31 Desember 2009

SELAMAT JALAN, GURUKU .....


KH. Abdurrahman “Ad Dakhil” Wahid (Gus Dur), Sang Pendobrak tersumbatnya pintu demokrasi Indonesia, Sang Pembela Kebenaran, Sang Pelindung Kaum Minoritas, dan Sang Guru Bangsa pada hari Rabu, 30 Desember 2009 pukul 18.45 WIB di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Warga Nahdlatul Ulama (NU) khususnya dan bangsa Indonesia bahkan dunia international telah kehilangan guru demokrasi. Seorang pemimpin kharismatik dengan segudang “kenyentrikannya” disertai sederet gelar miring yang diberikan kepada beliau. Seperti halnya ketika beliau bertemu Presiden Cuba Fidell Castro, ia berkata : “Di Indonesia itu kata orang presidennya gila. Presiden pertama gila wanita, kedua gila harta, ketiga gila teknologi, nah yang ke empat ini yang milih gila kali ya ..” disambut gelak tawa keduanya.

Ya, kini bangsa Indonesia akan selalu dan senantiasa kangen dengan joke-joke segarnya. Bagi NU, Gus Dur merupakan kubah emas yang memberikan kedamaian bagi yang “mengerti” jalan pikirannya. Sangat luar biasa, dan jarang ada ulama besar setingkat Gus Dur sampai untuk wafatnya saja beliau sempatkan “nyambangi” kakek, ayah dan ibundanya di Tebuireng. Beliau juga menyempatkan diri untuk ta’ziyah ke Tambakberas. Tiga hari sebelum beliau menjalani operasi di RSCM, beliau pamitan kepada Pengurus dan staf di kantor PBNU Kramat Raya. Beberapa hal di atas, seolah memberikan isyarat bahwa beliau akan berpulang ke Rahmatullah menyusul para pendahulunya. Subhanallah ....

Itulah Gus Dur yang selalu dicintai oleh seluruh elemen bangsa, lintas agama, ras, suku dan budaya. Kini beliau pastinya berharap kalau langkah yang ditempuhnya untuk selalu menegakkan NKRI, penegakkan demokrasi dan pembelaan kepada kaum tertindas dan minoritas. Insya Allah, Gus ... kami akan meneruskan langkah muliamu. Semoga engkau mendapatkan tempat yang mulia di sisi Allah dan berkumpul bersama para Nabi, dan Salafus Shalihin .... Amien.

By : A@n ( Muhammad Subkhan ) "muridmu" yang nakal yang haus akan penegakkan keadilan sebagaimana selalu engkau tunjukkan.

20 Desember 2009

REFLEKSI HARI ANTI KORUPSI


Aku sadar, kalau aku tidak banyak berbuat untuk turun bersama teman-teman dan elemen masyarakat lain mengekspresikan sikap anti korupsi di hari 9 Desember ini. Aku hanya bisa menulis yang sederhana macam tulisan sederhana di bawah ini. Aku juga berharap, semoga tindak korup tak lagi menghantui dan menggelayut dalam jiwa ragaku.

KORUPSI ..!! Sebuah kata yang sangat familiar ditelinga kita. Sebuah kata yang “diyakini” memiliki potensi Bahaya Laten. Sebuah kata yang kita sendiri telah tahu efeknya jika dilakukan. Dan sebuah kata yang justru “kadang atau bahkan sering” kita jalani, SENGAJA atau TIDAK SENGAJA.

MENGAPA KORUPSI ?
Glamour kehidupan dunia seringkali membuat kita terlena bahkan (yang lebih fatal) kita lupa, bahwa dunia merupakan transit dari perjalanan menuju sebuah kehidupan akhirat. Kita menjalani kehidupan di dunia secara nyata, namun secara nyata pula kita juga sedang berjalan mendekati kematian.
Manusia secara kodrati dilahirkan memiliki harapan dan kecemasan. Harapan untuk hidup yang lebih baik, dan cemas akan jalan hidupnya yang tidak baik. Tidak ada jaminan bagi manusia, bahwa ia mengetahui bagaimana kehidupan mendatang. Dalam menjalani hidup dan kehidupannya, kita sering memberikan penilaian baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Nilai kesuksesan seseorang dalam menjalani hidup sering “dipaksakan” harus bergandengan dengan semakin meningkatnya derajat berdasarkan ukuran materi. Sementara mereka yang “tertinggal” dan “terbelakang” secara materi tidak masuk dalam kelompok orang-orang sukses. Ya, itulah realitas yang ada.
Manusiawi memang, dan lebih manusiawi lagi bahwa kita butuh sebuah pengakuan (kalau tidak dikatakan sebagai penghormatan maupun penghargaan) dari orang lain akan kelebihan-kelebihan yang kita miliki, baik secara keilmuan, kecakapan, performance dan kekayaan.
Indikator terakhir inilah yang membuat banyak orang mengejarnya dengan melakukan perbuatan yang disebut Korupsi. Kaya identik dengan banyak uang. Banyak uang identik dengan kebahagiaan. Itulah pandangan kaum materialistis yang menganggap bahwa semuanya dapat diselesaikan jika dengan uang, laisal fulus ... mamfus.
Kaya ..? pasti mau lah. Dengan kekayaan, konon “derajat” atau biasa disebut status sosial dapat terangkat. Dengan terangkatnya status sosial, hampir dapat dipastikan banyak orang yang merapat dan (maaf) bergantung kepada kita. Dan karena mereka banyak bergantung kepada kita, maka kita pun dapat “memanfaatkannya” demi kepentingan kita. Itulah pasal yang menggiurkan mengapa banyak orang melakukan tindakan korupsi.
Sebuah Solusi
Sadar akan bahwa hidup di dunia ini hanya sementara dan meyakini bahwa kehidupan akhirat adalah merupakan hasil dari petikan atas proses jalannya hidup di dunia adalah sebuah solusi pendekatan agamis untuk menangkal laten korupsi.
Teori sebab akibat sebagaimana banyak dikemukakan para ilmuwan telah disinggung oleh Allah SWT jauh sebelum mereka mengenal nature of law. Melalui QS. 99 ( Al Zalzalah ) : 7-8 Allah menegaskan

7. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. 8. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.
Demikian janji Allah kepada kita, siapapun kita. Karena tidak ada satupun ajaran agama yang melegitimasi tindakan korupsi. Siapa yang berbuat baik, pasti suatu saat dia akan mengambil hasil dari kebaikannya. Sebaliknya, siapa yang melakukan tindakan jahat, maka ia pun suatu saat akan mengambil hasil dari tindakan jahatnya itu.
Ya, hidup ini adalah investasi. Siapa orangnya yang menginvestasikan kehidupannya dengan tabungan-tabungan kebaikan, maka ia pun entah kapan waktunya, singkat atau jangka panjang, PASTI akan dapat memetik hasilnya. Ketahuilah Wahai saudaraku ... Addunya mazroatul akhirah (dunia ini adalah lahan persemaian untuk dapat dipanen demi bekal hidup di akhirat).
Mari, melalui refleksi Peringatan Hari Anti Korupsi se-Dunia pada 9 Desember 2009 ini, kita bulatkan tekad, siapapun kita ; Pejabat pemerintah, Para Pemuka Agama, Aparat Keamanan, buruh, para guru dan elemen masyarakat lain untuk tidak memberi ruang gerak sekecil apapun untuk masuknya BINATANG bernama KORUPSI ini.

AWALI ANTI KORUPSI DARI DIRI SENDIRI .. !!
HIDUP INDONESIA ...
JADIKAN NEGERI KITA YANG MAJEMUK INI MENJADI
BALDATUN THAYYIBATUN WA RABBUN GHAFUR. AMIEN...

07 September 2009

HATI-HATI, PENIPUAN DARI PRODUK CAT AVIA PAINTS

HATI-HATI, PENIPUAN DENGAN MODUS HADIAH LANGSUNG

6 MILYAR 30 TAHUN AVIA AVIAN (Produk Cat Merk Avia Paints)

Berikut ini, cerita yang saya dapatkan dari salah seorang yang mengaku bernama Sudarno, yang secara tidak sengaja bertemu di jalan dan kemudian meminta bantuan kepada saya untuk mengetahui kebenaran Kupon Hadiah 6 MILYAR 30 TAHUN AVIA AVIAN.

Hari itu, Senin tanggal 10 Agustus 2009. Seorang bapak, sebut saja Sudarno sibuk menyiapkan perlengkapan untuk anak sulungnya yang dua hari lagi akan mengikuti Perkemahan Jambore Ranting (Jamran) tingkat Kecamatan. Sudarno amat bangga dengan anaknya yang mendapat kepercayaan menjadi Pemimpin Regu (Pinru) dari kontingen gugus depan salah satu sekolah dasar di kampungnya.

Semua hal telah ia persiapkan, dari mulai setangan leher, baret, ring hasduk, sabuk pramuka, tali marlon, buku saku dan tentunya tidak ketinggalan seragam pramuka yang secara khusus ia persiapkan untuk anaknya. Namun ada satu yang belum ia persiapkan, yaitu tongkat pramuka. Sudarno tidak begitu saja menerima berita bahwa tongkat untuk seluruh anggota kontingen telah disediakan oleh gugus depan. Ia ingin anaknya tampil prima sebagai Pinru. Maka, hari itu ia mengalah tidak bekerja sebagai buruh sebagaimana biasa demi untuk mempersiapkan semuanya.

Dengan semangat penuh harap, ia pun segera mencari bambu tidak hanya untuk anaknya saja, tetapi juga untuk beberapa anggota yang menjadi “anak buah” nya. Disiapkannyalah 6 buah tongkat ukuran 160 cm dengan rapih dan halus. Sekarang ia tinggal memikirkan warna cat untuk tongkat-tongkat itu. Danu, nama anak sulungnya, segera ia panggil beserta teman-temannya yang ikut serta mempersiapkan perlengkapan. Danu kemudian menerangkan kalau warna catnya adalah Hijau dan putih yang menjadi ciri khas regunya.

Sudarno kemudian merogoh koceknya, lalu dimintanya Danu untuk membelikan dua buah cat di toko besi dekat rumahnya. Sudarno hanya percaya, bahwa cat terbaik untuk tongkat-tongkat itu cuma merk Avia Paints, tiada yang lain.

Tidak lama, Danu kembali ke hadapan ayahnya sambil menenteng dua buah kaleng cat Merk Avia Paints. Segera Sudarno dibantu “pasukannya” menyulap bambu-bambu itu menjadi tongkat yang memiliki warna khas gugus depannya.

Setelah dirasakan cukup lama untuk menjadikan warna cat itu mengering, segera mereka mengumpulkan tongkat-tongkat itu untuk diikat menjadi satu. Sudarno kemudian berniat menyimpan kembali cat yang masih tersisa. Namun ketika ia akan menutup salah satu kaleng cat Avia Paints warna putih, ternyata .... ALLAMAAAAAKK..!! didalamnya terdapat bungkusan plastik kecil. Buru-buru ia membersihkan plastik itu dan membukanya.

(Perlu diketahui oleh Pembaca, dugaan saya ia bungkusan plastik itu bukan di dalam cat, melainkan ia dapatkan dari jalan alias dapet nemu. Namun bisa jadi memang cerita itu benar adanya)

Betapa terkejutnya ia, ternyata bungkusan plastik itu berisi Lembar Pemberitahuan dan Kupon Hadiah 6 MILYAR 30 TAHUN AVIA AVIAN. Dari Pemberitahuan dan Kupon Hadiah itu tersebut, tercetak bahwa yang mendapatkan surat ini dimanapun atau daerah mana saja di dalam Produk berarti sah, resmi mendapatkan hadiah langsung dari perusahaan kami tanpa diundi. (Selamat anda beruntung mendapatkan hadiah) berupa 1 UNIT MOBIL TOYOTA AVANZA

Sejenak, Sudarno tertegun antara percaya dan tidak. Bagaimana tidak, ia membayangkan kalau ia selaku pemenang hadiah dan berhak atas 1 unit mobil Toyota Avanza yang ia sendiri belum pernah memegangnya apalagi menaikinya. Beberapa saat ia mondar mandir tak tentu, ia tidak tahu harus berbuat apa atas kejadian ini.

Sudarno, walaupun seorang buruh (akunya) tetapi ia tidak gegabah dalam menyikapi isi bungkusan itu. Sampai selesainya kegiatan perkemahan anaknya, ia belum melakukan tindakan apa-apa atas kupon hadiah tersebut. Namun setiap malam ia tidak dapat tidur nyenyak karena ia tidak menceritakan soal tersebut kepada orang lain tak terkecuali istrinya sendiri. Selama berhari-hari kupon dan pemberitahuan itu ia bawa kemanapun ia pergi.

19 Agustus 2009, ia berniat berbelanja untuk keperluan menghadapi bulan puasa di Pasar Induk Bumiayu. Sebelum ia sempat berbelanja jauh ke dalam pasar, secara kebetulan ia bertemu dengan saya yang saat itu sedang menunggu istri saya yang juga sedang berbelanja untuk keperluan yang sama. Cukup lama kami duduk-duduk sambil mengobrol di emperan gudang Toko Enyonge samping Kantor PLN Bumiayu. Mungkin karena ia percaya dengan performance dan profesi saya yang jadi PNS dan mengajar di Sekolah Kejuruan Negeri, ia menceritakan sebagaimana cerita di atas.

Tidak banyak yang saya tanyakan kepadanya, kecuali dari mana ia berasal dan pekerjaan yang ia geluti. Namun, kuat dugaan saya kalau ia bukan asli Bumiayu, karena dari logatnya ia berasal dari daerah Banyumas (mungkin Pekuncen, Ajibarang, atau daerah sekitarnya). Sudarno kemudian memberikan kupon hadiah dan pemberitahuan yang ia dapatkan kepada saya, dengan maksud meminta tolong kepada saya untuk melacak kebenaran berita tersebut. Saya lalu memberikan copy KTP dan memberi nomor HP kepadanya, dikandung maksud ia dapat menghubungi saya setelah saya melakukan cross check kupon hadiah tersebut.


Sepulang dari dari Pasar Induk Bumiayu, saya lalu mencoba untuk menghubungi call center yang tertera dibalik kupon. Melalui hubungan telepon, dengan sangat meyakinkan, Ir. Bambang Hadiyono selaku Kepala Bagian Iklan dan Promosi PT. Avia Avian membenarkan adanya penyelenggaraan promo tersebut, dan meminta saya untuk menunggu kiriman hadiah 1 unit Toyota Avanza di rumah (tentunya setelah saya ditanya tentang identitas saya). Namun mobil tersebut, belum dapat terkirim sebelum saya mentransfer uang sebagai kompensasi Bea Balik Nama (BBN) sejumlah Rp. 4.800.000,- (empat juta delapan ratus ribu rupiah).

Sejenak saya tertegun, karena hal semacam ini sering saya dengar sebagai bentuk penipuan yang dilakukan oleh “Penjahat Berdasi”. Setelah pembicaraan lewat telepon saya tutup, saya mencoba untuki menghubungi salah seorang “murid” saya yang sedang menempuh kuliah di Universitas Al Azhar Kebayoran Baru Jakarta. Adi Purnomo namanya, ia mendapatkan beasiswa untuk jenjang Strata satu (S1) setelah lulus dari SMA Islam Ta’allumul Huda Bumiayu. Adi dengan antusias menyambut baik permintaan saya untuk melacak kebenaran Hadiah PT. Avia Avian yang dalam pemberitahuan tertera alamat kantornya ; Jl. RS. Fatmawati No. 203 Telp. (021) 96005577 (HUNTING) Fax. (62-21) 3904859 Jakarta 12012.

Sepanjang Jalan RS Fatmawati di Jakarta Selatan telah ia telusuri, namun alamat PT. Avia Avian tak kunjung ditemukan. Yang paling membuat kecurigaan kami menguat bahwa ini adalah penipuan, adalah ketika Customer Service (CS) menjawab melalui telepon dengan kasar dan tidak mau menunjukkan alamat secara benar, walaupun Adi telah berada di Jalan RS. Fatmawati. Demikian juga dengan orang yang mengaku Ir. Bambang Hadiyono, tetap meminta kepada kami untuk mentransfer uang kompensasi BBN.

Dengan adanya hal tersebut, maka Adi Purnomo saya minta untuk mengentikan “pencarian” sebab ciri-cirinya telah nyata, bahwa ini adalah PENIPUAN. Maka, saran saya kepada pembaca semua, JANGAN MUDAH TERLENA DENGAN IMING-IMING HADIAH, Walaupun dengan meyakinkan konsumen/pemenang, “penyelenggara” mencantumkan Nomor Surat dari DEPSOS (DEPARTEMEN SOSIAL) DAN POLRI (KEPOLISIAN RI) serta mencantumkan juga Nama dan Tanda Tangan serta Cap/Stempel Dirjen Pajak dari Departemen Keuangan RI.

AWAS, KEJAHATAN TERJADI BUKAN HANYA KARENA ADA NIAT PELAKUNYA,

TETAPI JUGA KARENA ADANYA KESEMPATAN.

MAKA, JANGAN KITA BERIKAN KESEMPATAN KEPADA PARA PENJAHAT UNTUK MEMPERDAYA KITA. BERITAHUKAN JUGA KEPADA ORANG LAIN,

TERUTAMA ORANG-ORANG YANG (maaf..) tidak memiliki kekuatan,

dan terbelakang secara ekonomi dan pendidikan.

SALAM DAMAI UNTUK SEMUANYA ...

01 Juni 2009

GUNUNG SLAMET "WATUK"

GUNUNG SLAMET “WATUK”

( Catatan Fenomena Mistis

Ingkang Mbahurekso Slamet )

Oleh : Muhammad Subkhan*



Sebagai negara yang dilalui oleh cincin api pasifik, jelas Indonesia terdapat banyak dengan keberadaan gunung berapi. Catatan United State Geological Survey (USGS) menyebutkan, lebih dari 60 gunung berapi yang besar terdapat di Indonesia.

Istilah gunung berapi digunakan untuk menyebut setiap lubang dalam kerak yang dilalui batuan cair (magma), gas, dan pecahan-pecahan batuan saat meletus (terlempar keluar). Kata tersebut juga untuk menyebut bentuk-bentuk tanah yang secara perlahan meninggi saat material diendapkan pada permukaan setelah beberapa letusan. Material tersebut akhirnya membeku membentuk batuan vulkanis. Letusan terjadi apabila magma naik melintasi kerak bumi dan muncul di atas permukaan. Pada dasarnya, gunung berapi terbentuk saat pertama kali magma meletus ke permukaan. Begitu telah terbentuk, gunung berapi tersebut akan tetap meletus selama masih banyak magma yang terkandung di dalamnya, walaupun antara letusan-letusannya, sangat dimungkinkan membutuhkan waktu yang relative cukup lama bagi manusia, yaitu puluhan, ratusan dan bahkan ribuan tahun lamanya.

Gunung Slamet, salah satu diantara gunung-gunung berapi besar di Indonesia berada di Jawa Tengah. Dengan ketinggian 3.432 meter di atas permukaan laut, Slamet terhitung tertinggi kedua di Pulau Jawa setelah Semeru di Jawa Timur. Slamet berada di lima kabupaten, yaitu ; Brebes (melalui Puncak Sakub Kaligua dan Kaliwadas), Tegal (melalui Guci Bumijawa), Pemalang (melalui Gambuhan), Purbalingga (melalui Bambangan) dan Banyumas (melalui Baturaden). Sejak tahun 1772 Slamet telah lebih dari 41 meletus.

Aktivitas Slamet sejak pertengahan April lalu mulai meningkat. Gunung berapi yang menjadi lambang keperkasaan masyarakat lima kabupaten itupun mulai “batuk-batuk”. Dengan sigap, pemerintah daerah lima kabupaten itupun mulai mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan terburuk atas aktifitas yang kian ditingkatkan sejak “batuknya”. Hal tersebut memang telah menjadi kewajaran, mengingat jika terjadi letusan besar maka penduduk di sekitarnya akan menghadapi berbagai macam bahaya yang, yaitu aliran lava bersuhu 700 – 1200 derajat celcius, banjir lahar, hujan abu, awan panas bersuhu lebih dari 6000 derajat celcius, kebakaran hutan, semburan gas beracun, dan gempa bumi.

Berdasarkan pengamatan kami yang ingin numpang “bermanfaat” bagi orang lain dalam suatu wadah Tim SAR Kabupaten Brebes, aktifitas Slamet (yang pada umumnya dapat dilihat pada malam hari) dengan letusan-letusan disertai gempa-gempa yang dapat dirasakan di desa-desa terdekat masih belum menunjukkan kekhawatiran yang berlebih pada masyarakat sekitar. Berbagai jenis letusan digolongkan berdasarkan cara keluar lava. Ini sangat bergantung pada kekentalan lava dan kemudahan gas-gas yang terperangkap di dalamnya dapat lepas. Gas-gas mudah lepas dari lava yang tidak kental, tetapi pada lava yang lebih kental, gas yang terlepas menimbulkan letusan. Saat magma mendekati permukaan, tekanan berkurang dan gas-gas vulkanis membentuk gelembung-gelembung kecil dalam magma, seperti gelembung-gelembung kecil yang terbentuk dalam sebotol air soda (karbonasi) karena tekannya berkurang saat kita membuka tutupnya secara perlahan.

Sementara ini, sejauh dalam pengamatan kami letusan-letusan yang terjadi di Slamet dapat dikatagorikan pada letusan jenis HAWAII yang cenderung lembut yang terjadi saat lava dalam keadaan encer dan magmanya kadang menyembur keluar dari diatrema membentuk pancuran lava. Namun bagaimanapun juga, hingga kini warga juga masih berjaga-jaga, walaupun sebagian besar masih mempercayai fenomena mistis yaitu turunnya Mbah Agung yang dipercaya sebagai yang Mbahurekso Gunung Slamet.

Belum lama ini masyarakat dan teman-teman Tim SAR Brebes dikejutkan dengan adanya penampakan Mbah Agung ini. Betapa tidak, tatkala Slamet menyemburkan lava encer sampai dengan ketinggian 50 – 400 meter dari kubah lava, sosok yang diyakini sebagai Mbah Agung ini muncul dalam gumpalan awan hitam yang menyerupai seorang nenek tua. Sementara masyarakat Kalikidang dan sekitarnya meyakini bahwa sosok dalam penampakan tersebut adalah bukan sosok sebenarnya, karena banyak masyarakat yang mempercayai bahwa Mbah Agung ini dapat menyerupai apa saja. Namun yang paling dijadikan sebagai pertanda buruk dengan gejala yang ditimbulkan oleh Gunung Slamet ini, disamping gejala-gejala ilmiah seperti gempa, munculnya geothermal (panas bumi), gas beracun dan bau belerang yang menyengat adalah turunnya binatang-binatang gunung akibat kegelisahan yang dirasakannya serta turunnya Mbah Agung dalam wujud seekor macan yang berbadan besar.

Teman-teman yang mencoba menyelusur di kaki lereng-lerang Gunung Slamet memaparkan, bahwa mereka pernah bertemu dengan serombongan macan dan binatang-binatang lain termasuk turunnya ular-ular besar (dengan ukuran minimal selebar daun pintu berukuran 80-100 cm). Kumpulan binatang-binatang gunung ini, menurut pengamatan dari teman-teman yang berada di posko Baturaden, Bambangan dan Pandansari telah turun dan berada di wilayah Rata amba (sebuah wilayah lereng yang berada di barat daya Gunung Slamet)

Fenomena-fenomena mistis semacamnya, dipercaya atau tidak memang terjadi di gunung-gunung, bahkan ditempat lain seperti laut, udara, dan bahkan di rumah tempat tinggal kita. Hanya saja yang penulis rasakan lebih “menggigit” adalah fenomena mistis di gunung. Bagaimanapun keberadaannya masih menjadi bahan perdebatan di kalangan masyarakat, namun bagi kami yang ingin “menyatu dengan alam” fenomena tersebut nyata adanya.

Walau demikian, sikap waspada terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh aktifitas Slamet ini harus sedini mungkin telah dimiliki warga dan pihak-pihak yang terkait dengan penanggulangan bencana alam lainnya. Transformasi pengetahuan ilmiah terhadap kegiatan gunung berapi sudah harus tersampaikan kepada masyarakat, termasuk juga dalam kegiatan ini adalah latihan-latihan evakuasi serta penggunaan bahan makanan dan minuman, juga penyebaran penyakit akibat gas beracun dan lain sebagainya.

Wallahu a’lam ...

---------------------------------------

· Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Pecinta Alam Bumiayu, saat ini mengampu Mata Diklat Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMK Negeri 1 Tonjong Kabupaten Brebes

16 Mei 2009

Sebuah pepatah mengatakan :
Dalam hidup ini jadilah MANUSIA YANG MEMBERI SEBANYAK-BANYAKNYA, DAN JANGAN MENERIMA SEBANYAK-BANYAKNYA.

Sebagai Makhluk Allah SWT, manusia tercipta dengan karunia terbesar dan paling sempurna dengan potensi-potensi fitrah yang terdapat pada dirinya. Ia terkaruniai potensi ; pendengaran, penglihatan dan perasaan. Ketiga potensi yang ada pada diri manusia inilah yang menjadikan manusia dapat memperoleh ilmu pengetahuan.

Sebagai Makhluk Allah SWR, manusia tercipta untuk dapat menjadi Khalifah fii al ardl (wakil Allah SWT di Bumi). Seyogyanya manusia tidak perlu angkuh, sombong wa 'ala alihi wa ashhabihi 'ajma'in. Manusia harus dapat hidup dapat berdampingan dan saling memberi antar sesamanya. Namun alangkah lebih berbahagia jika ia dapat selalu memberi kepada sesamanya. "Tangan di atas lebih mulia dari pada tangan di bawah", begitu kata Nabi SAW. Dalam Al Qur'an juga telah disebutkan : "Maka barang siapa berbuat suatu kebaikan walau hanya sebiji dzarrah, maka ia akan mendapatkan balasan dari Allah SWT berlipat ganda. Namun jika ia menanam benih keburukan, ia akan menuai badai keburukan yang ia tanam sendiri." SUBHANALLAH.....

Pancasila Sebagai Dasar Negara (Menegaskan Kembali Peran Pancasila Dalam Pendidikan)

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Menegaskan Kembali Peran Pancasila dalam Pendidikan
Oleh : Muhammad Subkhan


Pendahuluan
Pasca tumbangnya Orde Baru tahun 1998 dan dilanjutkan dengan era reformasi yang ditandai dengan kebebasan disegala bidang, kebebasan tersebut juga turut dinikmati beberapa kelompok Islam yang konservatif dan atau radikal. Mereka sekarang bebas untuk secara lantang dan nyaring (poten) dan bahkan secara sembunyi-sembunyi (laten) memperjuangkan (kembali) kepentingan politis dan ideologis mereka. Ironisnya, perjuangan besar itu bermuara pada obsesi mengganti Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, meski melalui banyak varian bentuk, ide, gagasan dan cita-cita yang dikembangkan dari obsesi tersebut. Varian tersebut antara lain pendirian khilafah Islamiyah, pendirian negara Islam, pelaksanaan syariat Islam dan sebagainya. Apalagi, tumbangnya Orde Baru juga dibarengi dengan problem berupa meluasnya krisis multi-dimensi, baik sosial, politik, ekonomi dan sebagainya, sehingga kondisi tersebut semakin melegitimasi obsesi mengganti Pancasila, karena dianggap telah gagal membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Selanjutnya, mereka menganggap bahwa Islam dalam segala varian bentuknya merupakan solusi atas segala problem yang ada. Oleh karena itu slogan perjuangan mereka jelas, misalnya al-Islamu huwa al-halu (Islam adalah solusi), al-Islamu huwa al-dinu wa al –dawlah (Islam adalah agama sekaligus negara).

Salah satu kelompok Islam tersebut, misalnya, secara lantang menyatakan bahwa tujuan dan cita-cita akhir mereka adalah mendirikan khilafah Islamiyah di bumi Indonesia. Mereka tanpa ragu menyebut bahwa khilafah Islamiyah adalah sistim terbaik yang bisa menjadi solusi bagi segala problem yang melanda Indonesia. Para anggota kelompok tersebut juga dengan sabar membangun agenda politik mereka, lewat kampanye dan penggalangan massa dikampus-kampus dan masjid-masjid. Secara umum mereka menolak cara-cara kekerasan, meskipun juga menolak demokrasi yang mereka anggap sebagai sistim thaghut (tiran) yang tidak sesuai dengan Islam. Bagi mereka, khilafah (dan bukan negara Pancasila) adalah suatu keniscayaan.
Ada juga satu kelompok Islam yang sering ditunjuk memiliki relasi pengkaderan milisinya dengan kelompok para teroris. Mereka secara nyaring menyatakan bahwa Indonesia haruslah berlandaskan syariat Islam (dan atau menjadi negara Islam). Jika Indonesia menolak dilaksanakannya syariat Islam, sebaiknya NKRI bubar saja. Obsesi mereka jelas, yakni mengubah platform negara yang pluralis berdasarkan Pancasila ini dengan syariat Islam. Pentolan kelompok Islam ini bahkan di masa Orde Baru, terkenal dengan amat sangat gigih menentang Pancasila, bahkan sampai “bekerjasama” dengan kelompok garis keras dari negara Islam lain di Pakistan, Afganistan, Iran, dan Malaysia.

Di luar kelompok di atas, ada juga kelompok yang berusaha mengganti dasar negara Pancasila, tetapi secara sembunyi-sembunyi. Kelompok ini memang tak pernah mengeluarkan suaranya untuk menggulingkan Pancasila. Yang pertama-tama mereka lakukan adalah menjadi mayoritas, meski harus mengikuti cara-cara yang demokratis seperti pembentukan partai politik, menggalang massa melalui pengajian-pengajian dan pertemuan-pertemuan. Sebelum menjadi mayoritas, mereka merasa perlu untuk “menyembunyikan” cita-cita dan tujuan akhir mereka. Mereka menganggap bahwa ide negara Islam hanya akan dapat direalisasikan jika masyarakat secara mayoritas telah siap untuk mengganti dasar negara mereka.

Apapun varian bentuk, ide, gagasan, dan cita-cita kelompok-kelompok di atas, menurut saya, satu hal yang bisa dikatakan adalah bahwa mereka sebenarnya telah dan akan merongrong sendi-sendi yang paling fundamental/asasi dari negara ini, dan itu artinya mereka tidak hanya sedang dan akan menggerogoti NKRI, namun juga sedang memberikan suplai “vitamin” berlabel Islam pada para peserta didik sehingga pada gilirannya peserta didik akan dapat meneruskan dan memperkuat barisan mereka guna mewujudkan cita-cita pendirian negara Islam Indonesia dan menolak Pancasila.


MAKNA PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila, jadi bukan negara Islam, meski bukan negara sekuler. Kalimat ini, bagi kelompok Islam seperti di atas, mungkin masih dirasa ambigu dan memang bagi mereka yang tidak familiar dengan problem ideologi suatu bangsa, kalimat diatas akan terdengar absurd. Akan tetapi, fakta historis telah membuktikan bahwa itulah cara terbaik (the right way) bagi masyarakat Indonesia untuk mendiskripsikan ideologi negara mereka. Sebab, kalimat di atas merupakan ringkasan dari kompromi dan persetujuan (yang sebelumnya amat sulit dicapai) diantara para founding fathers pendiri negara ini. Kesulitan ini mengingatkan kita pada beberapa bulan sebelum dan sesudah kemerdekaan negara dideklarasikan pada 17 Agustus 1945, dan itu bermula ketika para anggota Dokuristu Zumbi Koosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, disingkat BPUPKI), yang disponsori pemerintah kolonial Jepang berdebat tentang dasar ideologi-filosofis yang akan digunakan negara kita.

Pada 9 April 1945 BPUPKI resmi dibentuk sebagai realisasi janji Jepang untuk memberi kemerdekaan pada Indonesia sesuai pengumuman Perdana Menteri Koiso pada 9 September 1944. Anggota BPUPKI dilantik pada 28 Mei, diketuai Radjiman Wedyodiningrat, dan antara 29 Mei sampai 1 Juni 1945 mengadakan sidang pertamanya. Hal-hal yang dibicarakan pada sidang tersebut berkisar pada persoalan tentang bentuk negara, batas negara, dasar negara dan hal lain terkait pembentukan konstitusi bagi sebuah negara baru. Pembicaraan tentang hal-hal itu berjalan lancar, kecuali tentang dasar negara yang berlangsung tegang dan panas.

Ada dua aliran yang muncul yakni golongan Islamis yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan golongan nasionalis (yang kebanyakan anggotanya juga beragama Islam), yang menginginkan pemisahan urusan negara dan urusan Islam, pendek kata, tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Golongan nasionalis menolak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam karena melihat kenyataan bahwa non-Muslim juga ikut berjuang melawan penjajah untuk mencapai kemerdekaan. Golongan ini juga menegaskan bahwa untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam akan secara tidak adil memposisikan penganut agama lain (non-Muslim) sebagai warga negara kelas dua.

Bagi tokoh golongan nasionalis seperti Sukarno, ia berpendirian bahwa Islam tidak relevan sebagai dasar negara karena rasa persatuan yang mengikat bangsa dan melahirkan negara ini adalah spirit kebangsaan (yang tercetus pada 1928). Dasar kebangsaan bukan dalam pengertian yang sempit sehingga mengarah kepada chauvinisme, melainkan dalam pengertian yang menginternasionalisme. Tanpa pelembagaan Islam-pun, dalam negara sebenarnya aspirasi umat Islam bisa terwadahi melalui forum demokrasi. Di sana ada asas musyawarah untuk mufakat. Dalam forum inilah, segala aspirasi rakyat dapat disalurkan. Adapun dua asas lagi yang terakhir menurut Sukarno, yakni kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Kesejahteraan sosial dimaksudkan agar demokrasi yang dibangun bukanlah demokrasi politik semata, melainkan juga juga demokrasi yang menyangkut kesejahteraan sosial. Sedang ketuhanan merupakan upaya untuk tetap memelihara nilai luhur dan keyakinan spiritual yang dimiliki warga negara. Ini adalah bagian dari usul Sukarno tentang Pancasila sebagai dasar ideologi negara dalam pidatonya pada 1 Juni 1945. Urutannya yakni: kebangsaan, perikemanusiaan, permufakatan, kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Bagi Sukarno, Pancasila ini dapat disarikan menjadi trisila yakni: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan, yang dari trisila ini bahkan bisa diperas lagi menjadi ekasila yakni: gotong-royong.
Tokoh nasionalis lainnya seperti Supomo, Muhamad Yamin dan Muhamad Hatta, mereka berpendirian sama, bahwa negara ini didirikan atas dasar kebangsaan (integral), perikemanusiaan, peri ketuhanan, perikerakyatan dan kesejahteraan rakyat. Menurut Supomo, (yang banyak di ilhami filsafat Hegel dan Spinoza ini), negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Intinya bahwa negara harus mengabstraksikan pengayoman seluruh golongan masyarakat (manunggal).
Isu tentang dasar negara telah memaksa para founding fathers mengalami masa-masa sulit. Kuatnya argumen kedua golongan diatas telah mempersulit kata mufakat pada sidang pertama mereka pada 29 Mei 1 Juni 1945. Walhasil, dalam sidang itu dasar negara belum berhasil diputuskan. Pembahasan dilanjutkan dalam panitia kecil yang terdiri dari 9 orang. Setelah melewati perdebatan panjang akhirnya sebuah kompromi politik sebagai modus vivendi (kesepakatan luhur) dalam bentuk Piagam Jakarta dapat dicapai pada 22 Juni 1945. Jika mencermati isi Piagam Jakarta maka negara Indonesia akan dibentuk sesuai isi pancasila seperti yang ada sekarang, hanya sila kesatu berbunyi : Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya (7 kata sila 1). Dalam sidang kedua BPUPKI pada 10-16 Juli 1945, isi Piagam Jakarta ternyata masih mengundang protes, terutama dari Latuharhary, Wongsonegoro, dan Hussein Djajaningrat. Mereka menilai bahwa tambahan 7 kata dalam sila 1 (Ketuhanan) akan berpotensi melahirkan tirani mayoritas dan fanatisme. Akan tetapi, protes tersebut bisa diredakan oleh Sukarno dan para anggota sidang sepakat untuk kembali kepada kesepakatan bersama sesuai hasil sidang pertama pada 22 Juni 1945.

Selanjutnya pada 17 Agustus 1945, seluruh rakyat Indonesia berada dalam perasaan suka cita menyambut penuh antusias Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Namun demikian, ibarat duri dalam daging, UUD 1945 dengan Piagam Jakarta sebagai preambule-nya masih tetap dirasakan sebagai sesuatu yang mengganggu sebagian anggota BPUPKI, terutama mereka yang berasal dari kelompok agama minoritas. Duri yang dimaksud adalah tambahan 7 kata dalam sila 1 (ketuhanan). Sehari sesudahnya, yakni pada 18 Agustus 1945, alasan dibalik kenyataan di atas menjadi jelas. Ketika ada pertemuan panitia penyusun draft UUD, informasi datang dari Tokoh Kristen asal Sulawesi Utara yakni AA Maramis yang menyatakan bahwa ia secara serius telah memprotes kalimat tambahan 7 kata sila 1 Pancasila dalam Piagam Jakarta. Muhammad Hatta, ketua pertemuan rapat, setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan dan Kasman Singodimedjo, dua tokoh muslim yang menonjol, menghapus 7 kata itu. Dalam hal itu, sebagai hasil usulan yang dibuat oleh Ki Bagus Hadikusumo (yang kemudian menjadi ketua Muhammadiyah), sebuah kalimat ditambahkan dalam sila 1 dari kata Ketuhanan, menjadi kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam pandangan Ki Bagus Hadikusumo, kalimat diatas menegaskan aspek monoteisme dalam prinsip kepercayaan kepada Tuhan dan hal itu sesuai dengan ajaran Islam tentang tauhid. Akan tetapi untuk kebanyakan orang Indonesia, UUD dengan sila 1 Pancasila seperti itu dianggap netral, karena meski telah menghilangkan aspek eksklusivisme Islam seperti pada Piagam Jakarta, juga tidak sepenuhnya bisa dianggap mendukung sekulerisme. Dalam pada itu, sebenarnya makna perubahan konstitusi pada saat-saat kritis seperti diatas cukup jelas, yakni bahwa setiap usaha untuk mengubah Indonesia menjadi negara Islam menjadi tidak mungkin, karena hal itu berlawanan dengan konstitusi dasar yang telah disepakati.
Maka dilihat dari kedudukannya, Pancasila memiliki kedudukan yang tinggi, yakni sebagai cita-cita dan pandangan hidup Bangsa Indonesia. Sedangkan dilihat dari fungsinya, Pancasila memiliki fungsi utama sebagai Dasar Negara. Sementara dilihat dari segi materinya, Pancasila digali dari pandangan hidup Bangsa Indonesia, yang merupakan jiwa dan kepribadian Bangsa Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pancasila terbuat dari materi atau bahan “asli dalam negeri” yang murni serta merupakan kebanggan bangsa yang patriotik.


PANCASILA Menjiwai Nilai Pendidikan Nasional
Ada sebagian kecil kaum Muslim, yang memandang bahwa perubahan Pancasila dari Piagam Jakarta dengan eksklusivitas Islamnya, menjadi seperti yang ada sekarang, secara khusus, sebagai wujud kekalahan politik wakil-wakil Muslim, dan secara umum, sebagai simbol kekalahan kaum Muslim di Indonesia.

Akan tetapi, tidaklah demikian dengan pandangan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Ia justru memandang bahwa Pancasila versi yang ada sekarang, adalah wujud kemenangan politik wakil-wakil Muslim, dan bahkan kemenangan kaum Muslim di Indonesia. Menurut Cak Nur, dari pandangan bahwa Islam menghendaki para pengikutnya untuk berjuang bagi kebaikan universal (rahmatan li al-alamin), dan kembali ke keadaan nyata Indonesia, maka sudah jelas bahwa sistim yang menjamin kebaikan konstitusional bagi keseluruhan bangsa ialah sistim yang telah kita sepakati bersama, yakni pokok-pokok yang terkenal dengan Pancasila menurut semangat UUD 1945. Cak Nur menegaskan bahwa hal stereotipikal ini penting dan terpaksa harus sering dikemukakan, terutama karena hal itu menyangkut persoalan pokok yang untuk sebagian masyarakat Muslim dianggap belum selesai benar. Padahal menurut Cak Nur, kaum Muslim di Indonesia seharusnya tidak perlu menolak Pancasila (dan UUD 1945) karena ia sudah sangat Islami. Sifat Islami keduanya didasarkan pada 2 pertimbangan yakni: Pertama, nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran agama Islam, dan Kedua, fungsinya sebagai noktah-noktah kesepakatan antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan sosial-politik bersama.

Kedudukan serta fungsi Pancasila dan UUD 1945 bagi umat Islam Indonesia menurut Cak Nur, sekalipun tidak dapat disamakan, sebenarnya dapat dianalogkan dengan kedudukan serta fungsi dokumen politik pertama dalam sejarah Islam (yang kini dikenal sebagai Piagam Madinah/ mitsaq al-madinah) pada masa-masa awal setelah hijrah Nabi Muhammad SAW. Jadi, segera setelah Nabi SAW tiba di Yastrib (Madinah) pada 622, beliau membuat perjanjian antara orang-orang Muhajirin (orang Islam Mekkah yang ikut hijrah bersama Nabi), Ansar (penduduk Muslim Madinah) dan orang-orang Yahudi. Perjanjian inilah yang disebut dengan Piagam Madinah.

Pancasila melalui slogannya Bhineka Tuggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua), mengandung makna bahwa meskipun masyarakat Indonesia sangatlah plural baik dari segi agama, suku bangsa, bahasa dan sebagainya tetapi mereka diikat dan disatukan oleh sebuah landasan hidup bersama (common platform) yakni Pancasila. Secara serupa, Piagam Madinah juga merupakan rumusan tentang prinsip-prinsip kesepakatan antara kaum Muslim Madinah dibawah pimpinan Nabi SAW dengan berbagai kelompok non-Muslim di kota itu untuk membangun tatanan sosial-politik bersama.

Di dalam Piagam Madinah, salah satunya, dinyatakan tentang hak kewarganegaraan dan partisipiasi kaum non-Muslim di kota Madinah yang dipimpin Nabi SAW. Kaum Yahudi yang semula merupakan himpunan suku-suku juga diangkat statusnya oleh Piagam itu menjadi warga negara yang sah. Jadi, dengan Piagam itu Nabi ingin memproklamirkan bahwa semua warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, adalah satu bangsa atau umma wahida dan bahwa mereka semua memiliki hak dan kewajiban yang sama. Memang, setelah terjadinya peristiwa-peristiwa pengkhianatan Yahudi tersebut, resminya Piagam Madinah itu sudah tidak berlaku lagi, namun prinsip-prinsipnya sebenarnya tetap sah dan diikuti ditempat lain. Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa ketika orang-orang Arab melakukan gerakan-gerakan pembebasan ke daerah-daerah luar Arabia, dan mendapatkan masyarakat yang plural/majemuk, maka yang pertama kali mereka lakukan adalah mengatur hubungan antar kelompok itu dengan mencontoh praktek dan kebijaksanaan Nabi sewaktu di Madinah dahulu.
Idealisasi pendidikan kita tertuang dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Maka jika hal di atas benar-benar ingin menjadi sesuatu yang diwujudkan dalam bentuk nyata, sudah barang tentu praktisi pendidikan harus melakukan semacam reorientasi dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan kita telah terlanjur (untuk tidak dikatakan terperosok) pada orientasi perolehan target hasil akhir secara instan yang hanya diukur dengan angka-angka mati. Reorientasi harus diarahkan pada idealisasi pendidikan kita yang berorientasi pada proses dan diukur dengan terciptanya pembentukan karakter dan perilaku peserta didik.
Demikian pula terjadi pada guru yang memang diakui atau tidak, profesi guru adalah profesi yang seringkali tidak diukur dengan untung rugi, tetapi profesi yang lebih berpijak kepada sebuah pepatah melayu kuno, yaitu : “Jadilah orang yang memberi sebanyak-banyaknya, bukan orang yang menerima sebanyak-banyaknya.”
Kalimat “ menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab” adalah sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional dengan mengedepankan penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pada gilirannya, peserta didik diharapkan akan pemegang tongkat estafeta amanah untuk pembangunan bangsa ke depan yang “terlanjur” tidak hanya dimiliki dan dikuasai oleh umat Islam saja.

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis sampai pada kesimpulan bahwa, sikap umat Islam Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan. Dari sudut pandang itu pula kita harus menilai kesungguhan para founding fathers dan para tokoh Islam yang selalu menegaskan bahwa antara Islam serta kaum Muslim Indonesia dan Pancasila serta UUD 1945 tidak ada masalah. Kesulitan-kesulitan sosial-politik yang datang dari kalangan Muslim, tidak harus selalu dilihat dalam kerangka hubungannya dengan Pancasila dan UUD 1945, melainkan sebaiknya juga dilihat kaitan-kaitan nisbinya saja serta dicarikan pemecahannya secara pragmatis. Misalnya, dipertimbangkan bahwa kesulitan serius datang dari kalangan Islam karena memang sebagian besar rakyat beragama Islam, dan kesulitan yang sama atau sebanding juga datang dari kalangan non-Muslim. Kecenderungan untuk secara gampang mencari keterangan atas suatu kesulitan sosial-politik yang datang dari suatu kelompok dengan stereotipikal mengkaitkannya kepada hal-hal yang prinsipiil seperti Pancasila dan UUD 1945 adalah satu petunjuk kemampuan berpikir yang sederhana dan ketidakberanian menghadapi kenyataan persoalan. Atau, mungkin juga hal itu dilakukan karena mengharap keuntungan sosial-politik dengan mudah, akan tetapi, dengan akibat bahwa kerusakan negara menjadi semakin parah dan persoalan yang sebenarnya tidak terselesaikan.
Dengan adanya hal tersebut, sudah semestinya kemajemukan bangsa Indonesia harus disikapi secara arif dengan mengedepankan nilai-nilai persatuan dengan tidak mengedepankan ego atas nama etnis, ras dan agama masing-masing. Inilah yang mesti dijadikan sebagai salah satu pioneer dalam pendidikan di Indonesia supaya bangsa Indonesia dapat kembali bangkit dari keterpurukan dan krisis multidimensi.

Penulis adalah Pecinta "Demokrasi dan Alam Indonesia"
Pengampu Mata Diklat PAI di SMK Negeri 1 Tonjong – Brebes – Jawa Tengah

DAFTAR BACAAN

1. Nurcholish Madjid, (2003), Islam and the State in Indonesia, dalam Ihsan Ali Fauzi (ed), 2003, The True Face of Islam, 2003, Jakarta: Voice Center Indonesia

2. Nurcholish Madjid,(1991), Agama dan Negara dalam Islam, seri KKA No. 55/Tahun V/1991

3. Nurcholish Madjid, Mohamad Roem, (1997), Tidak Ada Negara Islam, Surat-surat politik Nurcholish Madjid-Muhamad Roem, Jakarta: Penerbit Djambatan

4. A Syafii Maarif, (2006), Tragedi Pancasila, dalam harian Republika, Edisi Selasa, 30 Mei 2006.
5. Darji Darmodiharjo, (1995), Orientasi Singkat Pancasila, dalam Santiaji Pancasila (Suatu Tinjauan Filosofis, Historis dan Yuridis Kontitusional), Ed.Darji Darmodiharjo, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

6. Kaelan, MS., (2004), Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta,

7. AG. Pringgodigdo, (1995), Perjuangan Bangsa Indonesia Menegakkan Pancasila dalam Masa Pendudukan Jepang, dalam Santiaji Pancasila, Ed. Darji Darmodiharjo, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

8. Pramono U. Tanthowi, (2005), Kebangkitan Politik Kaum Santri (Islam dan Demokratisasi di Indonesia 1990-2000), PSAP, Jakarta