berada dalam perasaan suka cita menyambut penuh antusias Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Namun demikian, ibarat duri dalam daging, UUD 1945 dengan Piagam Jakarta sebagai preambule-nya masih tetap dirasakan sebagai sesuatu yang mengganggu sebagian anggota BPUPKI, terutama mereka yang berasal dari kelompok agama minoritas. Duri yang dimaksud adalah tambahan 7 kata dalam sila 1 (ketuhanan). Sehari sesudahnya, yakni pada 18 Agustus 1945, alasan dibalik kenyataan di atas menjadi jelas. Ketika ada pertemuan panitia penyusun draft UUD, informasi datang dari Tokoh Kristen asal Sulawesi Utara yakni AA Maramis yang menyatakan bahwa ia secara serius telah memprotes kalimat tambahan 7 kata sila 1 Pancasila dalam Piagam Jakarta. Muhammad Hatta, ketua pertemuan rapat, setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan dan Kasman Singodimedjo, dua tokoh muslim yang menonjol, menghapus 7 kata itu. Dalam hal itu, sebagai hasil usulan yang dibuat oleh Ki Bagus Hadikusumo (yang kemudian menjadi ketua Muhammadiyah), sebuah kalimat ditambahkan dalam sila 1 dari kata Ketuhanan, menjadi kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam pandangan Ki Bagus Hadikusumo, kalimat diatas menegaskan aspek monoteisme dalam prinsip kepercayaan kepada Tuhan dan hal itu sesuai dengan ajaran Islam tentang tauhid. Akan tetapi untuk kebanyakan orang Indonesia, UUD dengan sila 1 Pancasila seperti itu dianggap netral, karena meski telah menghilangkan aspek eksklusivisme Islam seperti pada Piagam Jakarta, juga tidak sepenuhnya bisa dianggap mendukung sekulerisme. Dalam pada itu, sebenarnya makna perubahan konstitusi pada saat-saat kritis seperti diatas cukup jelas, yakni bahwa setiap usaha untuk mengubah Indonesia menjadi negara Islam menjadi tidak mungkin, karena hal itu berlawanan dengan konstitusi dasar yang telah disepakati.
Maka dilihat dari kedudukannya, Pancasila memiliki kedudukan yang tinggi, yakni sebagai cita-cita dan pandangan hidup Bangsa Indonesia. Sedangkan dilihat dari fungsinya, Pancasila memiliki fungsi utama sebagai Dasar Negara. Sementara dilihat dari segi materinya, Pancasila digali dari pandangan hidup Bangsa Indonesia, yang merupakan jiwa dan kepribadian Bangsa Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pancasila terbuat dari materi atau bahan “asli dalam negeri” yang murni serta merupakan kebanggan bangsa yang patriotik.


PANCASILA Menjiwai Nilai Pendidikan Nasional
Ada sebagian kecil kaum Muslim, yang memandang bahwa perubahan Pancasila dari Piagam Jakarta dengan eksklusivitas Islamnya, menjadi seperti yang ada sekarang, secara khusus, sebagai wujud kekalahan politik wakil-wakil Muslim, dan secara umum, sebagai simbol kekalahan kaum Muslim di Indonesia.

Akan tetapi, tidaklah demikian dengan pandangan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Ia justru memandang bahwa Pancasila versi yang ada sekarang, adalah wujud kemenangan politik wakil-wakil Muslim, dan bahkan kemenangan kaum Muslim di Indonesia. Menurut Cak Nur, dari pandangan bahwa Islam menghendaki para pengikutnya untuk berjuang bagi kebaikan universal (rahmatan li al-alamin), dan kembali ke keadaan nyata Indonesia, maka sudah jelas bahwa sistim yang menjamin kebaikan konstitusional bagi keseluruhan bangsa ialah sistim yang telah kita sepakati bersama, yakni pokok-pokok yang terkenal dengan Pancasila menurut semangat UUD 1945. Cak Nur menegaskan bahwa hal stereotipikal ini penting dan terpaksa harus sering dikemukakan, terutama karena hal itu menyangkut persoalan pokok yang untuk sebagian masyarakat Muslim dianggap belum selesai benar. Padahal menurut Cak Nur, kaum Muslim di Indonesia seharusnya tidak perlu menolak Pancasila (dan UUD 1945) karena ia sudah sangat Islami. Sifat Islami keduanya didasarkan pada 2 pertimbangan yakni: Pertama, nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran agama Islam, dan Kedua, fungsinya sebagai noktah-noktah kesepakatan antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan sosial-politik bersama.

Kedudukan serta fungsi Pancasila dan UUD 1945 bagi umat Islam Indonesia menurut Cak Nur, sekalipun tidak dapat disamakan, sebenarnya dapat dianalogkan dengan kedudukan serta fungsi dokumen politik pertama dalam sejarah Islam (yang kini dikenal sebagai Piagam Madinah/ mitsaq al-madinah) pada masa-masa awal setelah hijrah Nabi Muhammad SAW. Jadi, segera setelah Nabi SAW tiba di Yastrib (Madinah) pada 622, beliau membuat perjanjian antara orang-orang Muhajirin (orang Islam Mekkah yang ikut hijrah bersama Nabi), Ansar (penduduk Muslim Madinah) dan orang-orang Yahudi. Perjanjian inilah yang disebut dengan Piagam Madinah.

Pancasila melalui slogannya Bhineka Tuggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua), mengandung makna bahwa meskipun masyarakat Indonesia sangatlah plural baik dari segi agama, suku bangsa, bahasa dan sebagainya tetapi mereka diikat dan disatukan oleh sebuah landasan hidup bersama (common platform) yakni Pancasila. Secara serupa, Piagam Madinah juga merupakan rumusan tentang prinsip-prinsip kesepakatan antara kaum Muslim Madinah dibawah pimpinan Nabi SAW dengan berbagai kelompok non-Muslim di kota itu untuk membangun tatanan sosial-politik bersama.

Di dalam Piagam Madinah, salah satunya, dinyatakan tentang hak kewarganegaraan dan partisipiasi kaum non-Muslim di kota Madinah yang dipimpin Nabi SAW. Kaum Yahudi yang semula merupakan himpunan suku-suku juga diangkat statusnya oleh Piagam itu menjadi warga negara yang sah. Jadi, dengan Piagam itu Nabi ingin memproklamirkan bahwa semua warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, adalah satu bangsa atau umma wahida dan bahwa mereka semua memiliki hak dan kewajiban yang sama. Memang, setelah terjadinya peristiwa-peristiwa pengkhianatan Yahudi tersebut, resminya Piagam Madinah itu sudah tidak berlaku lagi, namun prinsip-prinsipnya sebenarnya tetap sah dan diikuti ditempat lain. Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa ketika orang-orang Arab melakukan gerakan-gerakan pembebasan ke daerah-daerah luar Arabia, dan mendapatkan masyarakat yang plural/majemuk, maka yang pertama kali mereka lakukan adalah mengatur hubungan antar kelompok itu dengan mencontoh praktek dan kebijaksanaan Nabi sewaktu di Madinah dahulu.
Idealisasi pendidikan kita tertuang dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Maka jika hal di atas benar-benar ingin menjadi sesuatu yang diwujudkan dalam bentuk nyata, sudah barang tentu praktisi pendidikan harus melakukan semacam reorientasi dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan kita telah terlanjur (untuk tidak dikatakan terperosok) pada orientasi perolehan target hasil akhir secara instan yang hanya diukur dengan angka-angka mati. Reorientasi harus diarahkan pada idealisasi pendidikan kita yang berorientasi pada proses dan diukur dengan terciptanya pembentukan karakter dan perilaku peserta didik.
Demikian pula terjadi pada guru yang memang diakui atau tidak, profesi guru adalah profesi yang seringkali tidak diukur dengan untung rugi, tetapi profesi yang lebih berpijak kepada sebuah pepatah melayu kuno, yaitu : “Jadilah orang yang memberi sebanyak-banyaknya, bukan orang yang menerima sebanyak-banyaknya.”
Kalimat “ menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab” adalah sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional dengan mengedepankan penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pada gilirannya, peserta didik diharapkan akan pemegang tongkat estafeta amanah untuk pembangunan bangsa ke depan yang “terlanjur” tidak hanya dimiliki dan dikuasai oleh umat Islam saja.

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis sampai pada kesimpulan bahwa, sikap umat Islam Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan. Dari sudut pandang itu pula kita harus menilai kesungguhan para founding fathers dan para tokoh Islam yang selalu menegaskan bahwa antara Islam serta kaum Muslim Indonesia dan Pancasila serta UUD 1945 tidak ada masalah. Kesulitan-kesulitan sosial-politik yang datang dari kalangan Muslim, tidak harus selalu dilihat dalam kerangka hubungannya dengan Pancasila dan UUD 1945, melainkan sebaiknya juga dilihat kaitan-kaitan nisbinya saja serta dicarikan pemecahannya secara pragmatis. Misalnya, dipertimbangkan bahwa kesulitan serius datang dari kalangan Islam karena memang sebagian besar rakyat beragama Islam, dan kesulitan yang sama atau sebanding juga datang dari kalangan non-Muslim. Kecenderungan untuk secara gampang mencari keterangan atas suatu kesulitan sosial-politik yang datang dari suatu kelompok dengan stereotipikal mengkaitkannya kepada hal-hal yang prinsipiil seperti Pancasila dan UUD 1945 adalah satu petunjuk kemampuan berpikir yang sederhana dan ketidakberanian menghadapi kenyataan persoalan. Atau, mungkin juga hal itu dilakukan karena mengharap keuntungan sosial-politik dengan mudah, akan tetapi, dengan akibat bahwa kerusakan negara menjadi semakin parah dan persoalan yang sebenarnya tidak terselesaikan.
Dengan adanya hal tersebut, sudah semestinya kemajemukan bangsa Indonesia harus disikapi secara arif dengan mengedepankan nilai-nilai persatuan dengan tidak mengedepankan ego atas nama etnis, ras dan agama masing-masing. Inilah yang mesti dijadikan sebagai salah satu pioneer dalam pendidikan di Indonesia supaya bangsa Indonesia dapat kembali bangkit dari keterpurukan dan krisis multidimensi.

Penulis adalah Pecinta "Demokrasi dan Alam Indonesia"
Pengampu Mata Diklat PAI di SMK Negeri 1 Tonjong – Brebes – Jawa Tengah

DAFTAR BACAAN

1. Nurcholish Madjid, (2003), Islam and the State in Indonesia, dalam Ihsan Ali Fauzi (ed), 2003, The True Face of Islam, 2003, Jakarta: Voice Center Indonesia

2. Nurcholish Madjid,(1991), Agama dan Negara dalam Islam, seri KKA No. 55/Tahun V/1991

3. Nurcholish Madjid, Mohamad Roem, (1997), Tidak Ada Negara Islam, Surat-surat politik Nurcholish Madjid-Muhamad Roem, Jakarta: Penerbit Djambatan

4. A Syafii Maarif, (2006), Tragedi Pancasila, dalam harian Republika, Edisi Selasa, 30 Mei 2006.
5. Darji Darmodiharjo, (1995), Orientasi Singkat Pancasila, dalam Santiaji Pancasila (Suatu Tinjauan Filosofis, Historis dan Yuridis Kontitusional), Ed.Darji Darmodiharjo, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

6. Kaelan, MS., (2004), Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta,

7. AG. Pringgodigdo, (1995), Perjuangan Bangsa Indonesia Menegakkan Pancasila dalam Masa Pendudukan Jepang, dalam Santiaji Pancasila, Ed. Darji Darmodiharjo, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

8. Pramono U. Tanthowi, (2005), Kebangkitan Politik Kaum Santri (Islam dan Demokratisasi di Indonesia 1990-2000), PSAP, Jakarta

Tidak ada komentar: