03 Desember 2011

ASAL BUMIAYU.. (Antara Legenda dan Mitos)

Oleh : Muhammad Subkhan*

Muqaddimah

Permohonan maaf penulis terlebih dahulu penulis haturkan kepada publik, karena tulisan di bawah ini cerita rakyat dari mulut ke mulut yang tentunya memiliki banyak versi serta tidak dijumpai sumber yang dianggap paling autentik yang dapat dijadikan acuan secara pasti. Namun setidaknya tulisan ini dapat menjadi khazanah bagi masyarakat Bumiayu dan sekitarnya untuk dapat diketahui bagaimana sebuah legenda maupun mitos yang selama ini hanya menjadi buah bibir tanpa memiliki nilai yang berarti.

Oleh karenanya, penulis tidak mencantumkan kata “sejarah”, untuk menghindari adanya satu anggapan upaya pemelintiran kata “sejarah” (yang menurut para sesepuh dan tokoh, Bumiayu dan dan empat kecamatan lain disekitarnya, yakni ; Paguyangan, Bantarkawung, Sirampog dan Tonjong tidak memiliki hubungan historis dengan sejarah penamaan Brebes sebagai induk pemerintahannya).

Penulis sangat merasa berterimakasih jika ada diantara pembaca dapat memberikan informasi (terutama berkaitan erat dengan nama ; Balaikambang, Kedatuan, Linggapura, Pesanggarahan, Balapusuh, Rajawetan, Margasari, Balapulang, dan Slawi) yang masih belum dapat tercover dalam tulisan ini. Kritik dan saran selalu penulis harapkan, terutama bagi yang memiliki ikatan kultural dengan Kota Bumiayu dan sekitarnya.

Perjalanan dari Mataram

Diawali dari mangkatnya Raden Mas Rangsang yang bergelar Panembahan Agung Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman atau yang masyhur disebut dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma pada tahun 1645, tepat enam tahun setelah berhasil menaklukan Blambangan tahun 1939. Sultan Agung telah berhasil melakukan ekspansi ke deluruh daerah di Jawa dan Madura (kecuali Banten dan Batavia)[1] dan beberapa daerah luar Pulau Jawa, seperti ; Palembang, Jambi dan Banjarmasin. Mangkatnya Sultan Agung membuat sang putra mahkota Pangeran Arum didaulat untuk memimpin Mataram, dengan gelar Sunan Amangkurat I. Nama aslinya adalah '''Raden Mas Sayidin''', putra [Sultan Agung]. Ibunya bergelar Ratu Wetan, yaitu putri Tumenggung Upasanta Bupati [Batang] (keturunan [Ki Juru Martani]). Ketika menjabat [Adipati Anom] ia bergelar '''Pangeran Arya Prabu Adi Mataram'''. Amangkurat I memiliki dua orang permaisuri. Putri [Pangeran Pekik] dari [Surabaya] menjadi Ratu Kulon yang melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi [Amangkurat II]. Sedangkan putri keluarga Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas Drajat, kelak menjadi [Pakubuwana I].

Sejak kepemimpinannya, wilayah Mataram berangsur-angsur menyempit karena aneksasi yang dilakukan oleh Belanda. Perpecahan tersebut disamping atas peran Belanda, juga akibat adanya kegusaran masyarakat atas ekspansi yang dilakukan oleh Mataram yang menjelang mangkatnya Sultan Agung. Pemberontakan-pemberontakan terhadap kekuasaan raja banyak dilakukan, antara lain dari ; keturunan Sunan Tembayat, keturunan Kadilangu, Wangsa Kajoran, keturunan Panembahan Rama dan Panembahan Giri.

Atas gencarnya aksi pemberontakan tersebut, mengakibatkan posisi Sunan Amangkurat I terpojok (yang dalam versi ini diindikasikan menjalin kerjasama dengan VOC - Verenidge Indische Oast Compagnie, sebuah organisasi monopoli perdagangan milik Belanda di Batavia) sehingga ia berinisiatif untuk menyelamatkan diri dan hendak meminta bala bantuan kepada Gubernur Jenderal De Cock.

Penamaan Ajibarang

Perjalanan Sunan Amangkurat I dikawal para prajurit keratin dengan mengambil route perjalanan Kedu-Banyumas-Tegal untuk kemudian singgah di Kadipaten Carbon atau Caruban atau Cirebon. Singkat cerita, sesampainya di suatu daerah barat Banyumas, Rombongan Gusti Sunan kehabisan perbekalan. Kemasygulannya bertambah setelah ia harus menerima kenyataan bahwa ia harus kehilangan puluhan prajuritnya yang mati akibat jarak tempuh perjalanan secara infanteri dengan medan yang berat dan sangat jauh.

Di daerah tersebut, abdi setia Sunan Amangkurat I, bernama Kyai Pancurawis yang juga bertindak sebagai sais kereta kencananya, kemudian berusaha menjual barang-barang bawaan yang masih tersisa demi untuk kemudian ditukar atau dibelikan kembali dengan bahan-bahan makanan pokok sebagai perbekalan untuk meneruskan perjalanan yang masih jauh. Usaha Kyai Pancurawis beserta para Ponggawanya ternyata berhasil. Baik barang yang memiliki nilai jual tinggi ataupun rendah semuanya terjual dan tertukar habis sehingga berhasil mendapatkan perbekalan yang dikehendaki.

Bukan main senangnya hati Gusti Sunan melihat usaha abdi-abdinya. Sebagai wujud rasa syukurnya, ia menamakan daerah tersebut dengan AJIBARANG, yang berarti barang apapun yang dijual didaerah tersebut “ana ajine” atau ada harganya.

Legenda Paguyangan

Perjalanan kembali dilanjutkan. Kali ini kembali Gusti Sunan harus menelan pil pahit. Betapa tidak, kuda penarik kereta kencananya mendadak jatuh tersungkur terkulai tak berdaya. Berbagai cara ia lakukan untuk dapat mengembalikan kondisi kudanya. Hal tersebut terutama dilakukan oleh Kyai Pancurawis, dimana Kyai Pancurawis terkenal sebagai abdi keraton yang memiliki daya linuwih yang cukup tinggi. Di tengah suasana keprihatinan itu, Gusti Sunan beserta rombongannya beristirahat sembari menunggu hasil laku tapa yang dilakukan oleh Kyai Pancurawis di sebuah tempat petilasan Senopati Linduaji (yang dulu pernah menjadi spionase ayahandanya, Sultan Agung). Tempat tersebut sekarang dikenal dengan sebutan Curug Pereng dekat mata air Kali Pemali Desa Winduaji Kecamatan Paguyangan. Sementara tempat peristirahatan Sunan Amangkurat I di kawasan tersebut sekarang dikenal dengan nama Desa Pesanggahan (yang berarti tempat singgah ; sanggrah).

Dari petunjuk yang dihasilkan dari laku tapa tersebut, Kyai Pancurawis mendapatkan perintah supaya ia mengambil air yang berasal dari sebuah sendang (danau) di lereng Gunung Slamet yang dihuni oleh makhluk air jejaden (jejadian) jelmaan ponggawa Nyai Roro kidul. Segeralah Kyai Pancurawis terhenyak dari laku semedinya, untuk kemudian mencari tempat yang dimaksud. Cukup lama ia mencarinya, akhirnya ditemukanlah tempat yang ia tuju. Sebuah sendang di tempat yang sangat sejuk yang sekarang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan TELAGA RANJENG, dengan jutaan ikan lele sebagai penghuninya.[2]

Kyai Pancurawis menerima petunjuk, jika air yang berasal dari sendang tersebut kemudian dapat disiramkan ke sekujur tubuh kuda penarik kereta kencana Gusti Kanjeng Sunan Amangkurat I yang dalam kondisi sekarat. Hasilnya ternyata sungguh mengejutkan, setelah sekujur tubuh kuda itu basah terkena siraman air Telaga Ranjeng, secara berangsur-angsur namun dalam waktu yang cukup singkat, kuda itu dapat pulih seperti sedia kala. Atas keberhasilan usaha Sang Sais, Gusti Sunan berujar, “Tempat ini aku namakan PAGUYANGAN, dan aku yakin kalau tempat ini tidak akan kekurangan air sampai kapanpun sebagai sumber kehidupan masyarakatnya kelak.”

Di tengah kegembiraan sumringah wajah Gusti Sunan, terdengar helaan berat nafas Kyai Pancurawis yang masih berfikir tentang adanya pantangan bagi kuda kesayangannya itu. Dalam petunjuk yang ia terima, jika kuda itu telah pulih, maka hal yang tidak boleh ia lakukan adalah menginjak bambu kering. Jika pantangan itu terlanggar, maka tak ayal lagi kematian yang akan menimpa kuda tersebut.

Tibalah di suatu tempat dimana kejadian yang tidak diinginkan kembali terjadi. Dalam perjalanan berikutnya, secara tiba-tiba kereta kencana terangkat ke atas sampai hampir menjatuhkan Sunan Amangkurat I. Seekor ular besar tampak berada di depan kereta kencana. Sontak saja, kuda penarik mengangkat kakinya tinggi-tinggi. Dengan tenang, Kyai Pancurawis mencoba menenangkan gelisah dan ketakutan si kuda. Diambilnyalah sebuah bambu kering yang digunakan untuk mengusir ular yang menghadangnya. Tampak si ular tak kuasa menghadapi kekuatan batin Kyai Pancurawis, sehingga ia terpaksa harus meninggalkan mangsanya. Kepergian ular itu membuat tenang perasaan seluruh rombongan tak terkecuali Kyai Pancurawis dan kuda kesayangannya. Dibuangnyalah bambu kuning pengusir ular tadi, namun tak disangka dan tak dinyana, Kyai Pancurawis tak menyadari jika kudanya menginjak bambu kuning yang ia buang di hadapan kereta kencana Gusti Sunan sehingga mengeluarkan bunyi “kre..tek !”. (tempat tersebut kemudian dinamakan Desa KRETEK).

Suara angin menderu dan membahana seolah memecah keheningan rombongan Sunan Amangkurat I. Ia dan rombongannya merasa seolah-olah ada yang sedang memburunya dengan kekuatan yang sangat dahsyat. Lari secepat kilat adalah pilihan terbaik yang dapat dilakukan rombongan saat itu, sehingga tempat berlarinya rombongan tersebut oleh masyarakat sekarang dikenal dengan nama PAGOJENGAN, berasal dari kata “nggojeng” yang berarti ; berlari cepat.

Bumiayu ; Mitos dan Legenda Nyai Rantansari

Sunan Amangkurat I dan wadya balanya memasuki suatu wilayah, dimana ia dan rombongannya dihadapkan pada suatu kejadian yang amat serius dan sangat membingungkan. Hal ini terjadi setelah rombongan masuk sebuah desa bernama “DAHA”.[3] Tanpa sebab musabab yang jelas, mendadak kuda penarik kereta kencana yang tidak lama telah melewati masa kritis, tiba-tiba terkulai lemas dan mati.

Bukan main sedihnya hati Gusti Sunan, terlebih Kyai Pancurawis yang merasa telah menyatu dengan kuda tersebut. Beberapa prajuritnya juga hilang tak berbekas seperti lenyap ditelan bumi. Dengan penuh rasa haru, dikuburkannyalah kuda itu di suatu tempat yang sekarang bernama KARANGJATI. [4] Agak lama Gusti Sunan dan rombongan berada di tempat tersebut. Ia telah mengalami beberapa peristiwa yang mengguncangkan hatinya. Ia sadar, jika ia telah lalai dalam menjalankan amanat sebagai Sultan Mataram sesuai dengan pesan dan petuah ayahanda dan kerabat keluarga kasultanan Mataram. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Allah SWT dan prajurit-prajurit yang masih setia kepadanya.

Begitu mendalam pula kesedihan yang dialami Kyai Pancurawis, yang kemudian ia meminta izin kepada Sunan Amangkurat I untuk diperkenankan tetap tinggal di Karangjati mengurus kuburan kuda kesayangannya sampai ajal menjemputnya.[5] Walhasil dengan tidak ikut sertanya Kyai Pancurawis menemaninya melanjutkan perjalanan, maka Gusti Sunan pun menjadi tidak memiliki semangat. Satu-satunya harapan yang sekarang ia miliki hanyalah bertemu dengan seseorang yang dapat mengobati kegundahan hatinya dan meluruskan langkah kehidupannya. Sesaat ia memandang sekeliling, tampak di pelupuk matanya Gunung Slamet yang menjulang tinggi ke angkasa, didampingi pebukitan yang setia menemani keperkasaannya. Sementara lerengnya, terhampar area pesawahan yang merupakan panorama keindahan alam sangat luar biasa. Sebuah wilayah yang masih dalam kekuasaan pemerintahannya di Mataram dengan masyarakat yang ramah dan religius, begitu pikirnya. Decak kagumnya, mengundang hasratnya untuk memberikan nama wilayah ini dengan nama BUMIAYU.

Di Bumiayu inilah Sunan Amangkurat kemudian bertemu dengan sosok wanita jelita yang memikat hatinya. Ia berusaha menghampiri wanita itu, namun semakin cepat ia berusaha meraihnya semakin cepat pula wanita itu lenyap dari pandangan matanya. Sampailah Gusti Sunan di sebuah tempat dimana ia melihat wanita itu masuk dan hilang tak berbekas. Betapa terkejutnya Gusti Sunan, ketika secara tiba-tiba muncul suara tanpa rupa yang menasehatinya supaya selalu mendekatkan diri kepada Tuhan dan untuk memperolehnya ia harus terus berjalan ke utara bukan ke barat. Di bawah pohon beringin besar ia tertunduk lesu sembari menyadari kealpaannya selama ini. Tempat tersebut kini bernama Dukuh Kramat (yang berarti Kramat ; Wingit atau angker) dan terdapat CANDI KRAMAT yang dipercaya masyarakat setempat dihuni oleh Nyai Rantansari.[6]

Sosok wanita ayu itu juga yang ikut memiliki peran atas penamaan Bumiayu ini. Menurut Sunan Amangkurat I, pemberian nama Bumiayu ini memang selain memiliki panorama alam yang sangat indah, juga karena wilayah ini “dikuasai” oleh Nyai Rantansari yang memiliki kecantikan tiada tanding.

Ikhtitam

Dalam versi Babad Mataram disebutkan bahwa, pelarian Amangkurat I membuatnya jatuh sakit. Menurut ''Babad Tanah Jawi'', kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Mas Rahmat. Meskipun demikian, ia tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai raja selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar. Amangkurat I meninggal pada 13 Juli 1677 , dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di [Tegal]. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum.
Oufers hadir disana dengan dua belas orang serdadu.
Amangkurat I juga berwasiat agar Mas Rahmat meminta bantuan VOC dalam merebut kembali takhta dari tangan Trunajaya. Mas Rahmat ini kemudian bergelar [Amangkurat II] dan mendirikan [Kasunanan Kartasura] sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram. Legenda yang beredar disebutkan pula bahwa, cukup lama Sunan Amangkurat I berada di wilayah Bumiayu dan sekitarnya. Singkat cerita, sampailah ia berada di suatu tempat bernama Adiwerna. Dengan bekal ketakwaan dan silsilah darah birunya, membuatnya menjadi panutan masyarakat sehingga ia mendapatkan gelar SUNAN TEGAL ARUM atau SUNAN TEGALWANGI. Ia dimakamkan di Pesarean Lemah Duwur Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal. Konon, makamnya pada hari-hari tertentu mengeluarkan bau harum, karenanya ia mendapatkan gelar Tegal Arum. Pemakamannya selalu ramai dikunjungi para peziarah, khususnya setiap malam Selasa atau Jum’at Kliwon, terlebih pada malam 1 Suro atau malam tanggal 1 Muharram tahun baru Islam. Para peziarah dating dari berbagai penjuru memadati ruas-ruas jalan Slawi-Tegal tentunya dengan berbagai macam tujuan. Namun sangat penulis sesalkan, bahwa tulisan cerita ini belum lengkap versinya. Belum ada informasi yang cukup meyakinkan penulis untuk dapat dimuat dalam sebuah cerita legenda, terutama tentang penamaan Dukuh Balaikambang, Kedatuan, Pesanggrahan, Desa Linggapura, Balapusuh, Rajawetan sampai dengan Adiwerna Kabupaten Tegal.

Wallahu a’lam bishawab.

· Penulis adalah Pengajar di SMK Negeri 1 Tonjong Kab. Brebes

· Pernah “ngajar” juga di ; SMP BU Bumiayu, SMK Kerabat Kita Bumiayu, SMPN 1 Tonjong



[1] Sultan Agung pernah dua kali mencoba melakukan serangan ke Batavia, yaitu pada tahun 1627 dibawah pimpinan Tumenggung Baureksa dan Tumenggung Suro Agul-agul. Tahun 1629 dibawah pimpinan Kyai Ageng Juminah, Kyai Ageng Purbaya dan Kyai Ageng Puger, Kedua penyerangan tersebut tidak berhasil menembus benteng pertahanan VOC di Batavia. Prajurit Mataram telah kehabisan tenaga akibat kurangnya perbekalan, karena dibakar pengkhianat. Kegagalan itu sebenarnya sudah dapat dirasakan oleh Senopati Linduaji yang bertugas sebagai spionase, yang menyatakan terdapat indikasi penyusupan dan pengkhianatan oleh masyarakat yang ditugasi menjaga lumbung padi untuk perbekalan prajurit Mataram yang ditempatkan di daerah perbatasan (Jawa Tengah – Jawa Barat). (ENSIKLOPEDI ISLAM, Jilid 3)

[2] Penduduk setempat mempercayainya, bahwa ikan-ikan tersebut diutus untuk menjaga area pesawahan di Desa Pandansari. Konon, sawah-sawah di desa ini tidak pernah terkena hama tikus. namun daerah sekitar, banyak ditemukan sawah yang terkena hama tersebut, yang diyakini kalau tikus-tikus tersebut bersumber dari ikan-ikan lele yang berada di Telaga Ranjeng. Wallahu a’alam ….

[3] Konon menurut cerita, Desa Daha ini leluhur dan pendirinya adalah berasal dari Kerajaan Daha, Kediri Jawa Timur. Sekarang desa tersebut bernama Negaradaha berada di Wilayah Kecamatan Bumiayu. Di desa tersebut juga terdapat suatu tempat bernama Candi Nyai Rantansari yang dipercaya memiliki hubungan dengan Candi Kramat di Bumiayu yang juga Nyai Rantansari sebagai Danyang yang Mbahurekso tanah Bumiayu.

[4] Dukuh Karangjati terletak di Desa Kalierang Kecamatan Bumiayu. Terdapat sebuah tempat dimakamkannya Kyai Pancurawis dan kuda kesayangannya, yang sekarang tempat tersebut dikenal oleh masyarakat dengan nama CANDI PANCURAWIS.

[5] Sampai dengan akhir hayatnya, konon Kyai Pancurawis yang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu kemudian ditokohkan oleh masyarakat sekitar. Ia dimakamkan disamping kuda kesayangannya sesuai dengan wasiat sebelum wafatnya.

[6] Masyarakat mempercayai Sosok Nyai Rantansari adalah sebagai Danyang atau sebangsa Jin perempuan yang masih memiliki ikatan dengan penguasa Pantai Selatan, Nyai Roro Kidul. Konon, ia suka memakai pakaian hijau pupus. Maka, kepercayaan masyarakat Bumiayu, adalah pantang bagi orang memakai pakaian dengan warna yang sama saat masuk ke Dukuh Kramat, terlebih saat memasuki kawasan Candi Kramat.

01 Desember 2011

NASIB INDONESIAN SOCCER TIMNAS


Dulang Prestasi, (dan) Dulang Prestise
Pesta Olah Raga negara-negara se Asia Tenggara dah sepekan berlalu. Indonesia telah meraup sukses acara sekaligus sukses prestasi. Hal ini ditunjukkan dengan lancarnya penyelenggaraan tidak hanya di Jakabaring Sport City, tetapi juga di Jakarta en kota-kota lain yang menjadi tempat dilangsungkannya beberapa cabang olah raga.
Kumandang lagu kebangsaan setiap hari senantiasa mengiringi naiknya Sang Dwi Warna, sebagai perlambang keperkasaan para atlet yang meraup medali emas. Secercah harapan kembali muncul di wajah Bangsa negeri ini untuk menjadi "Macan Asia" terutama di pentas-pentas Olah Raga. Hal ini wajar, karena telah lama "Macan" ini tertidur, terninabobokan oleh kejayaan masa silam.
Sekedar mengenang masa lalu saja, penulis ingin mengungkapkan rasa rindu kejayaan beberapa cabang Olah Raga profesional yang dulu pernah menjadi harapan dan perlambang keperkasaan bangsa. Tercatat dalam sejarah, di cabang Bulutangkis, kita tersenyum karena Rudi Hartono, Liem Swie King, Icuk Sugiarto meraih poin penuh sebagai "Raja" di ajang All England. Bahkan Piala Thomas dan Uber beberapa kali disandingkan para atlet Pelatnas. Kita juga ingat kala, Bambang Nurdiansyah menjadi pengawal gawang Timnas bersama dengan Heri Kiswanto dll saat dapat mengalahkan Korea Selatan di ajang Pra Piala Dunia. Dari dunia Tinju profesional, Ellyas Pical sempat menorehkan tinta emas bagi perjalanan Tinju Dunia. Dan tentunya beberapa cabang olah raga lainnya yang pernah menjadi kebanggaan masyarakat negeri ini.

Kalah sama Malaysia Timnas Sepakbola Indonesia di laga terakhir Sea Games kemarin, berhadapan di partai Final (kembali) melawan Malaysia setelah sebelumnya berhasil mencukur Timnas Vietnam yang menjadi Juara Group A. Supporter yang memadati Gelora Bung Karno dan Senayan serta jutaan warga Indonesia menaruh harapan kepada Egi dan Timnas kita untuk dapat membalas kekalahan kita di ajang AFF.
Gemuruh suara supporter diharapkan dapat membangkitkan "cakar Garuda" untuk dapat menerkam" Harimau Malaya". Namun apa hendak dikata, cakar Garuda seolah tumpul saat berhadapan dengan" Taring Harimau Malaya". Kekalahan dramatis Timnas Indonesia lewat adu finalti membungkam jutaan warga Indonesia yang menyaksikan secara live laga itu.
Kecewa ...?! itu PASTI. Namun laga ini bukan hanya "perang prestasi" tapi lebih pada "perang prestise". Mengapa disebut sebagai perang prestise ? O, ya.... jelas, kalah dari Malaysia lebih menyakitkan dibanding dengan Vietnam, Philipina, bahkan Timor Leste sekalipun. Hal ini tidaklah berlebihan. Beberapa faktor yang melatarbelakangi, dapat penulis ungkapkan sebagai berikut :
  1. Masyarakat negeri ini telah dibuat "geregetan" oleh ulah Malaysia yang tak ubahnya macam perampok. Ngrampok budaya lah (Kesenian Reog dan Batik), ngrampok pulau lah (Sipadan dan Ligitan) bahkan beberapa pulau juga (kabarnya) mau dicaplok lagi macam Camar Bulan.
  2. Malaysia telah dituduh menghina martabat bangsa Indonesia dengan perlakuan kasar para majikan terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia. Tak jarang dari para TKW ini pulang tinggal nama. (Yang ini sih..bukan salah mereka secara murni, kita yang mesti introspeksi).
Ya... demikian itulah, faktor utama yang menjadi peperangan prestise pada laga Football kita.

Apa yang salah dengan Pemain Timnas kita ?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kayaknya sulit banget deh. Pernah sih pelatih asal Belanda Si Wim Rijkburgen ketika dia menangani Timnas senior berkilah, kalau postur tubuh menjadi alasan utama Timnas kita kalah sama Bahrain, Qatar dan Iran. "Apa iyaa... Meneeer ?"
Mungkin Meneer Wim belum pernah tengok postur Timnas Korea sama Jepang kali ya.... Kalau mau dibandingkan, kita sama koq dengan mereka. Tapi mereka bisa tampil di ajang World Cup.
Persoalan bola ini tidak lepas dari pendidikan karakter bangsa yang telah mengurat akar di negeri ini.
Lho... hubungannya apa, Mas ? kalau dilihat dari sudut pandang etika agama (maaf neh cuma bisa dari sisi ini aja), kita ini terlalu sombong meminta sesuatu kepada Tuhan. (sekali lagi maaf, ni tak sampaikan karena Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berke-Tuhan-an). Saat orang Jawa dan kebanyakan bangsa timur lainnya menanamkan etika anak meminta sesuatu pada orang tuanya, mereka diajarkan untuk berbuat santun dan sopan dengan (maaf) menengadahkan tangan. Bagaimana dengan meminta sesuatu kepada Tuhan ? (misalnya ; minta menang atau Bangsa menjadi JAYA..?). Saya kira sama lah ya...
Upacara-upacara yang tiap Senen digelar di sekolah-sekolah ternyata belum menyentuh hal itu. Mereka lebih "memilih" gaya militer dari pada sipil. Maklum... militer kan pegang senjata, jadi kalo upacara gak pake mengangkat tangan sebagai tanda "butuh". Nah... kita militer bukan kenapa harus (cuma) menundukkan kepala atau sekedar mendengar laporan dari Sang Pembaca Do'a ?
Jadi apa sih susahnya mengangkat tangan saat berdo'a sekalipun pada kegiatan sekelas upacara. Begitu angkuhkah kita sampai kepada Tuhan Yang Maha Kuasa kita tidak kuasa mengangkat tangan ? "Aaahhh... yang penting kan niatnya, Mas". Eeiiiiittt .... kalo alasannya niat saja, mbok ya konsisten .... Habis shalat cukup tundukkan kepala saja dong gak pake ngangkat tangan.
Iya dong, Sang Dwi Warna naik saja, kita mesti angkat tangan untuk hormat sebagai wujud dari penghargaan atas perjuangan para pahlawan tegakkan NKRI.
So.... marilah kita perbaiki diri (yang salah satunya) dengan menghargai Tuhan, yang semoga masih berkenan mengangkat derajat Bangsa Indonesia tampil kembali sebagai "Macan Asia".
FORZA INDONESIA ....!!!

29 November 2011

PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP PENDIDIKAN (Sebuah Renungan Bagi Para Guru Indonesia)


Pendidikan anak di jaman kesejagatan dan modern ini tidaklah mudah. Di satu sisi jaman ini memberikan berbagai banyak kemajuan teknologi yang memungkinkan anak-anak kita memperoleh fasilitas yang serba “canggih” dan “wah”. Anak-anak sekarang sejak dini sudah mengenal HP, camera, dan berbagai peralatan yang amat jauh dengan jaman “ aku si anak singkong”. Kemajuan yang demikian cepat juga ditengarai membawa dampak negatif seperti tersedianya informasi negatif melalui media masa yang sulit untuk dihindari. Misalnya: porno, kekerasan, konsumer-isme, takhayul, klenik dan kemusyrikan melalui berbagai media informasi seperti internet, handphone, majalah, televisi dan juga vcd.
Berbagai kenyataan modernitas dan ketersediaan tersebut faktanya tidak sulit bahkan setiap hari disediakan baik oleh keluarga, masyarakat dan juga dunia informasi. Maraknya dunia periklanan memaksa informasi beredar lebih mudah, lebih seronok dan juga lebih merangsang rasa ingin tahu, rasa ingin mencoba sebagai akibat “rayuan maut” publikasi yang memang dirancang secara apik oleh para ahli komunikasi dengan biaya yang mahal dan dengan dampak meluas dan mendalam. Dapat dikatakan informasi-informasi tersebut dapat lebih cepat hadir daripada sarapan pagi kita, atau lebih cepat disantap daripada nasehat orang tua.
Lingkungan Pengaruh
Bagi kebanyakan anak, lingkungan keluarga merupakan lingkungan pengaruh inti, setelah itu sekolah dan kemudian masyarakat. Keluarga dipandang sebagai lingkungan dini yang dibangun oleh orangtua dan orang-orang terdekat. Dalam bentuknya keluarga selalu memiliki kekhasan. Setiap keluarga selalu berbeda dengan keluarga lainnya. Ia dinamis dan memiliki sejarah “perjuangan, nilai-nilai, kebiasaan” yang turun temurun mempengaruhi secara akulturatif (tidak tersadari). Sebagaian ahli menyebutnya dbahwa Pengaruh keluarga amat besar dalam pembentukan pondasi kepribadian anak. Keluarga yang gagal membentuk kepribadian anak biasanya adalah keluarga yang penuh konflik, tidak bahagia, tidak solid antara nilai dan praktek, serta tidak kuat terhadap nilai-nilai baru yang rusak.
Lingkungan kedua adalah lingkungan masyarakat, atau lingkungan pergaulan anak. Biasanya adalah teman-teman sebaya di lingkungan terdekat. Secara umum anak-anak Indonesia merupakan anak “kampung” yang selalu punya “konco dolanan”. Berbeda dengan anak kota yang sudah sejak dini terasing dari pergaulana karena berada di lingkungan kompleks yang individualistik.
Secara umum masyarakat Jawa hidup dalam norma masyarakat yang relatif masih baik, meskipun pergeseran-pergeserannya ke arah rapuh semakin kuat. Lingkungan buruk yang sering terjadi di sekitar anak, misalnya: kelompok pengangguran, judi yang di”terima”, perkataan jorok dan kasar, “yang-yangan” remaja yang dianggap lumrah, dan dunia hiburan yang tidak mendidik.
Sebenarnya masih banyak pengaruh positif yang dapat diserap oleh anak-anak kita di wilayah budaya masyarakat Jawa, seperti: tutur kata bahasa Jawa yang kromo inggil ataupun berbagai peraturan hidup yang tumbuh di dalam budaya Jawa. Masalahnya adalah bagaiamana mengelaborasi nilai-nilai tersebut agar cocok dengan nilai-nilai modernitas dan Islam.
Namun pada masa kini pengaruh sesungguhnya mana yang buruk dan bukan menjadi serba relatif dan kadang tidak dapat dirunut lagi. Banyak anak yang mengalami kesulitan menghadapi anak bukan karena keluarga mereka tidak memberikan kebiasaan yang baik. Demikian juga banyak anak yang tetap dapat menjadi baik justru tumbuh di keluarga yang kurang baik.
Meskipun demikian secara umum berdasarkan penelitian, bahwa anak-anak akan selalu menyalahkan kondisi keluarga manakala mereka menghadapi masalah apa saja, apakah karena keluarganya telah melakukan yang benar apalagi kalau buruk.
Indikasi pengaruh negatif
Sulit untuk dipisahkan apakah karena kondisi keluarga atau lingkungan sebaya dan pergaulan. Namun sebaiknya para orang tua perlu meng-antisipasi beberapa indikasi negatif berikut ini:
(1) Apabila acara TV telah menyedot perhatian anak pada jam-jam efektif belajar. Berdasarkan survey bahwa anak-anak usia sekolah dasar perkotaan menghabiskan waktunya 43% untuk menonton acara TV pada jam-jam belajar. Mereka menjadi sasaran produser film dan iklan-iklan consumer good.
(2) Anak mulai menyukai kegiatan luar rumah pada jam-jam belajar di rumah dan mengalih-kan pada kegiatan non-belajar, seperti: jalan-jalan ke mall, play station, dan tempat nongkrong lain. Berdasarkan penelitian Deteksi Jawapos (Maret 2005) bahwa anak-anak SD sekarang ini mengalami penurunan greget belajar karena memperoleh alternatif mengalihkan perhatian pada (acara TV, hiburan luar ruang, dan jalan-jalan).
(3) Anak-anak merasa kesulitan menghafal atau mengerjakan PR secara terus menerus tetapi merasa ketagihan untuk melakukan hal-hal yang tidak berhubungan dengan pencerdasan diri. Berdasarkan pengamatan Prof. Kusdwiratri (Desember, 2004) menurunnya minat intelektual disertai tidak berminatnya pada kegiatan lain yang mencerdaskan anak bukti berhasilnya sistem hiburan secara massal terhadap anak-anak Indonesia dan dunia belajar anak yang gagal. Perlu diwaspadai jangan sampai pengaruhnya berlangsung permanen.
Pendidikan Integratif
Dengan sitem pengaruh lingkungan seperti sekarang ini, cukup sulit bagi keluarga jaman ini untuk hanya menekankan pendidikan di salah satu lini saja. Sehebat apapun keluarga menyusun sistem pertahanan diri, anak-anak tetap akan menajdi santapan dunia yang serba modern. Kalau tidak sekarang ya akhirnya akan bersentuhan juga. Menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah juga bukan segala-galanya. Jaman ini amat sulit mencari pendidikan yang “kaffah lahir dan bathin” serta terjangkau biayanya oleh kebanyakan orang tua.
Namun dari berbagai kekhawatiran tersebut, kini mulai muncul berbagai pendidikan alternatif yang bisa dipilih. Namun tetap harus menekankan bahwa pendidikan keluarga adalah inti dan sekolah adalah komplemen pelengkap. Beberapa pilihan cerdas tersebut dapat berupa:
(1) Sekolah fullday yang mengintegrasikan pendidikan agama dan pendidikan sains dalam lingkungan terkontrol dan terarah dengan nilai-nilai modernitas dan islami.
(2) Sekolah biasa yang bermutu dengan kontrol yang ketat dalam masalah akhlak dan perilaku dengan memberikan penguatan berupa kursus-kursus dan materi tambahan yang dapat memberikan keunggulan.
(3) Sekolah pesantren dengan menambah penguatan pada aspek sains dan ketrampilan.
Rumahku Surgaku
Bagaimanapun ujung dari pendidikan adalah tanggung jawab orang tua, yang berbasis rumah. Masalahnya adalah apakah setiap orang tua kita memiliki kecerdasan yang memadai untuk menjalankan fungsi besar ini? Itulah fungsi besar Ibu-ibu menjadikan rumah sebagai surga melalui tangan bijak sang suami.
Nampaknya ibu-ibu rumah tangga perlu dicerdaskan melalui pendidikan mitra-sekolah. Bahkan di jaman “ibu-ibu sibuk” memasuki dunia kerja, maka para pembantu rumah tangga kita perlu menjadi “Nanny and Govern” yang cerdik pandai seperti Halimah di jaman Nabi yang mampu mengajarkan bahasa Arab dengan kualifikasi terbaik, Yukabad di Jaman Fir’aun yang mampu mengajari Musa bagaimana menjadi pemuda tangguh.
Penutup
Tantangan terbesar dalam pendidikan anak jaman ini adalah informasi yang rusak dan pengaruh buruk yang diciptakan oleh lingkungan modernitas yang tidak berbasis agama.
Tugas berat para orang tua adalah meyakinkan fungsi keluarga mereka benar-benar aman, nyaman bagi anak-anak mereka. Rumah adalah surga bagi anak, dimana mereka dapat menjadi cerdas, sholeh, dan tentu saja tercukupi lahir dan bathinnya. Padahal mana ada surga yang dibangun di atas keserbakekurangan iman, ilmu dan amal sholeh.
Tugas masyarakat adalah bagaimana menjadi-kan dirinya aman bagi generasi mereka sendiri. Kini yang terjadi kita semua mencemaskan lingkungan kita sendiri. Bahkan kita hampir-hampir tak percaya dengan sekolah kita bahwa mereka mampu menjadi daerah yang aman bagi anak-anak kita.
Tugas besar ini memang mirip dengan tugas kenabian :
”Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al Kitab dan hikmah serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS. Al Baqarah:151).
Tetapi bukanklah Allah mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menyiapkan generasi yang terbaik untuk setiap jamannya. Inilah "pekerjaan rumah" para guru, yang saat ini konon menjadi profesi primadona (sebagai ganti dari kalimat "dari pada gak ada kerjaan"). Maka sebagai penutup dari tulisan ini adalah ;
  1. Marilah kita sebagai guru lebih banyak mencoba mengerti kondisi para peserta didik, dalam pengertian memberikan perhatian penuh tidak hanya dari segi transfer of knowledge, tetapi lebih pada transfer of values
  2. Keprihatinan ini juga meluas pada terciptanya sebuah ketulusan hati yang bersumber dari kesadaran diri dalam rangka mengabdi dan rasa saling berbagi
  3. Maka, doakanlah mereka dengan penuh keikhlasan dan bimbinglah dengan penuh kasih sayang, Insya Allah akan tercipta generasi-generasi yang dapat diandalkan untuk memegang tongkat estafeta amanah bangsa ke depan.

30 Agustus 2011

PENENTUAN TANGGAL 1 SYAWWAL ( Antara Perbedaan, Keyakinan dan Ketulusan)

Oleh : Muhammad Subkhan

Hisab dan Ru’yat

Sekelompok masyarakat di Jalan Pisangan Baru Jakarta Timur Nampak sedang ramai berkumpul sesaat setelah melaksanakan shalat tarawih di Masjid At Taqwa. Pembicaraan mereka mengarah akan rencana mudik lebaran yang tinggal beberapa hari lagi. Ada yang sudah memesan tiket kereta api, ada yang mau memakai armada bus, ada juga yang mau ikut program mudik bareng yang disponsori produk tertentu, bahkan yang lebih ekstrem, ada yang mau mudik pakai BAJAJ…!!. Gila, nggak tuh …?! Kiranya mereka bersepakat akan melakukannya bersama pada tanggal 28 Agustus 2011. Hal ini karena almanak di dinding-dinding rumah keluarga, kantor, bengkel dan berbagai macam tempat lainnya menunjukkan kalau lebaran tahun ini jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011, yang berarti bahwa pelaksanaan ibadah puasa sebagaimana tahun-tahun sebelumnya hanya sampai pada bilangan 29 hari.

Adalah Bumiayu, sebuah kota kecil di wilayah selatan Kabupaten Brebes yang menjadi sentra dari beberapa kecamatan yang mengelilinginya. Bumiayu laksana magnet yang dapat menyedot “aliran dana” masyarakat berputar di dalamnya. Potensinya sebagai sentra ekonomi membuat Bumiayu dapat menjadi kota yang menyenangkan sekaligus kota yang menyebalkan. Kok bisa…? Aduh ceritanya panjang deh... Yang jelas sih, karena di moment Idul Fitri ini aktifitas perekonomian masyarakat begitu meningkat sehingga bagi yang pedagang maupun penjual jasa menjadi sesuatu yang menjanjikan. Namun tidak bagi para pengguna jalan, baik masyarakat lokal maupun para pemudik. Melalui jalur tengah (bukan ring road selatan) terasa seperti “neraka”, yang siap menghanguskan pahala puasa setiap muslim.

Hari itu, tanggal 29 Agustus 2011 jalan-jalan protokol Bumiayu penuh sesak baik oleh kendaraan para pemudik dan masyarakat lokal, maupun oleh para pejalan kaki yang sedang mencari kebutuhan lebaran. Wow… bagaimana tidak ? “orang lebarannya juga besok (baca: tanggal 30 Agustus)…, mau gak mau ?” Aktifitas semua swalayan dan hampir setiap toko di jalan-jalan protokol pada H-4 sampai pada jam 21.00 tidak seperti hari-hari biasa yang cuma sampai jam 17.00. Hiruk pikuk jalanan menjadi pemandangan dan situasi yang rentan terhadap keimanan seorang muslim. Bisa dibayangin deh, kalau ada desak-desakan, ada kendaraan saling senggol… kira-kira seperti apa ?! Ya, kan ..?

Yups, itu semua karena kebutuhan yang harus mereka penuhi untuk berlebaran tanggal 30 besok. Eh, apa iya .. sih ..?! Banyak masyarakat yang dibuat “bingung” atas ini, ada yang bilang tanggal 30. Ada juga yang bilang, “belum tentu tanggal 30 dong…” Bahkan penulis sendiri, mendapatkan tidak sedikit sms yang menanyakan hal ikhwal tentang” lebaran kapan”. Yah… penulis juga mesti maklum, karena sadar betul posisinya sebagai guru PAI dan yang (katanya) ditokohkan (cieee… ceritane ?) dalam organisasi kepemudaan dan ormas Islam. Jadi sangat wajar, jika banyak yang menanyakannya.

Jawaban yang dirasa pas dan aman untuk pertanyaan penentuan 1 syawwal adalah, “ Tunggu saja hasil sidang Istbat nanti malam di Kemenag RI lewat Ti Vi.” What …!!??? Ya memang begitulah. Karena sidang itsbat itu adalah hasil keputusan berdasarkan kesepakatan pemerintah, MUI, Ormas Islam, dan beberapa perwakilan negara-negara asing untuk menentukan jatuhnya 1 syawwal. Di dalamnya berisi laporan dari utusan pemerintah dari berbagai macam tempat di seluruh wilayah Indonesia, yang melakukan kegiatan pantauan Hilal (Ru’yatul Hilaal). Kemarin tanggal 29 Agustus 2011, tidak kurang dari 90 titik di seluruh wilayah Indonesia menjadi tempat untuk melakukan pemantauan Hilal. Dalam laporan sidang itsbat tadi malam (29 Agustus 2011) yang disampaikan oleh Kabid Hisab dan Rukyat, tersampaikan bahwa, dari 36 petugas yang mewakili daerah maupun propinsi di seluruh Indonesia (pake disebutin nama, usia, jabatannya lagi..) tidak ada petugas dapat melihat hilal (eh… jangan salah lho… ini pake alat super canggih, jadi gak pake mata telanjang). Hanya ada dua laporan yang memberikan kesaksian, yaitu di Cakung-Jakarta Timur dan Jepara- Jawa Tengah yang menyatakan dapat melihat hilal. Walaupun akhirnya kesaksian tersebut ditolak musyawirin atas saran dari Ketua MUI K.H. Ma’ruf Amin, karena dianggap lemah argumentasinya.

So… Kementerian Agama RI akhirnya memutuskan berdasarkan hasil sidang Itsbat (termasuk) rekomendasi sejumlah ormas Islam yang hampir semuanya memberikan rekomendasi bahwa 1 syawwal 1432 H jatuh pada Rabu, 31 Agustus 2011, kecuali rekomendasi dari PP. Muhammadiyah yang memutuskan berdasarkan hisab, bahwa 1 syawwal 1432 H jatuh pada Selasa, 30 Agustus 2011. Akhir sidang, Menteri Agama RI KH. Maftuh Basyuni memohon agar perbedaan ini tidak menjadikan renggangnya ukhuwah Islamiyah dan satu sama lain harus saling menghormati keputusannya. Ya, itulah Indonesia, negeri sejuta budaya dan bahasa, negeri dengan sejuta perbedaan, sekaligus negeri dengan sejuta keindahan (harusnyaa…). Dan pada hari ini (30 Agustus 2011), mengulang sebagaimana tahun 2006 dan 2007, masyarakat Muhammadiyah di Indonesia melakukan Shalat Ied di berbagai tempat terbuka dengan khusyuk dan penuh ketenangan. Sementara sebagian besar umat Islam lainnya masih berpuasa dan baru merayakannya esok Rabu, 31 Agustus 2011.

Keyakinan dan Ketulusan

Terlalu panjang memang dirasakan oleh pembaca pada awal tulisan ini, yang seolah hanya ingin mengungkapkan kronologis terjadinya perbedaan penentuan 1 syawwal ansich. Namun penulis ingin membuat suatu benang merah, bahwa bukan hal di atas yang menjadi inti tulisan ini. Why ? karena hal itu dianggap sudah biasa terjadi di sekitar kita, tidak hanya menyangkut penentuan hari lebaran, namun ibadah-ibadah lainnya yang bersifat khilafiyah diantara sesama muslim.

Ada satu cerita menarik (atau sengaja dianggap menarik) datang dari keluarga penulis. Selepas shalat maghrib dan santap buka puasa, Selma putri keduaku yang baru berusia 8 tahun, menanyakan jadi lebaran besok apa tidak. Secara spontan istri penulis menjawab, kalau urusan itu menunggu keputusan pemerintah di Ti Vi. Telah terasa aroma kurang sedap dari raut mukanya begitu ia menyadari belum adanya jawaban pasti tentang hari H lebaran. Tayangan secara live yang disiarkan oleh Metro TV dan TV One seolah menyihir kami untuk tetap berada di depan media elektronik itu dan tidak beranjak ke tempat lain, guna menyaksikan jalannya sidang itsbat.

Sesaat setelah Menteri Agama RI memutuskan, bahwa 1 Syawwal 1432 H jatuh pada hari Rabu, 31 Agustus 2011, sontak putri keduaku ini langsung berteriak, “Dasar, Bodoh …!!! besok gak puasa lah…” Penulispun paham dan menyadari kondisi demikian, “maklum …. Anak kecil, nanti juga sadar sendiri.” Gumamku. Keputusan itu, berarti mengubah rencana malam takbiran menjadi aktifitas rutin shalat tarawih masih satu malam lagi dijalankan. So… ikhlaskan saja lah. Begitulah potret keluarga penulis pada moment sidang itsbat.

Yang menjadi sebuah pelajaran berharga dari penulisan ini adalah, saat orang dewasa muslim pun turut larut dalam kekesalan dan kemasygulan yang sering terungkapkan dengan cacian bertubi-tubi ke arah yang tidak jelas tentang hasil keputusan tersebut. Penulis dapat meraba, inilah ujian iman, inilah yang Allah SWT janjikan sebagai “’Itqun min an annaar” pada sepertiga ramadlan terakhir, inilah yang disebut dengan ujian ketulusan dan panggilan cinta terhadap Dzat Allah.

Bagaimana tidak ? alasan kemasygulan dan kekesalan mereka bukan pada persoalan “mundurnya” waktu lebaran, tetapi lebih pada bertambahnya hari mereka berpuasa ramadlan. Seolah puasa yang Allah SWT wajibkan ini sebagai sebuah beban berat laksana senggunung batu yang dengan penuh keterpaksaan harus mereka jalani. Moment ramadlan tidaklah menjadikan sebagai wahana introspeksi dan taqarrub kepada Sang Pencipta. Maka tidaklah heran, pasca ramadlan kemaksiatan kembali “digelar” oleh manusia sebagai budak syaithan, seolah mereka baru saja terbebas dari “neraka” yang membelenggu kebebasannya selama ini. Astaghfirullahal’adzim …..Tengok saja di jalan-jalan, mall, terminal, stasiun, pasar, bahkan depan masjid sekalipun pada hari ini (Selasa, 30 Agustus 2011), perilaku mereka yang "merasa" baru saja mendapatkan kemerdekaan atas belenggu yang bernama PUASA. Dengan gaya seolah tidak ada perbedaan antara bulan Ramadlan dengan yang lain, dengan tingkah polah yang tidak mencerminkan akhlak Islam yang mengedepankan kehormatan dan toleransi, mereka sedikitpun tidak menghargai sesama yang masih menjalankan ibadah puasa. Padahal penulis yakin betul mereka Islam juga.

Inilah pembaca yang budiman, puasa adalah panggilan cinta, sebagaimana idealisme seorang muslim yang seharusnya bergetar hatinya tatkala nama kekasihnya (Tuhannya) disebut-sebut. Maka, ayuk…bagi yang berkesempatan membaca tulisan ini tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri dalam rangka mengabdi kepada Sang Khaliq sekaligus memohon agar ramadlan mendatang kita masih berkesempatan mengikuti keindahan dan kenikmatannya. Amien …..

Wallahu A’lam bi muraadih …

22 Agustus 2011

MENEGUHKAN KEMBALI MAKNA PROKLAMASI KEMERDEKAAN Dengan Semangat Pendidikan Islam



Oleh : “Al Faqir” Muhammad Subkhan

Fakta

Tak terasa sudah negeri kita telah merdeka (secara yuridis) 66 tahun lamanya. Berbagai perhelatan sebagai bentuk ekspresi kegembiraan yang terwarnai oleh semangat patriotisme telah banyak ditunjukkan oleh anak-anak negeri. Tengok saja kreatifitasnya pada kegiatan karnaval misalnya, atau berbagai macam lomba nan lucu dan menarik banyak digelar oleh lembaga-lembaga pendidikan, instansi-instansi pemerintah dan swasta, sampai pada masyarakat level bawah “TARKAM” (antar kampung) seolah mengisyaratkan bahwa negeri ini benar-benar sejahtera dan penuh kedamaian.

Namun dibalik itu semua, ternyata kita masih saja disuguhkan dengan berbagai macam berita yang menggiriskan hati. Simak saja aneka informasi yang ditayangkan media elektronik audio visual yang hadir di tengah-tengah keluarga kita. Dari potret kemiskinan sampai rebutan kekayaan, kasus penyimpangan seksual sampai pada peristiwa tawuran sebagai akibat gesekan sosial, hingga berbagai kejadian pembunuhan dan terorisme serta bencana alam yang seolah ingin menunjukkan ketidakharmonisannya dengan manusia. Sungguh… hal ini seolah mengisyaratkan kalau negeri ini kembali pada titik nadir.

Kemerdekaan, Isapan Jempol ..?

Jalan Pegangsaan Timur No. 56 di Jakarta 66 tahun lalu, telah menjadi saksi bisu kalau negeri yang bernama Indonesia ini telah Merdeka (baca : bebas) dari cengkeraman penjajah. Masyarakat dunia pun banyak pula yang bersimpati atas perjuangan bangsa Indonesia hingga tidak sedikit mereka munculkan dalam bentuk pengakuan secara resmi.

Dan sebagai catatan, bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia bukanlah hasil pemberian maupun “anugerah” dari Penjajah Jepang maupun Belanda, namun kemerdekaan ini telah ditebus dengan tumpahan darah dan air mata sebagai wujud dari konsekuensi perjuangan fisik. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan kemerdekaan negeri-negeri tetangga Indonesia sendiri. Namun, apakah hal ini hanya sebuah moment yang mesti kita bangga-banggakan sementara hakekat kemerdekaan itu sendiri masih semu ?

Perjuangan para penegak negeri ini tentunya teriringi dengan sebuah tujuan besar dan mulia. Mereka sangat mendambakan bahwa ia dan anak cucunya kelak dapat menapak tanah air mereka sendiri dengan bebas dan berkembang layaknya kodratnya sebagai manusia. Penegak negeri ini sadar betul, jika negeri yang sangat melimpah akan sumber daya alam, kaya akan aneka ragam budaya dan bahasa ini diharapkan dapat menjadi negeri adi daya dan bermartabat. Namun alangkah menyedihkannya sekarang jika harapan tersebut sering kali hanya sebuah harapan yang entah kapan dapat terwujud.

Mengurai Benang Kusut Kemerdekaan Indonesia

Sub judul diatas, sepintas terlihat sangat ekstrim. Yup, benar sekali bagi mereka yang beranggapan bahwa kemerdekaan bangsa kita ini telah lengkap dan sesuai dengan isi dan semangat Pancasila serta UUD 1945.

“Perjuangan belum selesai, Kawan …”, mungkin itulah kalimat yang tepat kita ucapkan saat ini. Bagaimana tidak ? telah 66 tahun merdeka, mestinya usia itu telah dapat menjadikan bangsa ini banyak belajar dari “kesalahan-kesalahan” masa lalu. Mungkin kita masih ingat pepatah bertuah dari John F. Kennedy, bahwa “Bangsa yang bangga akan masa lalu dan sekarang, adalah bangsa yang hakekatnya kehilangan masa depannya sendiri.”

Lantas kepada siapakah tanggung jawab atas kesalahan itu mesti ditimpakan ? Pertanyaan itu mesti terurai dengan sebuah jawaban yang bijaksana tanpa harus ada yang menanggung atas semuanya itu. Mari kita tengok firman Allah SWT dalam QS. Ar Ra’du : 11, yaitu :

11. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Ayat di atas jika kita amati secara tekstual, bisa jadi hal ini berlaku bagi sebuah kaum (kelompok masyarakat ansich). Tetapi jika kita dapat menukil beberapa tafsir, maka ayat tersebut lebih memiliki makna secara personal, yaitu individu. Dalam hal mana, “restu” Tuhan akan kemajuan diri pribadi sangat bergantung kepada apa yang dipikirkan dan dilakukannya. Artinya, jika seseorang tidak bertindak secara cepat dan tepat atas kemunduran dan “ketidakberhasilannya”, maka janganlah menyalahkan Tuhan akan janjinya ini. Karena yang terjadi adalah, ia akan tetap terbelakang, jumud, gatek, gumunan wal kagetan sebagaimana indikator masyarakat tradisional. Lebih menggiriskan lagi bahwa ia tidak memiliki arah atau visi dan misi yang jelas.

Dalam kaitannya dengan kasus di atas, maka “ibda’ binafsika” (Sabda Nabi saw) menjadi suatu pedoman bagi setiap individu. Hal ini juga memiliki makna mendalam, terutama bagi generasi-generasi penerus dan pewaris Nabi dan Ulama, bahwa dalam rangka mengisi kemerdekaan mestilah harus dimulai perbaikan-perbaikan tersebut dari diri sendiri.

Klaim-klaim atas kenakalan remaja dengan serentetan indikatornya seringkali disikapi secara sepihak. Beberapa instansi terkait malah seolah “kebakaran jenggot” dengan menyelenggarakan kegiatan sosialisasi bahaya seks bebas, penyalah gunaan narkotika dan zat adiktif, serta beberapa “trend-trend” miring lainnya yang berkenaan dengan masalah remaja. Sementara sangat sedikit sekali kegiatan serupa diselenggarakan dengan audiens para orang tua dan guru sebagai pendidik di garda terdepan.

Jika kita mau menengok beberapa kasus luar biasa yang terjadi pada zaman dimana teknologi belum secanggih masa kini, guru dan ustadz madrasah belum mengenal dana sertifikasi, tetapi mereka telah dapat melahirkan pemimpin-pemimpin yang kharismatik dan demokratik yang tampil untuk memandegani umat.

Maka, kata kuncinya adalah hanya satu, yaitu Ikhlas. Yup… Ikhlas adalah sebuah tindakan yang disadari atau tidak akan menciptakan dan memunculkan aura-aura positif terhadap diri seorang pendidik. Dari sosok ideal inilah kita meyakini bahwa pendidikan akan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar kehidupan manusia. Sebagai ikhtitam dari tulisan ini, penulis mengajak kepada khalayak untuk bersama merenungi petuah nyata namun seringkali kita abaikan, ;

Kejayaan suatu negeri tidak bergantung pada usia dari budaya negeri itu, ia juga tidak bergantung pada kekayaan alamnya dan ia sangat-sangat tidak bergantung atas image bahwa bangsa tertentu memiliki tingkat kecerdasan di bawah standar.”

Silakan bandingkan usia kebudayaan negeri Mesir dan India dengan Singapura, Kanada, Australia dan Selandia Baru. Silakan juga bandingkan, negeri kita dengan Jepang dan Swiss yang daratannya tidak lebih luas dari Indonesia. Anda juga boleh tengok para imigran dari afrika yang katanya terbelakang namun dapat menorehkan tinta emas di negara-negara Eropa dan Amerika.

Yuk… kita mulai dari sendiri sebagai pendidik tanpa pandang tanggung jawab penuh pada mata pelajaran tertentu, karena hakekatnya Pendidikan Islam mencakup semua ranah mata pelajaran, bukan hanya Pendidikan Agama Islam. Kita harus sadari bersama, bahwa Islam dasarnya adalah Tauhid, syi’arnya ialah kejujuran, porosnya adalah keadilan, tiangnya bernama kebenaran dan ruhnya penuh dengan kasih sayang.

Wallahu ‘alam bishawab