16 Mei 2009

Manusia, Kebudayaan dan Peradaban (Telaah Jahiliyah Indonesia)

Manusia, Kebudayaan dan Peradaban
( Telaah Realistis Fenomena Jahiliyah Indonesia)
By : Al Faqir ; Muhammad Subkhan *


Pendahuluan

Manusia sebagai salah satu makhluk yang menghuni dimensi material alam Allah SWT ini memiliki berbagai macam hal yang melekat pada diri manusia itu sendiri untuk dijadikan topic pembahasan. Dalam hal mana, di dalam diri manusia itu sendiri terdapat potensi-potensi yang tidak dijumpai (secara lengkap) sebagaimana pada makhluk Allah SWT yang lain. Sehingga manusia memiliki predikat dari Allah SWT sebagai makhluk yang paling sempurna. (QS. 95 : 4)
Celakanya, potensi yang menjadikan manusia tersebut dapat dikatakan eksis inilah yang justru dapat mengakibatkan manusia itu sendiri dapat merasa “tersiksa” dan “menikmati” pola kehidupannya di alam dunia ini.
Dua kecenderungan yang saling bertolakbelakang di atas inilah yang menjadikan bobot manusia (yang juga berpredikat Khalifah fii al ardl) menjadi sebuah kegamangan bagi para Malaikat ketika mereka “dipaksa” untuk mendengar dan mematuhi “Keputusan” Allah SWT. Tetapi sekali lagi, Allah SWT menunjukkan ke-Absolut-an Nya dengan sebuah jawaban sederhana tanpa sebuah argument yang tidak dapat dicerna oleh Malaikat, “Aku mengetahui apa yang kalian tidak ketahui” (QS.2 : 30)
Maka dengan menyandang predikat Khalifah Allah fii al ardl inilah, Allah merasa perlu untuk membekali diri manusia sesuai dengan Citra-Nya, karena ia juga merupakan mazhhar (tempat kenyataan) asma dan sifat Allah yang lengkap dan menyeluruh. Karena itu pula, Allah SWT menciptakan manusia dengan cara tersendiri, berbeda dengan kejadian jenis makhluk-Nya yang lain.

Ruh dan Jasad Manusia

Manusia pada hakekatnya, bukanlah jasad lahir yang diciptakan dari unsur-unsur material yang digalibkan oleh Allah saja seperti terdapat dalam Al Qur’an Surat Al Mu’minun :12-16, akan tetapi pada diri manusia terdapat ruh (yang tidak dapat dicerna oleh akal manusia dan menjadi urusan Allah). Melalui ruh inilah, jasad manusia digunakannya untuk melakukan aktifitasnya.
Syekh Nuruddin ar Raniry memberikan statement, bahwa hakekat manusia adalah sama pengertiannya dengan nafs nathiqah (jiwa berpikir), karena ruh berasal dari alam arwah dan memerintah serta mempergunakan jasad sebagai alat. Sedangkan jasad berasal dari alam khalk (alam ciptaan) yang dijadikan anasir materi. (Ahmad Daudy, 1983 : 133)
Inilah hakekat manusia menurut ajaran Islam, dimana manusia tersusun dari unsur materi, yaitu tubuh (jasad) yang memiliki unsur hayat dan unsur imateri yaitu ruh yang memiliki dua daya. Daya rasa di dada dan daya pikir di kepala.
Dengan pembuktian inilah, maka Allah SWT menunjukkan jawaban atas kegamangan yang ada pada para malaikat, bahwa dengan potensi inilah manusia akan dapat menjadi “wakil-Nya” untuk mengelola alam beserta isinya.

Kebudayaan dan Peradaban

Dalam hidupnya, manusia dihadapkan pada dua hal yang bertolakbelakang, yaitu harapan dan kecemasan. Harapan untuk mendapatkan kehidupan yang baik, dan cemas akan mendapatkan kehidupan yang tidak baik. Maka untuk mengatasi persoalan ini, manusia membutuhkan suatu kekuatan yang diyakininya dapat menjadi penolong atas masalah yang menimpanya itu. Sandaran vertical (beserta dogma yang diyakini) itulah yang kemudian dikemas dalam suatu bentuk yang disebut agama.
Agama pada umumnya diyakini mengandung ajaran-ajaran dari Yang Maha Tahu dan Maha Benar. Karenanya, ajaran agama diyakini bersifat absolute dan mutlak benar yang harus diterima oleh pemeluknya. Namun masyarakat yang hendak diatur oleh agama, sebaliknya senantiasa mengalami perubahan dan oleh karenanya bersifat dinamis.
Sedangkan budaya, yang disebut sebagai hasil pikiran manusia (Sulkan Yasin, tt : 43) timbul sebagai hasil dari interaksi antara pemikiran akal manusia dan keterbukaan serta dinamika masyarakat, maka dengan sendirinya kebudayaan itu juga bersifat dinamis. Dengan demikian, tidaklah mengherankan kalau agama dan perkembangan kebudayaan selalu terdapat ketidakharmonisan. (Harun Nasution, 1989 :88)
Banyak sekali indicator bahwa suatu bangsa ternyata mengalami stagnasi budaya. Hal ini terjadi karena adanya suatu benturan antara kebudayaan dengan ajaran agama. Seperti halnya yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia (yang oleh para ulama “modern”) dikatakan sebagai suatu “kesalahan” dalam proses penyebaran agama Islam yang di bawa oleh para Wali Songo. Dalam hal mana, klaim atas hal itu muncul karena Wali Songo telah banyak “menggiring” umat lebih dekat pada bid’ah dan khurafat yang dijauhi oleh Rasulullah SAW. Namun kearifan lokal yang melekat pada keilmuan para wali, ternyata dapat mencerahkan cakrawala baru pada masyarakat jawa yang sebelumnya telah memiliki kebudayaan-kebudayaan dengan berlandasan pada kepercayaan sebelumnya.
(Lepas dari pembahasan di atas), dari proses perkembangan budaya inilah, kemudian lahir dengan apa yang disebut sebagai peradaban, yang dalam perspektif manusia pada umumnya, peradaban ini identik dengan kesopanan. Why ? karena peradaban itu lahir setelah terjadi hal-hal yang dianggap oleh manusia sebagai tindak penyimpangan dari fitrah mereka dengan segala indicator kebebasan yang dimilikinya.
Peradaban itulah yang sebenarnya dikehendaki oleh seluruh manusia, tidak terbatas pada sekelompok manusia saja dalam suatu koloni yang disebut Muslim atau non Muslim. Peradaban yang dikehendaki adalah yang bersifat universal, dimana hal ini sebenarnya memiliki keselarasan dengan Dogma yang ada pada ajaran agama Islam itu sendiri, yang bersifat rahmatan lil ‘alamin (memberikan kesejahteraan bagi seluruh alam).
Maka setelah Islam tampil dan menjelma sebagai “adikuasa” baru (pada eranya), Islam dianggap telah menyuguhkan sebuah peradaban yang hakiki, karena didalam ajarannya, Islam telah membuka cakrawala baru pada masyarakat (dengan segala aturan-atauran yang dapat menata komunitas masyarakat dengan baik) yang dalam fase itu telah dianggap tidak memiliki peradaban, atau biasa kita sebut Jahiliyah.



Jahiliyah

Kata ini tidaklah sangat asing bagi kita, dan kiranya kita bersepakat bahwa Jahiliyah itu adalah suatu kebodohan manusia yang tidak dapat mengendalikan fungsi akal dan perasaan atas kuasa nafsu yang melekat secara kodrati pada manusia.
Diketahui bersama, bahwa Rasulullah Muhammad SAW lahir di tengah-tengah umat yang mengalami dekadensi moral, hilangnya tatatan perikehidupa n bagi manusia. Rasulullah SAW tampil sebagai manusia yang membawa misi Ilahiyah secara jelas, dengan memberikan sebuah perbedaan yang nyata antara ajaran Ilahiyahnya dengan kepercayaan sebelumnya, serta memberikan penalaran yang jelas, bahwa Jahiliyah (kebodohan) dapat menciptakan kejahatan dan keresahan pada manusia. Itulah mengapa tugas Rasulullah SAW bukan untuk menyebarkan Islam (yang sarat dengan syariatnya), tetapi lebih menitikberatkan pada pembentukan akhlak mulia.
Maka Jahiliyah bukanlah suatu periode pada zaman atau fase tertentu, melainkan jahiliyah adalah sebagai sikap mental spiritual tertentu yang semata-mata lahir karena hilangnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikehendaki oleh Allah SWT dari kehidupan manusia. (Abu’l Hasan Ali Al Nadwi, 1988 : 35).
Adapun indicator dari sebuah ke-jahiliyah-an masyarakat dapat ditilik dari ; a) kaburnya dogma Ilahiyah karena kefakiran ilmu pengetahuan, b). hilangnya sikap mental manusia akibat kuasa nafsu berlebih yang menguasai akal dan hati manusia.

Menyikapi Fenomena Jahiliyah Modern

Telah menjadi suatu hal yang biasa bagi kita, ketika telinga dan mata kita mendengar suatu berita yang memiriskan hati. Berbagai media baik cetak maupun elektronika yang hadir ketika kita beranjak dari tempat tidur menyuguhkan berita-berita “fenomena jahiliyah”. Berita pembunuhan, perkosaan dan perzinaan, perampokan, korupsi, perebutan kekuasaan, penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif, wa ‘ala alihi ‘ajma’in. Bahkan kalau di zaman Jahiliyah sebelum hadirnya Rasulullah SAW terdapat bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup, ternyata pada zaman ini kita berjumpa dengan fenomena ABORSI (yang lebih jahiliyah dari sekedar jahiliyah).
Mental masyarakat pelaku ekonomi, sangat kental dengan “budaya” korup, pungli, kolusi dan nepotisme telah membumi dan banyak kita jumpai dimana-mana. Para pelajar, hanyut terbawa oleh arus globalisasi dengan sibuk dan mabuk dalam pergaulan bebas dan sejenisnya dari pada membaca buku-buku bermanfaat di perpustakaan terdekat.
Almarhum Cak Nur, pernah memberikan gambaran terhadap kita bangsa Indonesia, bahwa kita sering membanggakan diri sebagai “Bangsa Timur” (dengan konotasi berbudaya tinggi dan sopan) atau “Bangsa yang Religius” (yang tentunya juga berarti bangsa yang berakhlak tinggi). Tetapi dengan jujur kita harus mengakui bahwa kebanggaan di atas sering kosong belaka. (Nurcholis Madjid, 1995 : 173)

Maka dengan penuh penyesalan, penulis dengan berat hati menyebut zaman kita hidup sekarang adalah lebih Jahiliyah dari Jahiliyahnya masa Rasulullah SAW.
Maka dari sinilah kita terdorong untuk melihat diri sendiri dengan jujur, melalui penanyaan diri ; Benarkah bangsa Indonesia, khususnya umat Islamnya sendiri, telah dijiwai dan dibimbing oleh akhlak mulia? Sudahkah umat Islam memenuhi penegasan Nabi SAW, bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak ?
Maka jawab kita, (dengan penuh keragu-raguan) ; May be Yes, may be No !




What Next ?

Sebagai penerus dakwah perjuangan Rasulullah SAW pembawa risalah Ilahiyah, kita mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus rela untuk menyingsingkan lengan baju, maju dalam dalam garda terdepan (tentunya dengan klasifikasi skil di dalam bidangnya masing-masing) untuk tampil sebagai relawan pada misi penyempurnaan akhlak dalam Save the people, dengan panji-panji Ilahiyah demi terwujudnya Islam yang Rahmatan lil ‘alamin.

Sebagai penutup, (untuk direnungi untuk kemudian kita lakukan action) adagium Syekh Syauqi Beik (yang sering dikutip banyak orang), yaitu :



Sesungguhnya bangsa-bangsa itu tegak selama (mereka berpegang pada) akhlaqnya. Bila akhlaq mereka rusak, maka rusak binasa pulalah mereka.(Syauqi Beik, tt : 7)


Wallahu’alam bishshawab


--------------------------------------
• Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana STAIN Cirebon Smt.1 TA.2008-2009
• Guru PAI SMK Negeri 1 Tonjong Kab. Brebes Jawa Tengah


Refferentie

Al Nadwi. Abu’l Hasan Ali, Diterjemahkan M. Ruslan Shiddieq, Islam Membangun Peradaban Dunia, Jakarta, Dunia Pustaka Jaya, 1988.
Beik. Syauqi, Ta’lim al Muta’allim, Surabaya ,tt.
Daudy. Ahmad, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar Raniry, Jakarta, Rajawali, 1983.
Madjid. Nurcholis, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1995.
Nasution. Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Prof.Dr. Harun Nasution, Bandung, Mizan, 1995.
Yasin. Sulkan, Kamus Bahasa Indonesia Praktis dan Populer, Surabaya, Mekar, 1995.

Tidak ada komentar: