16 Mei 2009

ETIKA dalam FILSAFAT ILMU

E T I K A
By : Muhammad Subkhan
Disampaikan dalam Diskusi Kelas pada Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Program Pascasarjana STAIN Cirebon Tahun Akademik 2008-2009


Pendahuluan
Dr. Elizabeth Ross berusaha menolong rekan yang juga sebagai kekasihnya, Dr. Bruce yang terinfeksi “Virus Gamma” (kolaborasi kekuatan inti pada binatang reptil) pada saat penelitian untuk kepentingan militer AS. Akibat virus itu, maka Dr. Bruce dapat berubah menjadi raksasa hijau yang (oleh kalangan Militer AS) disebut HULK. Perubahan tersebut terjadi hanya apabila Dr. Bruce berada dalam kondisi emosi yang labil, baik karena kemarahan yang memuncak atau karena ia ingin menumpahkan segala kegundahannya yang menggejolak dalam batinnya. Dan apabila ia telah berubah menjadi Raksasa Hijau Hulk, ia dapat memiliki kekuatan yang sangat luar biasa, ia dapat dengan mudah sekali melompat pada radius 2-3 Km, tubuhnya kebal terhadap serangan Bazooka atau tembakan Rudal, dan ia juga dapat mengangkat peralatan artileri Angkatan Darat AS (US ARMY) yang memiliki beban paling berat sekalipun.
Keadaaan ini mendorong Jenderal Ross (yang juga ayah dari Dr. Elizabeth Ross), selaku Panglima Militer AS untuk mengembangkan Virus Gamma pada tubuh serdadu Angkatan Darat AS yang pada masa itu harus berhadapan dengan para Mujahidin di Timur Tengah yang mengembangkan senjata kimia.
Namun motivasi Jenderal Ross belum dapat terealisasikan apabila ia tidak mendapatkan sample DNA dari Hulk Sang Raksasa Hijau. Maka dengan segala daya upaya (termasuk melibatkan kesatuan militernya) ia berusaha untuk melumpuhkan Hulk dan mengambil DNA nya guna kepentingan dan ambisinya. Selanjutnya mudah ditebak, jika aksi-aksi yang dilakukan oleh Jenderal Ross beserta kekuatan militernya sangat sporadis sekaligus mempersulit usaha Dr. Elizabeth Ross yang sedang berusaha menyembuhkan dan menetralisir Virus Gamma yang mengendap dalam tubuh Dr. Bruce.


Inilah sebuah sinopsis dari tayangan film seri Superhero AS “ THE INCRIDIBLE HULK” yang menjadi sebuah gambaran betapa aspek etika dalam ilmu pengetahuan memang lebih dikedepankan.

Pengertian Etika
Seperti diketahui, bahwa filsafat memiliki tiga cabang besar di dalamnya, yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi. Sebelum etika dibicarakan, akan lebih runtut pemikiran kita apabila kita membuka gerbang teori nilai sebelum membuka pintu etika, karena etika ini merupakan unsur penting dari teori nilai. Cabang filsafat yang terakhir, yaitu aksiologi dapat disebut pula sebagai ilmu yang melakukan penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai, (dan dengan hal tersebut) maka nilai disebut pula sebagai aksiologi (Cecep Sumarna, 2006; 182).
Nilai diakui sebagai the key of science, karena bagaimanapun tinggi suatu ilmu pengetahuan tanpa adanya sebuah nilai yang bermakna bagi manusia, tetap saja pengetahuan tersebut akan diklaim sebagai sesuatu yang tidak memiliki daya guna yang ujung-ujungnya adalah munculnya upaya-upaya untuk menghalangi perkembangan pengetahuan yang dimaksud. Maka, walaupun ada yang mengatakan bahwa berfilsafat berarti juga tidak terbatasi oleh nilai yang kemudian dibahasakan secara ringkas sebagai yang “bebas nilai”, tetapi apabila filsafat dan ilmu tidak terbingkai oleh sesuatu yang bernama nilai, maka ia akan dianggap berbahaya. Karenanya the key of science juga diistilahkan menjadi ruh al ‘ilmu, dengan ibarat ilmu yang tidak berlandaskan nilai, laksana tubuh tanpa ruh, yang berarti tidak memiliki daya guna (ibid : 183).
Hal tersebut juga didasarkan pada tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang tidak lain adalah untuk (tercapainya) suatu kebenaran (Endang Saefudin Anshari, 1987 ; 61), yang berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan hidup manusia di dalam pelbagai bidangnya, melalui empat macam fungsinya, yaitu sebagai ; 1) deskriptif, 2) pengembangan, 3) prediksi, dan 4) kontrol (RBS Fudyartanta, 1971 ; 11-14). Socrates sendiri pernah di klaim oleh para pemikir Yunani Kuno pada saat itu, bahwa ia adalah orang yang anti ilmu pengetahuan disebabkan karena pernyataannya bahwa dunia ini hakekatnya tidak memberikan manfaat apapun bagi kemanusiaan, bahwa tidak semua persoalan manusia dapat ditemukan jawabannya melalui ilmu pengetahuan, terlebih jika menengok bahwa nilai kebenaran ilmu pengetahuan itu positif dan relatif (tidak mutlak). (Paul Strathern, 2001 ; 11-13).
Julius Robert Oppenheimer, atau biasa dipanggil Oppie adalah “Bapak Bom Atom”, yang jenius sekaligus rumit pemikirannya dan juga dingin. Ia merasa bangga ketika penemuannya berupa Bom Atom menjadi sebuah Maha Karya yang spektakuler di masanya. Namun ia menjadi orang yang sulit dimengerti, baik sikapnya maupun arah pemikirannya, ia tetap bercabang (menjadi seorang jenius yang bangga bahwa ciptaannya mampu mencapai puncak bencana ekologi) sampai akhir hidupnya. Maka para ilmuwan AS menyebutnya sebagai orang yang secara teknis unggul dalam bidangnya, namun ia tidak secara moral, karena seolah-olah ia membuat perjanjian dengan iblis untuk pemusnahan ekologi guna kekuasaan dan karir jabatannya di Institute for Advanced Study (IAS). (Paul Strathern, 2003 ; 77-83). Inilah hasil ilmu pengetahuan bersifat individual yang tidak terbingkai oleh kerangka sosial.
Sedangkan etika merupakan salah satu unsur dari aksiologi yang bercerita tentang nilai yang baik dan nilai buruk. Etika biasa dikaitkan dengan moral, walaupun keduanya seolah sama, namun berbeda dalam pengertiannya. Etika menurut arti bahasa berasal dari Bahasa Yunani, ethos yang berarti watak. Moral berasal dari Bahasa Latin mos (tunggal) dan mores (bentuk jamak) yang diartikan kebiasaan. Menarik pendapat dari Frans Magnis Suseno sebagaimana dikutip oleh Cecep Sumarna (Op.Cit.; 192-193) , bahwa moral merupakan sejumlah ajaran, kumpulan peraturan dan ketetapan, wejangan-wejangan, tulisan-tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi baik. Moral bukan etika, karena etika merupakan pemikiran yang kritis serta mendasar tentang ajaran moral. Jadi etika tidak menceritakan bagaimana manusia harus hidup, namun etika bercerita tentang bagaimana manusia harus bertanggungjawab terhadap ajaran moral yang dianutnya.
Berhubungan dengan teknologi yang menjadi tuntutan kebutuhan manusia, maka apabila dikatakan bahwa filsafat adalah pelengkap ilmu pengetahuan, lalu apa yang menjadi pelengkap teknologi ? Teknologi merupakan penerapan dari ilmu pengetahuan. Maka pelengkap teknologi adalah penerapan pelengkap ilmu pengetahuan, yaitu filsafat. Dengan itu, timbul pertanyaan, “apa pula yang dimaksud dengan filsafat terapan ?”, dan jawabannya adalah, etika itulah yang merupakan filsafat terapan (Armahedi Mahzar, 1983 ; 24). Salah satu bukti dari hal diatas adalah sebagaimana penciptaan Bom Atom, dimana teknologi adalah cara untuk mencapai suatu tujuan, tetapi tujuan yang bernilai baik atau tidak, bukan merupakan urusan teknologi itu sendiri melainkan ditentukan oleh etika. Jika mahasiswa S2 membeli Laptop, maka didalam kemasannya ada buku petunjuk tentang bagaimana cara kita memperlakukan Laptop dengan baik, itu adalah moral. Tetapi etika memberikan suatu pengertian tentang bagaimana Laptop itu dikonstruk dan sistem teknologi Laptop yang bekerja.

Manusia dan Etika
Manusia telah digariskan oleh Allah, Tuhan Rabb semesta alam, Tuhan semua makhluk di jagatraya untuk menjadi khalifah (wakil-Nya) di bumi. Dengan adanya tugas ini,maka manusia sudah barang tentu dikaruniai dengan beberapa potensi yang berbeda (dalam pengertian lebih tinggi) dengan makhluk-makhluk lain. Manusia dapat disebut manusia (dalam konotasinya sebagai khalifah) yang apabila ia dapat memanfaatkan potensi baik ruhani maupun jasmaninya dengan baik, karena berkenaan dengan tugas-tugas kekhalifahannya sebagai keniscayaan sifat-sifat Tuhannya.
Sebagai makhluk psikologis, manusia memiliki sifat bawaan yang sangat universal. Dalam Al Qur’an manusia sering disebut sebagai basyar dan insan, dimana basyar lebih menunjukkan sifat lahiriyah serta persamaannya dengan manusia lain termasuk Nabi yang juga tidak luput dari kepemilikan sfat-sifat basyariyah. Sedangkan nama insan menunjuk pada konotasi makhluk psikologis, yang bersumber pada qalb (yang memiliki makna dinamis), yang dengan adanya hal itu manusia dapat memiliki hal-hal yang tidak dapat dimiliki makhluk lain, seperti sedih, gembira, rajin, malas, ingat, lupa, patuh, berontak, benci, rindu dan bahkan cinta.
Dalam QS.91 (Asy Syams); 7-9, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia dikaruniai design kejiwaan yang sempurna, memiliki potensi untuk dapat memahami antara yang baik dan buruk, dan bisa meningkatkan kualitasnya menjadi “suci” dan dapat tercemar menjadi kotor yang hina (QS.95 ; 4-6). Baik dalam QS.91 dan 95 mengisyaratkan bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai sesuatu yang sempurna , dimana nafs itu memiliki sesuatu yang rumit dan dahsyat sekaligus sempurna yang wujud kesempurnaannya antara lain diberikannya potensi untuk memahami perilaku-perilaku baik dan buruk. Jadi pada dasarnya manusia pada design awalnya memang dipersiapkan untuk mampu membedakan yang baik dan buruk, tetapi apakah potensi tersebut menjadi aktual atau tidak masih bergantung pada proses berikutnya (Ahmad Mubarrok, 2003; 25) dimana pada titik dan kondisi-kondisi tertentu manusia dapat melakukan hal yang sebenarnya tidak baik, jahat dan bahkan menyimpang (abnormal) yang (pada tema terakhir) dapat digolongkan dalam kelompok psikopatis yang kemudian dapat pula disebut sebagai The Mentally Abnormal Criminal (Gerson W. Bawengan, 1991 ; 34).
Kepemilikan manusia terhadap pemahaman baik dan buruk, secara psikologis lebih mudah mengerjakan sesuatu hal yang baik sesuai dengan design fitrahnya, sedangkan untuk berbuat buruk atau jahat manusia harus berjuang melawan suara batinnya, suara nuraninya, sehingga terasa berat mengerjakannya. Maka dengan hal tersebut, manusia akan lebih mudah mengenali sebuah keburukan dari pada kebaikan, karena keburukan berseberangan dengan fitrahnya sebagai makhluk yang baik. Hal yang perlu disadari adalah bahwa, dialektika antara baik dan buruk merupakan sunnatullah yang menunjukkan kesempurnaan dan kekuasaan, serta merupakan bukti bahwa di belakang makna-makna yang berlawanan itu ada suatu realitas. Maka keburukan dapat dikenal jika terdapat kebaikan, sebab tidak mungkin bagi manusia mengenal kriteria yang satu tanpa mengenal kriteria yang lain, itulah dialektika sunnatullah.
Salah satu yang menjadi proses sunnatullah yang ada pada manusia adalah proses berpikir, yang sudah ada pada diri manusia sejak dilahirkan (QS.16 ; 78), dan dengan otak manusia sebagai pusat gerak penalaran, manusia diangkat oleh Allah ke tingkatan di atas malaikat dan makhluk adiragawi yang lain (QS. 2; 30-34). Manusialah yang mampu membentuk persepsi-persepsi, ide-ide, yang kemudian di uji cobakan untuk memastikan suatu hypotesis. Kekuatan otak manusia membentuk persepsi dan ide-ide yang kemudian kelak diapresiasikan pada dasar-dasar pengetahuan dan sains, dan kegiatan-kegiatan bagaimana manusia mendapatkan pengetahuan itulah yang disebut epistimologi (Munandar Sulaiman, 1993 ; 170). Dan perlu diingat bahwa epistimologi yang di kembangkan manusia adalah epistimologi yang mempunyai akar humanisme yang sangat kuat, yang di dalamnya manusia menjadi titik tumpuan dan pusat perhatian alam (AM Saefudin, 1993 ; 49), maka hal tersebut menjadikan ilmu pengetahuan yang dimiliki serta dikembangkan manusia adalah mesti berbasis nilai, dengan kontsruksi pengetahuan dan teknologi yang juga berbasis etika, sebab jika hal tersebut dikaburkan oleh manusia yang terjadi justru sesuatu yang akan memukul balik manusia.
Maka menjadi tugas dan peran para ilmuwanlah untuk memiliki sekaligus mengembangkan sikap sosial yang selalu konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang dilakukan, karena merekalah yang memiliki latar belakang pengetahuan yang cukup untuk dapat menempatkan masalah tersebut pada proporsi yang sebenarnya serta menyampaikannya kepada masyarakat dalam bahasa yang dapat dicerna oleh semua kalangan adalah merupakan kewajiban sosialnya
Manusia melalui otak dan hatinya mengatur seluruh fungsi tubuh dan ia dituntut untuk bertanggung jawab atas seluruh perilakunya, mulai dari yang primitif sampai yang super canggih sekalipun. Begitu rumit dan dahsyatnya potensi manusia, terlebih akal, sampai Kang Jalal (Jalaludin Rahmat) dalam satu seminarnya menyatakan sebagai “daerah jelajah terakhir umat manusia”.
Sangat disayangkan sekali, dengan begitu istimewa dan beragamnya kecerdasan manusia, dan begitu banyak sisi lain yang belum terkuak, sistem pendidikan dan persekolahan di negeri kita belum mampu mengakomodir hal tersebut, terbukti banyak orang tua, bahkan guru, atau bahkan pula sistem pendidikan tidak memperhatikan jenis-jenis kecerdasan lain selain IQ. Mereka begitu mendewa-dewakan IQ, yang kemudian jika ada peserta didik tidak memiliki prestasi di bidang akademik, akan dapat mudah ia di klaim sebagai siswa yang ber-IQ jongkok. Maka kami menyebut fenomena ini bukan saja sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia, tetapi pada taraf yang paling membahayakan adalah terjadinya akumulasi kerugian bagi perkembangan serta kemajuan bangsa dan negara. Kalau ini telah terjadi, apakah ilmu pengetahuan akan dapat dikembangkan dengan berbasis nilai ?
Nggak janji dech ….

Wallahu’alam bishshawab ……
Waffaqonallahu ilaa thariqil qowiem
-------------------------------------
 * Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana STAIN Cirebon Kons. PAI – TA.2008-2009
* Pengampu Mata Diklat PAI di SMK Negeri 1 Tonjong Kab. Brebes Jawa Tengah


 Daftar Bacaan
Anshari. Endang Saefudin, (1987), Ilmu, Filsafat dan Agama, Bina Ilmu, Surabaya
Bawengan. Gerson W., (1991), Pengantar Psikologi Kriminil, Pradnya Pharamitha, Jakarta.
Fudyartanta. RBS., (1971), Epistimologi, Intisari Filsafat Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta.
Mahzar. Armahedi, (1983), Integralisme, Sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam, Pustaka Salman, Bandung.
Mubarrok. Ahmad., (2003), Sunnatullah dalam Jiwa Manusia, Sebuah Pendekatan Psikologi Islam, MT Indonesia, Jakarta.
Strathern. Paul, (2003), Oppenheimer dan Bom Atom, alih bahasa; Fransisca Petrayani, Erlangga, Jakarta.
--------------------, (2001), 90 Menit Bersama Sokrates, alih bahasa; Frans Kowa, Erlangga, Jakarta.
Saefudin. Ahmad M., (1993), Desekularisasi Pemikiran ; Landasan Islami, Mizan, Bandung.
Sulaiman. M. Munandar, (1993), Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial, Eresco, Bandung.
Sumarna. Cecep, (2006), Filsafat Ilmu, Dari Hakekat Menuju Nilai, Pustaka Bani Quraisy, Bandung.
---------------------, (2008), Filsafat Ilmu, Mulia Press, Bandung.
Suriasumantri. Jujun S., (1994), Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Sinar Harapan, Jakarta.

Tidak ada komentar: