16 Mei 2009

Konsepsi Pendidikan Islam (Al Ghazaly)

KONSEPSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM KHAZANAH PENDIDIK MUSLIM
( Konsepsi Dasar Pendidikan Islam menurut Al Ghazaly )

By : (Al Faqier) Muhammad Subkhan*




Muqaddimah

Pendidikan memang diakui mempunyai kedudukan sendiri dalam konteks psikologis dan soiologis manusia. Dengan adanya pendidikan, seseorang bisa tahu apa yang sebelumnya tidak tahu. Dengan pendidikan pula, tatanan suatu masyarakat akan menjadi baik karena masyarakat tahu apa yang harus mereka kerjakan untuk dirinya sendiri dan orang lain.
Melalui sumber ajaran Islam yang utama, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah banyak sekali menyinggung masalah pendidikan, maka Islam menghimbau kepada ummatnya untuk mengembangkan potensi fitrah yang ada pada manusia melalui pendidikan.
Melalui konsep fitrah dalam Islam inilah yang senantiasa akan menjadi ketentuan normative dalam mengembangkan kualias manusia melalui pendidikan. (Tobroni dan Syamsul Arifin, 1994 : 160). Hal ini pula selaras dengan konsep Islam yang mengakui bahwa manusia merupakan Animal Educandum (makhluk yang dapat dididik) sekaligus Animal Educabile (makhluk yang dapat mendidik) sebagaimana tersurat dalam Al Qur’an



Artinya : Dan Dia telah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat … (QS.2 : 31)


Dalam rangka pengembangan potensi fitrah, naluri keagamaan yang merupakan modal dasar beragama, maka dibutuhkan suatu kegiatan dan atau usaha berupa arahan, bimbingan dan asuhan dari faktor eksternal yang disebut dengan pendidikan, baik dalam keluarga, sekolah dan masyarakat dimana individu hidup dan berinteraksi. Maka pendidikan dilaksanakan sebagai usaha membina atau mengembangkan pribadi manusia dari aspek-aspek ruhaniah dan jasmaniah yang juga berlangsung secara bertahap.
Menyadari tentang hakekat pendidikan itu sendiri (dalam perspektif Islam), yang oleh aliran behaviorisme (sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Saleh) ditentang melalui “Teori Tabula Rasa”, dimana manusia ketika dilahirkan tidak memiliki kecenderungan baik maupun jahat, lingkunganlah yang memainkan peranan dalam membentuk kepribadiannya. (Abdurrahman Saleh, 1990 : 61)
Padahal jika kita perhatikan tentang konsep fitrah manusia, dimana semua manusia pada saat kelahirannya dalam keadaan suci (karena telah bersaksi bahwa Allah SWT sebagai Tuhannya, ketika Ia meniupkan ruh ke dalam rahim ibu). Ruh yang berasal dari Allah SWT itulah sebenarnya hakekat manusia. Maka manusia terdiri dari dua substansi yaitu materi yang berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Maka hakekat manusia itu adalah ruh, sedang jasadnya hanyalah alat yang digunakan oleh ruh untuk menjalani




kehidupan material di alam material yang bersifat sekunder dan ruh adalah primer. (Zuhairini, 1992 :77)

Pendidikan Islam

Adalah suatu hal yang naïf jika kita ingin mengetahui pendidikan Islam tanpa tahu dan memahami Islam sendiri. Islam berarti tunduk kepada Allah SWT dan berserah diri secara total serta menyerahkan segala urusan kepada-Nya, yakni dengan menegakkan hubungan antara manusia dengan Tuhannya atas dasar prinsip “taat dan patuh”.
Ada kalanya orang merasa bahwa di langit atau di bumi tidak ada yang berkuasa atas dirinya, sehingga ia merasa bebas untuk berbuat sesuatu yang dikehendakinya tanpa ada yang dapat menghalanginya, karena ia tidak merasa terikat oleh apapun.
Tetapi jika ia berfikir bagaimana ia diciptakan, bagaimana ia tumbuh dan berkembang, bagaimana ia dapat membangun sutau interaksi social, bagaimana ia dapat mengalami kesedihan dan kegembiraan, ia akan mengetahui bahwa ternyata ada suatu kekuatan yang berkuasa atas dirinya dimana ia bergantung atas kehendak-Nya. Maka pada gilirannya, ia akan berfikir bahwa ia harus menjalin hubungan mesra dengan Pemilik kekuatan tersebut yang telah menciptakan, memelihara dan melimpahkan rahmat-Nya pada dirinya. Karena itulah, maka tidak ada tempat bagi manusia untuk merasa sombong dan membangkang perintah-Nya.
Adalah keliru jika orang mengira bahwa Islam itu adalah nama khusus bagi ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW 15 abad silam. Islam adalah semua risalah Ilahiyah yang memberikan tuntunan kepada umat manusia sejak penciptaannya hingga sekarang. Islam sebagai agama, kemudian menjelma sebagai suatu kekuatan yang memberi “hidup” bagi suatu peradaban raksasa yang salah satu buahnya adalah pendidikan. Islam melalui ajarannya yang bersumber langsung dari Allah SWT memberikan ruang gerak yang sangat luas, lentur dilambari dengan semangat demokrasi yang bersifat universal bagi penganutnya. Islam menjadi ahli waris bagi warisan intelektual dari berbagai peradaban-peradaban besar sebelumnya. Ia menjadi “payung” bagi transit dan berteduhnya tradisi intelektual dimana mereka menemui hidup baru.
Jadi pendidikan Islam ini bukanlah wujud dan hadir secara kebetulan di tengah-tengah orang Islam, tetapi dihasilkan dalam bentuk seperti ia dihasilkan oleh orang-orang berilmu yang membawa perwujudan bernama pendidikan ini. Maka Ilmu dalam pandangan Islam adalah suci, sebab pada akhirnya semua ilmu bertalian dengan berbagai aspek dari sifat-sifat Tuhan. (Hasan Langgulung, 1988 : 29)
Pendidikan Islam memiliki jiwa, dan pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam itu sendiri, sebagaimana tujuan Rasulullah SAW lahir di tengah-tengah umat Jahiliyah untuk menyempurnakan akhlak mereka. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan sebenarnya. Tetapi dengan adanya statement ini bukan berarti pendidikan Islam menafikan pendidikan jasmani atau akal atau ilmu dari segi-segi praktis lainnya. Islam justru menghendaki umatnya kuat secara jasmani, akal, ilmu dan membutuhkan pula budi pekerti, perasaan, kemauan, cita-cita dan kepribadian. (Mohd. Athiyah Al Abrasy, 1970 :1)





Selaras dengan hal tersebut di atas, bahwa pendidikan Islam memperhatikan ketiga unsur manusia, yaitu unsur tubuh (jasmani), hati nurani (qalbu) dan akal yang sama diperhatikan dan dikembangkan. Dengan jalan inilah akan terbentuk manusia yang seimbang dan utuh serta menjadi landasan pembangunan nasional, yakni pembangunan manusia seutuhnya. (Muhaimin, 1991 : 20)
Dengan berbagai macam konsep di atas itulah, maka pendidikan Islam adalah pendidikan yang falsafah, dasar, tujuan dan prinsip-prinsip dalam melaksanakan pendidikannya atas nilai-nilai dasar Islam yang terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Karena bagaimanapun umat Islam telah mengakui bahwa Al Qur’an dan As Sunnah merupakan sumber utama ajaran Islam termasuk didalamnya adalah pendidikan. Di dalam sebuah hadits pernah disebutkan :





Artinya : Telah aku tinggalkan untuk kamu dua perkara, yang jika kamu berpegang teguh pada keduanya, kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan sunnah rasul-Nya


Namun demikian, di dalam kedua sumber tersebut masih mengandung prinsip-prinsip yang pokok saja, sehingga dalam pendidikan Islam tetap terbukanya unsur-unsur ijtihady, dengan tetap berpegang pada Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana hukum-hukum fiqh. Hal ini mesti dilakukan, karena perkembangan zaman dan kebudayaan serta peraban manusia yang dinamis dengan background (latar belakang) sosio cultural, geography, anthropology dan pemahaman-pemahaman lain yang satu sama lain berbeda.
Karenanya banyak para pendidik-pendidik muslim kemudian melakukan Ijtihad yang kemudian diterjemahkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh generasi berkutnya tentunya dengan perspektif yang dimilikinya.


Implikasi Fitrah dalam Proses Pendidikan Islam

Ada baiknya kita telaah firman Allah SWT dalam Surat Al A’raaf : 179, yaitu :









Artinya : Dan sesunggunya kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya utnuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS.7 : 179)



Ayat tersebut mempunyai tiga implikasi hakekat manusia, yaitu :

1. manusia mempunyai berbagai jenis potensi (untuk memahami, melihat dan mendengarkan) yang tidak diberikan kepada binatang
2. apabila manusia tidak mempergunakan potensi tersebut, maka ia akan kehilangan sifat kemanusiaannya (insaniyyah) sehingga ia layak disebut hewan atau binatang (dalam arti sifat bukan kesamaan dalam substansinya)
3. perubahan sifat mulia kea rah sifat hina tersebut dikarenakan keteledoran manusia, yakni sifat ghulf (lalai).

Bagaimana manusia mengenal dirinya ? pertanyaan ini begitu sederhana, banyak literateur yang menyebutkan bahwa manusia sama dengan hewan. Kalau manusia bukan hewan, lalu siapa dan apa manusia itu sebenarnya ?
Allah SWT mengingatkan kepada manusia agar mengenal dirinya sendiri ;
Firman Allah SWT surat Adz Dzariyat : 21 ;



Artinya : “dan (juga) kepada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?”

Dalam surat Fushshilat : 52 ;



Artinya : “… siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang selalu berada dalam penyimpangan yang jauh?”

Dengan mengenal dirinya sendiri, manusia dapat mengetahui substansinya. Pengetahuan substansi manusia dapat dilihat dari empat unsur pokok potensi ruhaniahnya, yaitu ruh, qolb, aqlu dan nafsu. (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993 : 33)


Sekilas tentang Al Ghazaly ( Hidup dan Perkembangan Alam Pikirannya )

Mengutip dari Ahmad Hanafi, (dalam Pengantar Filsafat Islam, 1990) Ia (Al Ghazaly) adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al Ghazaly, bergelar Hujjatul Islam, lahir tahun 450 di Tus, suatu kota kecil di Khurasan Iran. Ayah Al Ghazaly, adalah seorang tasawuf yang shaleh dan wafat ketika Al Ghazaly beserta saudaranya masih kecil. Namun sebelum wafatnya, ayah Al Ghazaly telah menitipkannya kepada salah seorang tasawwuf pula untuk mendapatkan bimbingan dan pemeliharaan dalam hidupnya.
Al Ghazaly pertama kali belajar agama di kota Tus, kemudian Jurjan dan akhirnya berguru pada Imam al Juwaini di Naisabur. Kemudian ia berkunjung kepada Nidzam al Mulk di kota Mu’askar, dan dari padanya ia mendapat kehormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu selama enam tahun lamanya. Tahun 1090 M/483 H, ia diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamah Baghdad, dan kecemerlangan akal pikirannya mulai memancarkan sinarnya ketika ia selain mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan bathiniyah, Ismailiyah, gologan filsafat dan lain-lain.

Selama waktu itu, ia tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya, sehingga ia menderita penyakit yang tidak dapat diobati secara lahiriyah (fisioterapi). Ia pergi ke Damsyik, dan di kota ini ia merenung, membaca dan menulis selama kurang lebih dua tahun lamanya, dengan tasawwuf sebagai jalan hidupnya. Kemudian ia pindah ke Palestina, dan disini pun ia tetap merenung, membaca dan menulis dengan mengambil tempat di Masjid Bait al Maqdis. Tergerak hatinya untuk ia pergi melaksanakan ibadah haji di Makkah, dan setelahnya ia kembali ke kota kelahirannya dan di sana ia tetap sama seperti biasa, yaitu berkhalwat dan beribadah. Ia jalani proses yang semacam itu hingga sepuluh tahun lamanya, dan dalam masa ini ia menuliskan buku-bukunya yang terkenal di dunia, antara lain Ihya’ ‘Ulumuddin.
Karena desakan penguasa pada masanya, Al Ghazaly mau kembali mengajar di sekolah Nidzamiyah di Naisabur pada tahun 499 H. Selama dua tahun ia mengajar, ia pun akhirnya kembali ke Tus, dimana ia kemudian mendirikan sebuah sekolah untuk para fuqaha dan sebuah biara untuk para ahli tasawwuf. Di kota itu pulalah ia wafat pada usia 54 tahun dalam tahun 1111 M / 505 H.
Al Ghazaly adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya, dan memiliki nafas panjang dalam karangan-karangannya. Pengaruh Al Ghazaly di kalangan kaum muslimin besar sekali, sehingga menurut pandangan orang-orang ahli ketimuran, agama Islam yang digambarkan oleh kebanyakan kaum muslimin berpangkal pada konsepsi Al Ghazaly. Pikiran-pikiran Al Ghazaly telah mengalami perkembangan sepanjang hidupnya dan penuh kegoncangan batin, sehingga sukar diketahui kesatuan dan kejelasan corak pemikirannya, seperti terlihat dari sikapnya terhadap filosof-filosof dan terhadap aliran-aliran aqidah pada masa lampau. Evolusi pemikiran Al Ghazaly banyak dan dapat disimak secara gambling pada kitabnya, Al Munqidlu min adl Dlalal (penyelamat dari kesesatan).

Konsepsi Dasar dari Unsur Pokok Pendidikan Islam versi Al Ghazaly
Dawam Raharjo, dalam Insan Kamil, Konsep Manusia menurut Islam, 1987, menyatakan pandangan Al Ghazaly tentang empat unsur pokok pada manusia, yaitu :
1. Ruh
Ruh menurut Al Ghazaly memiliki dua pengertian, yaitu :
a. Ruh yang bersifat jasmani
Yaitu dzat yang amat halus bersumber dari ruangan hati (jantung), yang menjadi pusat semua urat (pembuluh darah), yang mampu menjadikan manusia hidup dan bergerak, serta merasakan berbagai macam rasa. Ruh inilah yang biasa disebut sebagai nafs (jiwa).
b. Ruh yang bersifat ruhani
Ruh ini memiliki ciri halus dan gaib, yang dengan ruh ini manusia dapat mengenal dirinya sendiri, mengenal Tuhannya dan mampu mencapai ilmu bermacam-macam. Dengan Ruh ini pula seorang manusia dapat berperikemanusiaan, berakhlak yang baik yang berbeda dengan binatang. (sebagai catatan, hakekat ruh tidak dapat diketahui secara pasti oleh manusia, serta tidak dapat di ukur dan di analisa. Ruh tetap hidup walaupun jasad telah hancur)

2. Qolb
Qolb dalam pandangan Al Ghazaly, memiliki dua arti, yaitu arti fisik dan metafisik.
a. Arti Fisik
Al Qolb yaitu segumpal daging yang berbentuk bulat memanjang yang terletak di pinggir dada sebelah kiri. Al Qolb bertugas mengatur peredaran darah pada seluruh tubuh, yang didalamnya terdapat rongga-rongga yang mengandung darah hitam, sebagai sumber ruh jasmani.

b. Arti Metafisik
Al Qolb adalah batin tempat pikiran yang sangat rahasia dan murni, yang merupakan latifah (hal yang halus) manusia selama ia berada dalam tubuh. Dengan Al Qolb ini, manusia dapat menangkap rasa, mengetahui dan mengenal sesuatu dan pada akhirnya memperoleh ilmu mukasyafah (ilmu yang diperoleh melalui ilham Allah SWT)

3. Aqlu (akal)

Al Ghazaly membagi akal dengan empat macam, yaitu akal hayulani (bil quwwah) yang mempunyai kesediaan untuk menerima hakikat sesuatu yang bebas dari materi, akal naluri (bil malakah) yang berfungsi mengetahui sejumlah ilmu dasar apriori, akal aktif (bil fi’li) yang berfungsi mengetahui pengetahuan praktis, sehingga dapat menampilkan bentuk-bentuk rasional, serta akal mustafad yang mampu mengetahui hal-hal yang masuk akal.
Sedangkan dalam pandangan beliau pula, akal mempunyai empat pengertian, yaitu :
a. Sebutan yang membedakan manusia dengan hewan
b. Ilmu yang lahir di saat anak telah mencapai usia aqil baligh, sehingga dapat mengetahui mana yang baik untuk diamalkan dan mana yang buruk untuk ditinggalkan
c. Ilmu-ilmu yang didapat dari pengalaman, sehingga dapat dikatakan “siapa yang banyak pengalaman, maka ia orang yang berakal.”
d. Kekuatan yang dapat menghentikan dorongan naluriah untuk menerawang jauh ke angkasa, mengekang, dan menundukkan syahwat yang selalu menginginkan kenikmatan

4. Nafsu

Al Ghazaly membagi nafsu dengan tiga bagian, yaitu :
a. Nafsu tingkatan utama, meliputi Nafsu Mardliyah (cenderung melaksanakan kebaikan), Nafsu Rodliyah (cenderung melaksanakan kebaikan ikhlas tanpa pamrih), Nafsu Muthma’innah (cenderung tenang dalam lindungan-Nya), Nafsu Kamilah (mengarah pada tingkat kesempurnaan), dan Nafsu Mulhamah (nafsu yang memiliki keutamaan dalam bertindak karena ia sadar bahwa ia adalah wakil Allah di bumi, menjauhi segala perbuatan yang dapat merugikan orang lain dan juga dirinya sendiri)
b. Nafsu Lawwamah, yaitu nafsu yang mencerminkan sifat-sifat insaniyyah (kemanusiaan / humanism)
c. Nafsu Ammarah, nafsu yang mencerminkan sifat-sifat hayawan dan bahamiyah (kehewanan dan kebinatangan)










Kesimpulan

Dari paparan tentang pandangan Al Ghazaly terhadap Konsepsi Dasar Pendidikan Islam di atas, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut :

1. Pendidikan diarahkan agar manusia dapat melakukan kewajiban kepada Tuhannya
2. Pendidikan diarahkan agar manusia dapat berkomunikasi dan berinteraksi social antar sesamanya
3. Pendidikan diarahkan agar manusia dapat berpegang pada kaidah dan pedoman dasarnya dengan kuat

Potensi yang dimiliki manusia mempunyai kecenderungan tertentu. Oleh karenanya, menurut hemat penulis, bahwa tugas pendidikan Islam adalah mengembangkan dan melestarikan serta menyempurnakan kecenderungan-kecenderungan negative atau jahat yang melakat pada diri manusia secara kodrati, untuk kemudian dialihkan dan dikendalikan menuju kecenderungan-kecenderungan yang baik.

Wallahu’alam bishshawab

-----------------------------------------------
• Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana STAIN Cirebon TA.2008-2009
• Guru PAI pada SMK Negeri 1 Tonjong Brebes Jawa Tengah


REFFERENTIE
Daftar Bacaan



Abdullah. Abdurrahman Saleh, Educational Theory a Qur’anic Outlook, Makkah, Ummul Quro, 1990
Al Abrasyi. M. Athiyah, Diterjemahkan Butami A.Gani, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1984.
Hanafi. Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1990.
Langgulung. Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta, Al Husna, 1988.
Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam Sebuah Telaah Komponen Dasar Kurikulum, Solo, Ramadhani, 1991.
Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofi dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung, Trigenda Karya, 1993.
Raharjo. Dawam, Insan Kamil Konsep Manusia menurut Islam, Jakarta, Temprit, 1987
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, Yogyakarta, Sipress, 1994.
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara-Depag RI, 1992.

Tidak ada komentar: