01 Oktober 2012

MEMAKNAI KEMBALI KESAKTIAN PANCASILA

Awwal Kalam
Kurang lebih pukul 08.40 wib 1 Oktober 2012, Upacara Hari Kesaktian Pancasila usai dilaksanakan di Pelataran Monumen Pancasila Sakti area Lubang Buaya Jakarta Timur. Suasana khidmat menyelimuti prosesi upacara yang diikuti oleh berbagai elemen TNI dan Polri, Ormas Kepemudaan, Para Pelajar setingkat SD, SMP dan SMA, serta para pejabat tinggi negara dan utusan duta besar negara sahabat. Kumandang lagu Gugur Bunga yang syahdu nan merdu, turut pula mengantar kepergian rombongan Presiden dan Wakil Presiden meninggalkan tempat upacara.
Yups, itulah prosesi yang digelar setiap memperingati Hari Kesaktian Pancasila di negeri kita tercinta. Ikrar kesetiaan terhadap idiologi Pancasila sebagai dasar negara sekaligus sebagai pedoman laku lampah bangsa Indonesia senantiasa tetap dan selalu terucap di tengah prosesi upacara.

Pancasila Ku, Pancasila Anda, Pancasila kita semua
Pancasila merupakan ruh dari bangsa Indonesia, telah ada dan berlaku sejak nenek moyang bangsa ini dianggap berbudaya. Maka, Pancasila bukanlah merupakan suatu idiologi baru bangsa kita karena ia digali dari budaya bangsa ini sejak dahulu. Semangat luhur nilai-nilai Pancasila telah tertanam di hati bangsa yang mendiami bumi Nusantara ini dengan perwujudan semangat kebersamaan atas dasar falsafah Ilahiyah (ke-Tuhan-an) dengan konotasi sadar akan keberadaan manusia sebagai makhluk lemah yang senantiasa bergantung kepada kekuatan Tuhan dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai makhluk yang memiliki tugas "khusus" untuk mengelola bumi beserta isinya.
Hari Kesaktian Pancasila tercetus dan lahir atas sebuah peristiwa besar yang hampir menumbangkan kekuatan negeri ini menjadi kekuatan baru yang justru jauh dari nilai-nilai Pancasila. Adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) yang notabenenya adalah salah satu dari empat partai besar (PNI, Masjumi - Madjlis Sjoera Moeslimin Indonesia, NO-Nahdlatoel Oelama, PKI) pada bulan September 1965 melakukan Coup de Etat (kudeta ; perebutan kekuasaan). Konsep-konsep nasionalis komunis, kapitalis birokrat menjadi jargon-jargon utama dalam meraih simpati rakyat Indonesia (terutama) yang berbasis daerah-daerah miskin. Strategi penguasaan Pulau Jawa - Jakarta - Presiden - Istana Negara - Komandan Paspampres Cakrabhirawa, hampir saja sukses mengantarkan PKI menguasai Indonesia dengan konsep "Dewan Jenderal" unsur TNI AD (Jenderal TNI AH. Nasution, Letjen A.Yani, Mayjen Soeprapto, Mayjen Soetojo, Mayjen S. Parman, Mayjen Haryono MT, Brigjen DI. Pandjaitan).
Propaganda Nipa Nusantara Aidit sebagai Ketua Central Commite PKI tentang Pancasila sebagai alat pemersatu pun hampir menggoyahkan semangat kebangsaan Indonesia. Ia menyatakan, "Karena Pancasila sebagai alat pemersatu, maka apabila bangsa Indonesia telah bersatu berarti tidak membutuhkan Pancasila kembali." Berbagai komunitas yang mewakili elemen masyarakat pun satu persatu merapat bahkan lebur dalam kekuatan PKI yang sedang "Hamil Tua", siap untuk merebut kekuasaan dari tangan Bung Karno.
Kita boleh bangga, usaha PKI untuk merebut kekuasaan telah gagal. Namun ajaran komunisnya masih dianggap laten (merambat dan berpotensi merasuk dalam diri seseorang). Tertangkapnya berbagai tokoh-tokoh sentral PKI menjadi penyemangat tersendiri bagi bangsa untuk melakukan "balasan" atas perbuatan orang-orang PKI. Tercatat dalam rekaman sejarah ; masyarakat yang diwakili oleh ormas-ormas keagamaan dan  elemen TNI yang juga melakukan penyiksaan dan pembunuhan terhadap orang komunis yang (justru) tidak sangat tidak Pancasilais. OK, sampai disini katakanlah Indonesia selamat dari rongrongan PKI yang ingin mengganti Idiologi negara. Selamatlah pula Pancasila. Demikian pula para keluarga (istri dan anak-anak korban serta pelaku kudeta - PKI dan DI/TII) telah menanggalkan dendam untuk kemudian melebur dalam sebuah wadah yang bernama Persatuan Anak Bangsa (PAB)
Belakangan kemudian muncul lagu-lagu nasional perjuangan penyemangat pembangunan bangsa, yang berbicara tentang "hebatnya bangsa Indonesia", mulai dari kekayaan alam Indonesia sampai keramahtamahan masyarakatnya. To be continued .....

20 April 2012

UJIAN NASIONAL Antara Fakta Kecurangan dan Idealisasi Pendidikan

Hakekat Proses Belajar

Dalam tugasnya sebagai khalifah, tentulah manusia telah terbekali dengan berbagai perangkat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, seperti yang tersebut di dalam QS.16 ; An Nahl : 78. Pendengaran, penglihatan dan hati menjadi perangkat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Tanpa ilmu pengetahuan, maka manusia selain tidak layak disebut manusia, juga bukan merupakan cerminan dari tugas kekhalifahan yang diembannya.

Untuk dapat menjadi muslim yang tangguh, maka syarat mutlak yang harus dijalani ialah dengan mengoptimalkan semua potensi ragawiyah dan batiniyah. Potensi fisik dioptimalkan dengan olah raga, potensi akal dioptimalkan dengan berfikir, sedang potensi hati dioptimalkan dengan olah rasa. Demikian teori umumnya.

Ada sebuah pertanyaan menarik, jika seorang guru sedang mengajar di kelas, apakah dengan sendirinya siswa yang diajarnya otomatis juga sedang belajar ? Apakah dengan telah tersampaikannya materi kepada peserta didik, memberikan soal, mengevaluasi hakekatnya pelajaran telah dianggap selesai pula ?

Belajar hakekatnya tidak hanya sekedar meliputi mata pelajaran saja, tetapi penguasaan, kebiasaan, persepsi, kesenangan, minat, penyesuaian sosial, ketrampilan dan cita-cita. Oemar Hamalik menyatakan, bahwa belajar mengandung pengertian tentang terjadinya perubahan dari persepsi dan perilaku, termasuk juga perbaikan perilaku, misalnya pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara lebih lengkap,[1] karena tujuan belajar yang utama adalah bahwa apa yang dipelajarinya berguna di kemudian hari, yakni membantu kita untuk dapat belajar terus dengan cara yang lebih mudah.[2] Namun tidak semua perubahan perilaku juga merupakan belajar.

Seperti halnya QS.16 ; An Nahl : 78, maka dalam belajar juga harus memperhatikan aspek-aspek atau potensi-potensi ragawi, akal, dan hati yang dimiliki manusia baik berkaitan dengan posisinya sebagai pendidik maupun sebagai peserta didik. Pendidik yang berlaku sebagai transporter ilmu pengetahuan harus memberikan kebebasan berfikir kepada peserta didik. Proses berfikir adalah sesuatu yang kompleks dan rumit yang tidak dapat dipandang secara mekanis, sederhana dan di sama ratakan.[3]

Pemindahan pengetahuan dan nilai-nilai dari seseorang kepada orang lain, dari satu generasi ke generasi lain, hakekatnya bukan merupakan inti dari proses belajar. Hasan Langgulung memberikan tiga syarat pokok suatu proses yang disebut dengan belajar. Dalam belajar harus terdapat ; 1) rangsangan, 2) benda hidup haruslah mengadakan respons terhadap rangangan tersebut, dan 3) respons yang telah didapatkan kemudian diteguhkan seoerti ganjaran benda atau bukan benda supaya respons itu dibuat lagi dalam suasana yang sama pada masa yang akan datang, atau ditinggalkan kalau respons itu diteguhkan secara negatif. [4]

Pada intinya, dalam belajar, seorang guru dihadapkan pada sebuah situasi dimana ia secara individu sedang belajar dari peserta didik yang (sedang) belajar. Guru harus dapat mempertinggi mutu mengajar, agar peserta didik dapat memahami apa yang diajarkan. Tanpa komunikasi yang baik antara guru dan peserta didik, maka proses belajar mengajar tidak akan dapat berjalan efektif serta tidak tercapainya ; pengetahuan yang dikehendaki, penanaman konsep dan ketrampilan, serta pembentukan sikap sebagai tujuan belajar.[5]

Ketika NILAI akademik menjadi tolok ukur utama

Idealisasi pendidikan di atas merupakan sebuah keharusan yang terkait dengan tiga komponen dalam pendidikan, yaitu : keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Ringkasnya berhasil tidaknya siswa dalam belajar bergantung pada factor pendidikan orang tua dalam keluarga, para pendidik yang memiliki empati terhadap perkembangan peserta didik dan lingkungan masyarakat yang mendukung secara baik terciptanya individu yang baik.

Namun idealisasi di atas telah sirna, manakala nilai akademik yang merupakan angka-angka mati menjadi tolok ukur utama “keberhasilan” para peserta didik. Penulis belum dapat memahami faktor apa yang melatarbelakangi pendidikan di Indonesia, sehingga dalam pelaksanaannya baik pemerintah (lembaga terkait) sebagai penentu kebijakan, guru bahkan orang tua peserta didik, begitu “mendewakan” prestasi akademik. Departemen terkait merasa bangga jika ada anak yang nilainya tinggi (secara akademik) lalu dijadikannya sebagai “ikon” keberhasilan pendidikan di wilayahnya. Guru begitu memuji-muji prestasi muridnya yang memiliki peringkat tertinggi nilai akademiknya, karena ia (dipercaya) akan membawa “nama baik” sekolahnya. Sementara orang tua merasa beruntung jika anaknya mendapatkan juara I karena nilai raportnya tertinggi di atas teman-temannya. Keberuntungan orang tua itu karena dengan prestasi anaknya itu akan membuatnya hidup bahagia (secara materi) di masa mendatang. Sementara jika terdapat peserta didik yang (secara akademik) tidak begitu menonjol, tetapi ia dapat melakukan suatu tindakan sosial, misalnya ; berdialog dengan masyarakat, dapat mendamaikan teman yang bertikai, dan tindakan-tindakan lain yang berkaitan erat dengan kepekaan-kepekaan sosial, ia tidak pernah mendapatkan sanjungan, terlebih penghargaan secara nyata sebagai siswa yang berprestasi.

Pandangan di atas merupakan sebuah potret, bahwa peserta didik dianggapnya sebagai kotak kosong yang harus diisi. Guru bertindak sebagai sumber dan pemegang otoritas ilmu, yang mana peserta didik “dipasung” untuk taat, tunduk, patuh, dan satu kata dengan guru, yang pada akhirnya peserta didik harus mengikuti kesimpulan guru.

Pandangan ini bukan saja “memasung” kreatifitas peserta didik, namun yang lebih tidak manusiawi adalah bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM). Peserta didik adalah organisme hidup yang tumbuh dan berkembang atas tenaga dalamnya sendiri. Guru bukanlah pemegang otoritas ilmu. Guru juga bukan merupakan sumber belajar, karena sumber belajar bisa didapatkan dari mana saja dan dari siapa saja. Tugas guru adalah mengapresiasi, mengapersepsi, mengeksplorasi untuk kemudian memanipulasinya agar mengarah pada tujuan pembelajaran serta bermanfaat seoptimal mungkin bagi kehidupan individu mereka sendiri maupun kehidupan masyarakatnya di masa sekarang dan akan datang. Tuhan saja meninggikan kedudukan mereka, mengapa kita sebagai guru justru menganggap bahwa mereka rendah ?

Pandangan inilah yang akan membuat guru lebih bersemangat untuk menciptakan suasana belajar yang lebih menantang berpartisipasi aktif, belajar di atas minat yang dibangun bersama, membimbing untuk berfikir dan bersikap positif, membangkitkan motivasi, rasa ingin tahu, keinginan berpetualang dalam rimba ilmu, dan kegairahan belajar yang menyenangkan, meningkatkan kepercayaan diri serta menantang untuk meraih impian.

Ujian curang..? Why not...?

Pekan ini (tanggal 16-19 April 2012) dunia pendidikan (khususnya) untuk tingkat SLTA tersibukkan dengan pelaksanaan Ujian Nasional. Berbagai macam berita telah disuguhkan secara nyata tidak hanya oleh media-media cetak, tapi yang lebih mencengangkan adalah yang bersumber dari media elektronik (baca : televisi). Mengapa..? karena ia menayangkan tidak hanya tawuran pelajar pasca ujian, tetapi juga kecurangan-kecurangan yang terjadi pada pelaksanaan ujian. Ada yang dengan senyum ceria karena telah mendapatkan jawaban lima paket sekaligus sebelum pelaksanaan ujian, ada yang sembunyi-sembunyi melihat bocoran jawaban melalui ponsel, sampai pada yang secara terang-terangan bertukar jawaban tanpa peduli bahwa di dalam ruang ujian terdapat dua orang pengawas yang sibuk dengan HP-nya ataupun (mungkin) sedang “sharing” masalah keluarga dan ekonomi, demikian menurut berita tv.

Masa sih segitunya anak-anak kita..? Ya iya lah... karena mereka disinyalir bergerak secara “terorganisir” sehingga merekapun nyaman melakukannya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, “mengapa anak-anak kita melakukannya setiap terjadi ujian nasional?”. Untuk menjawab pertanyaan ini penulis merasa perlu untuk menarik ke belakang potret pendidikan kita yang salah satu diantaranya adalah telah terangkat pada awal tulisan ini, yaitu Nilai Akademik sebagai penentu keberhasilan peserta didik. Namun pada dasarnya bukan hanya faktor itu saja yang melatarbelakangi keganjilan dunia pendidikan ini.

Sedikitnya penulis mengungkapkan terdapat empat faktor utama mengapa hal ini mesti terjadi, yaitu :

· Adanya ketimpangan terhadap soal-soal ujian nasional yang seolah tidak membedakan bobot soal antara siswa di perkotaan dengan siswa di pedesaan bahkan pelosok sekalipun. Untuk hal ini, silakan pembaca mencermatinya secara bijak bahwa pengalaman belajar yang diperoleh peserta didik di pedesaan dan pelosok jelas sangat berbeda dengan yang ada di perkotaan, terlebih jika mereka ter-back up oleh kemampuan ekonomi keluarga yang mapan. Hal ini sudah barang tentu akan dijawab oleh pemerintah melalui kemendiknas, bahwa antara suatu daerah dengan daerah lain pasti terdapat perbedaan bobot soal. Namun ia baru hanya sebatas antar provinsi saja, sementara sangat tidak menutup kemungkinan dalam satu provinsi terdapat beberapa daerah kabupaten (bukan kota) yang jangankan peserta didiknya, sekolahannya saja “laa yahya wa laa yamuutu” (berkembang tidak, dikatakan matipun juga gak mau).

· Terdapatnya standarisasi kelulusan dengan berpatokan utama kepada nilai hasil ujian dan nilai akademik sekolah. Melakukan evaluasi yang salah satunya dengan memberikan nilai sebagai sebuah penghargaan atas “kerja keras” peserta didik memang perlu. Namun jangan sampai peserta didik termakan sebuah tuntutan bahwa nilai tinggi adalah penjamin masa depan. Inilah yang kemudian Nilai Akademik menjadi disanjung dan didewakan, seolah peserta didik yang tidak memiliki nilai akademik baik sesuai tuntutan kompetensi memiliki masa depan yang suram, dan siap hidup susah. Dengan adanya penentuan nasib yang seolah (hanya) bergantung pada “empat hari” itulah yang kemudian memaksa peserta didik, bahkan (maaf..) guru pun melakukan tindak kecurangan. Akibat ketergantungan itulah, maka peserta didik akan merasa gagal untuk melanjutkan hidup dan kehidupannya sesuai dengan yang diharapkan. Misalnya ; khawatir gagal masuk di industri (baca ; kerja) dan khawatir tidak jadi meneruskan kuliah di perguruan tinggi.

· Peserta didik tidak pernah diberikan sebuah penyadaran bahwa kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Mereka kurang termotivasi untuk melakukan perubahan-perubahan sesuai tuntutan zaman yang penuh dengan karya-karya baru yang lebih kreatif dan menjanjikan. Terlebih Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan kaya akan hal-hal lain yang jarang ditemukan di negara lain sekomplit Indonesia. suntikan-suntikan penyadaran inilah yang sebenarnya dibutuhkan oleh anak-anak kita yang notabenenya adalah pemegang tongkat estafeta amanah bangsa ke depan.

· Perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan masih belum secara merata dan adil. Tengok saja sekolah-sekolah yang (maaf) dari segi bangunan fisiknya, disundul kucing saja ambruk. Yah, maklum ia berada di pelosok dan desa, kepala dan yayasannya saja bukan orang yang “dekat” dengan birokrasi. Sementara dapat kita tengok sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas yang berstandar “internasional”, alamaaaak .... bagus, bersih, komplit lagi sarananya. Yah, maklum saja lah, siapa sih pejabat yang tidak kenal orang-orang yang duduk di yayasan tersebut..? Tinggal bilang, buat proposal seadanya, cair.. deh. Jadi, bagaimana mau mempersiapkan peserta didik pedesaan untuk dapat bersaing dengan yang ada di perkotaan? Gurunya saja gak Pe De saat bersanding dengan guru sekolah mentereng di Forum MGMP, bagaimana siswanya ..?

Inilah pembaca yang budiman mengapa setiap digelar Ujian Nasional selalu saja terjadi kecurangan. Kita patut prihatin dengan empat pilar yang melatarbelakangi hal tersebut. Pada satu sisi, UN berfungsi sebagai salah satu alat evaluasi dalam system pendidikan kita. Meski di sisi yang lain tidak sedikit kalangan praktisi pendidikan akhirnya menjustifikasi bahwa UN adalah satu-satunya instrument yang menentukan baik buruknya wajah pendidikan kita. Karena itu, di mata mereka UN menjadi segala-galanya. Keberhasilan pendidikan kita akhirnya diukur dengan hasil UN semata. Maka siswa yang dianggap sukses adalah siswa yang Lulus UN. Sekolah yang dianggap sukses adalah sekolah yang paling banyak meluluskan siswanya.

Anggapan semacam ini tentunya berujung pada kelahiran sikap-sikap pragmatism sempit dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan hanya dipahami hanya sebatas pencapaian hasil akhir berupa angka-angka statistik tingkat kelulusan, bukan rangkaian proses panjang dan sinambung yang melibatkan pembentukan karakter dan perilaku peserta didik.

Sampai dengan hal ini, bukan hanya penulis yang menilai bahwa UN hanya melahirkan potensi mengkerdilkan pendidikan kita, tetapi masyarakat dan banyak guru-guru swasta maupun negeri yang memiliki pendapat yang sama. Mengapa ? Sebab, UN disinyalir berkemungkinan besar akan mendorong anak didik dan guru-guru kita lebih mementingkan hasil dan pengakuan dari pada proses. Jika itu kemudian terjadi secara meluas, maka akan melahirkan individu-individu yang jangankan memiliki inovatif karena untuk memiliki kreatifitaspun proses pendidikan mereka terpasung habis.

Penutup

Idealisasi pendidikan kita tertuang dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Maka jika hal di atas benar-benar ingin menjadi sesuatu yang diwujudkan dalam bentuk nyata, sudah barang tentu praktisi pendidikan harus melakukan semacam reorientasi dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan kita telah terlanjur (untuk tidak dikatakan terperosok) pada orientasi perolehan target hasil akhir secara instan yang hanya diukur dengan angka-angka mati. Reorientasi harus diarahkan pada idealisasi pendidikan kita yang berorientasi pada proses dan diukur dengan terciptanya pembentukan karakter dan perilaku peserta didik.

Demikian pula terjadi pada guru yang memang diakui atau tidak, profesi guru adalah profesi yang seringkali tidak diukur dengan untung rugi, tetapi profesi yang lebih berpijak kepada sebuah pepatah melayu kuno, yaitu : “Jadilah orang yang memberi sebanyak-banyaknya, bukan orang yang menerima sebanyak-banyaknya.”

------------

Penulis adalah Guru di SMK Negeri 1 Tonjong Kab. Brebes.



[1] Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1992, hlm. 45

[2] S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta, 1992, hlm.3

[3] Amir Faisal, Mencetak Siswa Unggulan dengan Spiritual Quantum Teaching, SQ Consul, Semarang, 2007, hlm. 26.

[4] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1988, hlm. 251

[5] Sardiman AM., Interaksi dan Motivasi Belajar dan Mengajar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 28-30.

03 Desember 2011

ASAL BUMIAYU.. (Antara Legenda dan Mitos)

Oleh : Muhammad Subkhan*

Muqaddimah

Permohonan maaf penulis terlebih dahulu penulis haturkan kepada publik, karena tulisan di bawah ini cerita rakyat dari mulut ke mulut yang tentunya memiliki banyak versi serta tidak dijumpai sumber yang dianggap paling autentik yang dapat dijadikan acuan secara pasti. Namun setidaknya tulisan ini dapat menjadi khazanah bagi masyarakat Bumiayu dan sekitarnya untuk dapat diketahui bagaimana sebuah legenda maupun mitos yang selama ini hanya menjadi buah bibir tanpa memiliki nilai yang berarti.

Oleh karenanya, penulis tidak mencantumkan kata “sejarah”, untuk menghindari adanya satu anggapan upaya pemelintiran kata “sejarah” (yang menurut para sesepuh dan tokoh, Bumiayu dan dan empat kecamatan lain disekitarnya, yakni ; Paguyangan, Bantarkawung, Sirampog dan Tonjong tidak memiliki hubungan historis dengan sejarah penamaan Brebes sebagai induk pemerintahannya).

Penulis sangat merasa berterimakasih jika ada diantara pembaca dapat memberikan informasi (terutama berkaitan erat dengan nama ; Balaikambang, Kedatuan, Linggapura, Pesanggarahan, Balapusuh, Rajawetan, Margasari, Balapulang, dan Slawi) yang masih belum dapat tercover dalam tulisan ini. Kritik dan saran selalu penulis harapkan, terutama bagi yang memiliki ikatan kultural dengan Kota Bumiayu dan sekitarnya.

Perjalanan dari Mataram

Diawali dari mangkatnya Raden Mas Rangsang yang bergelar Panembahan Agung Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman atau yang masyhur disebut dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma pada tahun 1645, tepat enam tahun setelah berhasil menaklukan Blambangan tahun 1939. Sultan Agung telah berhasil melakukan ekspansi ke deluruh daerah di Jawa dan Madura (kecuali Banten dan Batavia)[1] dan beberapa daerah luar Pulau Jawa, seperti ; Palembang, Jambi dan Banjarmasin. Mangkatnya Sultan Agung membuat sang putra mahkota Pangeran Arum didaulat untuk memimpin Mataram, dengan gelar Sunan Amangkurat I. Nama aslinya adalah '''Raden Mas Sayidin''', putra [Sultan Agung]. Ibunya bergelar Ratu Wetan, yaitu putri Tumenggung Upasanta Bupati [Batang] (keturunan [Ki Juru Martani]). Ketika menjabat [Adipati Anom] ia bergelar '''Pangeran Arya Prabu Adi Mataram'''. Amangkurat I memiliki dua orang permaisuri. Putri [Pangeran Pekik] dari [Surabaya] menjadi Ratu Kulon yang melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi [Amangkurat II]. Sedangkan putri keluarga Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas Drajat, kelak menjadi [Pakubuwana I].

Sejak kepemimpinannya, wilayah Mataram berangsur-angsur menyempit karena aneksasi yang dilakukan oleh Belanda. Perpecahan tersebut disamping atas peran Belanda, juga akibat adanya kegusaran masyarakat atas ekspansi yang dilakukan oleh Mataram yang menjelang mangkatnya Sultan Agung. Pemberontakan-pemberontakan terhadap kekuasaan raja banyak dilakukan, antara lain dari ; keturunan Sunan Tembayat, keturunan Kadilangu, Wangsa Kajoran, keturunan Panembahan Rama dan Panembahan Giri.

Atas gencarnya aksi pemberontakan tersebut, mengakibatkan posisi Sunan Amangkurat I terpojok (yang dalam versi ini diindikasikan menjalin kerjasama dengan VOC - Verenidge Indische Oast Compagnie, sebuah organisasi monopoli perdagangan milik Belanda di Batavia) sehingga ia berinisiatif untuk menyelamatkan diri dan hendak meminta bala bantuan kepada Gubernur Jenderal De Cock.

Penamaan Ajibarang

Perjalanan Sunan Amangkurat I dikawal para prajurit keratin dengan mengambil route perjalanan Kedu-Banyumas-Tegal untuk kemudian singgah di Kadipaten Carbon atau Caruban atau Cirebon. Singkat cerita, sesampainya di suatu daerah barat Banyumas, Rombongan Gusti Sunan kehabisan perbekalan. Kemasygulannya bertambah setelah ia harus menerima kenyataan bahwa ia harus kehilangan puluhan prajuritnya yang mati akibat jarak tempuh perjalanan secara infanteri dengan medan yang berat dan sangat jauh.

Di daerah tersebut, abdi setia Sunan Amangkurat I, bernama Kyai Pancurawis yang juga bertindak sebagai sais kereta kencananya, kemudian berusaha menjual barang-barang bawaan yang masih tersisa demi untuk kemudian ditukar atau dibelikan kembali dengan bahan-bahan makanan pokok sebagai perbekalan untuk meneruskan perjalanan yang masih jauh. Usaha Kyai Pancurawis beserta para Ponggawanya ternyata berhasil. Baik barang yang memiliki nilai jual tinggi ataupun rendah semuanya terjual dan tertukar habis sehingga berhasil mendapatkan perbekalan yang dikehendaki.

Bukan main senangnya hati Gusti Sunan melihat usaha abdi-abdinya. Sebagai wujud rasa syukurnya, ia menamakan daerah tersebut dengan AJIBARANG, yang berarti barang apapun yang dijual didaerah tersebut “ana ajine” atau ada harganya.

Legenda Paguyangan

Perjalanan kembali dilanjutkan. Kali ini kembali Gusti Sunan harus menelan pil pahit. Betapa tidak, kuda penarik kereta kencananya mendadak jatuh tersungkur terkulai tak berdaya. Berbagai cara ia lakukan untuk dapat mengembalikan kondisi kudanya. Hal tersebut terutama dilakukan oleh Kyai Pancurawis, dimana Kyai Pancurawis terkenal sebagai abdi keraton yang memiliki daya linuwih yang cukup tinggi. Di tengah suasana keprihatinan itu, Gusti Sunan beserta rombongannya beristirahat sembari menunggu hasil laku tapa yang dilakukan oleh Kyai Pancurawis di sebuah tempat petilasan Senopati Linduaji (yang dulu pernah menjadi spionase ayahandanya, Sultan Agung). Tempat tersebut sekarang dikenal dengan sebutan Curug Pereng dekat mata air Kali Pemali Desa Winduaji Kecamatan Paguyangan. Sementara tempat peristirahatan Sunan Amangkurat I di kawasan tersebut sekarang dikenal dengan nama Desa Pesanggahan (yang berarti tempat singgah ; sanggrah).

Dari petunjuk yang dihasilkan dari laku tapa tersebut, Kyai Pancurawis mendapatkan perintah supaya ia mengambil air yang berasal dari sebuah sendang (danau) di lereng Gunung Slamet yang dihuni oleh makhluk air jejaden (jejadian) jelmaan ponggawa Nyai Roro kidul. Segeralah Kyai Pancurawis terhenyak dari laku semedinya, untuk kemudian mencari tempat yang dimaksud. Cukup lama ia mencarinya, akhirnya ditemukanlah tempat yang ia tuju. Sebuah sendang di tempat yang sangat sejuk yang sekarang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan TELAGA RANJENG, dengan jutaan ikan lele sebagai penghuninya.[2]

Kyai Pancurawis menerima petunjuk, jika air yang berasal dari sendang tersebut kemudian dapat disiramkan ke sekujur tubuh kuda penarik kereta kencana Gusti Kanjeng Sunan Amangkurat I yang dalam kondisi sekarat. Hasilnya ternyata sungguh mengejutkan, setelah sekujur tubuh kuda itu basah terkena siraman air Telaga Ranjeng, secara berangsur-angsur namun dalam waktu yang cukup singkat, kuda itu dapat pulih seperti sedia kala. Atas keberhasilan usaha Sang Sais, Gusti Sunan berujar, “Tempat ini aku namakan PAGUYANGAN, dan aku yakin kalau tempat ini tidak akan kekurangan air sampai kapanpun sebagai sumber kehidupan masyarakatnya kelak.”

Di tengah kegembiraan sumringah wajah Gusti Sunan, terdengar helaan berat nafas Kyai Pancurawis yang masih berfikir tentang adanya pantangan bagi kuda kesayangannya itu. Dalam petunjuk yang ia terima, jika kuda itu telah pulih, maka hal yang tidak boleh ia lakukan adalah menginjak bambu kering. Jika pantangan itu terlanggar, maka tak ayal lagi kematian yang akan menimpa kuda tersebut.

Tibalah di suatu tempat dimana kejadian yang tidak diinginkan kembali terjadi. Dalam perjalanan berikutnya, secara tiba-tiba kereta kencana terangkat ke atas sampai hampir menjatuhkan Sunan Amangkurat I. Seekor ular besar tampak berada di depan kereta kencana. Sontak saja, kuda penarik mengangkat kakinya tinggi-tinggi. Dengan tenang, Kyai Pancurawis mencoba menenangkan gelisah dan ketakutan si kuda. Diambilnyalah sebuah bambu kering yang digunakan untuk mengusir ular yang menghadangnya. Tampak si ular tak kuasa menghadapi kekuatan batin Kyai Pancurawis, sehingga ia terpaksa harus meninggalkan mangsanya. Kepergian ular itu membuat tenang perasaan seluruh rombongan tak terkecuali Kyai Pancurawis dan kuda kesayangannya. Dibuangnyalah bambu kuning pengusir ular tadi, namun tak disangka dan tak dinyana, Kyai Pancurawis tak menyadari jika kudanya menginjak bambu kuning yang ia buang di hadapan kereta kencana Gusti Sunan sehingga mengeluarkan bunyi “kre..tek !”. (tempat tersebut kemudian dinamakan Desa KRETEK).

Suara angin menderu dan membahana seolah memecah keheningan rombongan Sunan Amangkurat I. Ia dan rombongannya merasa seolah-olah ada yang sedang memburunya dengan kekuatan yang sangat dahsyat. Lari secepat kilat adalah pilihan terbaik yang dapat dilakukan rombongan saat itu, sehingga tempat berlarinya rombongan tersebut oleh masyarakat sekarang dikenal dengan nama PAGOJENGAN, berasal dari kata “nggojeng” yang berarti ; berlari cepat.

Bumiayu ; Mitos dan Legenda Nyai Rantansari

Sunan Amangkurat I dan wadya balanya memasuki suatu wilayah, dimana ia dan rombongannya dihadapkan pada suatu kejadian yang amat serius dan sangat membingungkan. Hal ini terjadi setelah rombongan masuk sebuah desa bernama “DAHA”.[3] Tanpa sebab musabab yang jelas, mendadak kuda penarik kereta kencana yang tidak lama telah melewati masa kritis, tiba-tiba terkulai lemas dan mati.

Bukan main sedihnya hati Gusti Sunan, terlebih Kyai Pancurawis yang merasa telah menyatu dengan kuda tersebut. Beberapa prajuritnya juga hilang tak berbekas seperti lenyap ditelan bumi. Dengan penuh rasa haru, dikuburkannyalah kuda itu di suatu tempat yang sekarang bernama KARANGJATI. [4] Agak lama Gusti Sunan dan rombongan berada di tempat tersebut. Ia telah mengalami beberapa peristiwa yang mengguncangkan hatinya. Ia sadar, jika ia telah lalai dalam menjalankan amanat sebagai Sultan Mataram sesuai dengan pesan dan petuah ayahanda dan kerabat keluarga kasultanan Mataram. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Allah SWT dan prajurit-prajurit yang masih setia kepadanya.

Begitu mendalam pula kesedihan yang dialami Kyai Pancurawis, yang kemudian ia meminta izin kepada Sunan Amangkurat I untuk diperkenankan tetap tinggal di Karangjati mengurus kuburan kuda kesayangannya sampai ajal menjemputnya.[5] Walhasil dengan tidak ikut sertanya Kyai Pancurawis menemaninya melanjutkan perjalanan, maka Gusti Sunan pun menjadi tidak memiliki semangat. Satu-satunya harapan yang sekarang ia miliki hanyalah bertemu dengan seseorang yang dapat mengobati kegundahan hatinya dan meluruskan langkah kehidupannya. Sesaat ia memandang sekeliling, tampak di pelupuk matanya Gunung Slamet yang menjulang tinggi ke angkasa, didampingi pebukitan yang setia menemani keperkasaannya. Sementara lerengnya, terhampar area pesawahan yang merupakan panorama keindahan alam sangat luar biasa. Sebuah wilayah yang masih dalam kekuasaan pemerintahannya di Mataram dengan masyarakat yang ramah dan religius, begitu pikirnya. Decak kagumnya, mengundang hasratnya untuk memberikan nama wilayah ini dengan nama BUMIAYU.

Di Bumiayu inilah Sunan Amangkurat kemudian bertemu dengan sosok wanita jelita yang memikat hatinya. Ia berusaha menghampiri wanita itu, namun semakin cepat ia berusaha meraihnya semakin cepat pula wanita itu lenyap dari pandangan matanya. Sampailah Gusti Sunan di sebuah tempat dimana ia melihat wanita itu masuk dan hilang tak berbekas. Betapa terkejutnya Gusti Sunan, ketika secara tiba-tiba muncul suara tanpa rupa yang menasehatinya supaya selalu mendekatkan diri kepada Tuhan dan untuk memperolehnya ia harus terus berjalan ke utara bukan ke barat. Di bawah pohon beringin besar ia tertunduk lesu sembari menyadari kealpaannya selama ini. Tempat tersebut kini bernama Dukuh Kramat (yang berarti Kramat ; Wingit atau angker) dan terdapat CANDI KRAMAT yang dipercaya masyarakat setempat dihuni oleh Nyai Rantansari.[6]

Sosok wanita ayu itu juga yang ikut memiliki peran atas penamaan Bumiayu ini. Menurut Sunan Amangkurat I, pemberian nama Bumiayu ini memang selain memiliki panorama alam yang sangat indah, juga karena wilayah ini “dikuasai” oleh Nyai Rantansari yang memiliki kecantikan tiada tanding.

Ikhtitam

Dalam versi Babad Mataram disebutkan bahwa, pelarian Amangkurat I membuatnya jatuh sakit. Menurut ''Babad Tanah Jawi'', kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Mas Rahmat. Meskipun demikian, ia tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai raja selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar. Amangkurat I meninggal pada 13 Juli 1677 , dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di [Tegal]. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum.
Oufers hadir disana dengan dua belas orang serdadu.
Amangkurat I juga berwasiat agar Mas Rahmat meminta bantuan VOC dalam merebut kembali takhta dari tangan Trunajaya. Mas Rahmat ini kemudian bergelar [Amangkurat II] dan mendirikan [Kasunanan Kartasura] sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram. Legenda yang beredar disebutkan pula bahwa, cukup lama Sunan Amangkurat I berada di wilayah Bumiayu dan sekitarnya. Singkat cerita, sampailah ia berada di suatu tempat bernama Adiwerna. Dengan bekal ketakwaan dan silsilah darah birunya, membuatnya menjadi panutan masyarakat sehingga ia mendapatkan gelar SUNAN TEGAL ARUM atau SUNAN TEGALWANGI. Ia dimakamkan di Pesarean Lemah Duwur Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal. Konon, makamnya pada hari-hari tertentu mengeluarkan bau harum, karenanya ia mendapatkan gelar Tegal Arum. Pemakamannya selalu ramai dikunjungi para peziarah, khususnya setiap malam Selasa atau Jum’at Kliwon, terlebih pada malam 1 Suro atau malam tanggal 1 Muharram tahun baru Islam. Para peziarah dating dari berbagai penjuru memadati ruas-ruas jalan Slawi-Tegal tentunya dengan berbagai macam tujuan. Namun sangat penulis sesalkan, bahwa tulisan cerita ini belum lengkap versinya. Belum ada informasi yang cukup meyakinkan penulis untuk dapat dimuat dalam sebuah cerita legenda, terutama tentang penamaan Dukuh Balaikambang, Kedatuan, Pesanggrahan, Desa Linggapura, Balapusuh, Rajawetan sampai dengan Adiwerna Kabupaten Tegal.

Wallahu a’lam bishawab.

· Penulis adalah Pengajar di SMK Negeri 1 Tonjong Kab. Brebes

· Pernah “ngajar” juga di ; SMP BU Bumiayu, SMK Kerabat Kita Bumiayu, SMPN 1 Tonjong



[1] Sultan Agung pernah dua kali mencoba melakukan serangan ke Batavia, yaitu pada tahun 1627 dibawah pimpinan Tumenggung Baureksa dan Tumenggung Suro Agul-agul. Tahun 1629 dibawah pimpinan Kyai Ageng Juminah, Kyai Ageng Purbaya dan Kyai Ageng Puger, Kedua penyerangan tersebut tidak berhasil menembus benteng pertahanan VOC di Batavia. Prajurit Mataram telah kehabisan tenaga akibat kurangnya perbekalan, karena dibakar pengkhianat. Kegagalan itu sebenarnya sudah dapat dirasakan oleh Senopati Linduaji yang bertugas sebagai spionase, yang menyatakan terdapat indikasi penyusupan dan pengkhianatan oleh masyarakat yang ditugasi menjaga lumbung padi untuk perbekalan prajurit Mataram yang ditempatkan di daerah perbatasan (Jawa Tengah – Jawa Barat). (ENSIKLOPEDI ISLAM, Jilid 3)

[2] Penduduk setempat mempercayainya, bahwa ikan-ikan tersebut diutus untuk menjaga area pesawahan di Desa Pandansari. Konon, sawah-sawah di desa ini tidak pernah terkena hama tikus. namun daerah sekitar, banyak ditemukan sawah yang terkena hama tersebut, yang diyakini kalau tikus-tikus tersebut bersumber dari ikan-ikan lele yang berada di Telaga Ranjeng. Wallahu a’alam ….

[3] Konon menurut cerita, Desa Daha ini leluhur dan pendirinya adalah berasal dari Kerajaan Daha, Kediri Jawa Timur. Sekarang desa tersebut bernama Negaradaha berada di Wilayah Kecamatan Bumiayu. Di desa tersebut juga terdapat suatu tempat bernama Candi Nyai Rantansari yang dipercaya memiliki hubungan dengan Candi Kramat di Bumiayu yang juga Nyai Rantansari sebagai Danyang yang Mbahurekso tanah Bumiayu.

[4] Dukuh Karangjati terletak di Desa Kalierang Kecamatan Bumiayu. Terdapat sebuah tempat dimakamkannya Kyai Pancurawis dan kuda kesayangannya, yang sekarang tempat tersebut dikenal oleh masyarakat dengan nama CANDI PANCURAWIS.

[5] Sampai dengan akhir hayatnya, konon Kyai Pancurawis yang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu kemudian ditokohkan oleh masyarakat sekitar. Ia dimakamkan disamping kuda kesayangannya sesuai dengan wasiat sebelum wafatnya.

[6] Masyarakat mempercayai Sosok Nyai Rantansari adalah sebagai Danyang atau sebangsa Jin perempuan yang masih memiliki ikatan dengan penguasa Pantai Selatan, Nyai Roro Kidul. Konon, ia suka memakai pakaian hijau pupus. Maka, kepercayaan masyarakat Bumiayu, adalah pantang bagi orang memakai pakaian dengan warna yang sama saat masuk ke Dukuh Kramat, terlebih saat memasuki kawasan Candi Kramat.

01 Desember 2011

NASIB INDONESIAN SOCCER TIMNAS


Dulang Prestasi, (dan) Dulang Prestise
Pesta Olah Raga negara-negara se Asia Tenggara dah sepekan berlalu. Indonesia telah meraup sukses acara sekaligus sukses prestasi. Hal ini ditunjukkan dengan lancarnya penyelenggaraan tidak hanya di Jakabaring Sport City, tetapi juga di Jakarta en kota-kota lain yang menjadi tempat dilangsungkannya beberapa cabang olah raga.
Kumandang lagu kebangsaan setiap hari senantiasa mengiringi naiknya Sang Dwi Warna, sebagai perlambang keperkasaan para atlet yang meraup medali emas. Secercah harapan kembali muncul di wajah Bangsa negeri ini untuk menjadi "Macan Asia" terutama di pentas-pentas Olah Raga. Hal ini wajar, karena telah lama "Macan" ini tertidur, terninabobokan oleh kejayaan masa silam.
Sekedar mengenang masa lalu saja, penulis ingin mengungkapkan rasa rindu kejayaan beberapa cabang Olah Raga profesional yang dulu pernah menjadi harapan dan perlambang keperkasaan bangsa. Tercatat dalam sejarah, di cabang Bulutangkis, kita tersenyum karena Rudi Hartono, Liem Swie King, Icuk Sugiarto meraih poin penuh sebagai "Raja" di ajang All England. Bahkan Piala Thomas dan Uber beberapa kali disandingkan para atlet Pelatnas. Kita juga ingat kala, Bambang Nurdiansyah menjadi pengawal gawang Timnas bersama dengan Heri Kiswanto dll saat dapat mengalahkan Korea Selatan di ajang Pra Piala Dunia. Dari dunia Tinju profesional, Ellyas Pical sempat menorehkan tinta emas bagi perjalanan Tinju Dunia. Dan tentunya beberapa cabang olah raga lainnya yang pernah menjadi kebanggaan masyarakat negeri ini.

Kalah sama Malaysia Timnas Sepakbola Indonesia di laga terakhir Sea Games kemarin, berhadapan di partai Final (kembali) melawan Malaysia setelah sebelumnya berhasil mencukur Timnas Vietnam yang menjadi Juara Group A. Supporter yang memadati Gelora Bung Karno dan Senayan serta jutaan warga Indonesia menaruh harapan kepada Egi dan Timnas kita untuk dapat membalas kekalahan kita di ajang AFF.
Gemuruh suara supporter diharapkan dapat membangkitkan "cakar Garuda" untuk dapat menerkam" Harimau Malaya". Namun apa hendak dikata, cakar Garuda seolah tumpul saat berhadapan dengan" Taring Harimau Malaya". Kekalahan dramatis Timnas Indonesia lewat adu finalti membungkam jutaan warga Indonesia yang menyaksikan secara live laga itu.
Kecewa ...?! itu PASTI. Namun laga ini bukan hanya "perang prestasi" tapi lebih pada "perang prestise". Mengapa disebut sebagai perang prestise ? O, ya.... jelas, kalah dari Malaysia lebih menyakitkan dibanding dengan Vietnam, Philipina, bahkan Timor Leste sekalipun. Hal ini tidaklah berlebihan. Beberapa faktor yang melatarbelakangi, dapat penulis ungkapkan sebagai berikut :
  1. Masyarakat negeri ini telah dibuat "geregetan" oleh ulah Malaysia yang tak ubahnya macam perampok. Ngrampok budaya lah (Kesenian Reog dan Batik), ngrampok pulau lah (Sipadan dan Ligitan) bahkan beberapa pulau juga (kabarnya) mau dicaplok lagi macam Camar Bulan.
  2. Malaysia telah dituduh menghina martabat bangsa Indonesia dengan perlakuan kasar para majikan terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia. Tak jarang dari para TKW ini pulang tinggal nama. (Yang ini sih..bukan salah mereka secara murni, kita yang mesti introspeksi).
Ya... demikian itulah, faktor utama yang menjadi peperangan prestise pada laga Football kita.

Apa yang salah dengan Pemain Timnas kita ?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kayaknya sulit banget deh. Pernah sih pelatih asal Belanda Si Wim Rijkburgen ketika dia menangani Timnas senior berkilah, kalau postur tubuh menjadi alasan utama Timnas kita kalah sama Bahrain, Qatar dan Iran. "Apa iyaa... Meneeer ?"
Mungkin Meneer Wim belum pernah tengok postur Timnas Korea sama Jepang kali ya.... Kalau mau dibandingkan, kita sama koq dengan mereka. Tapi mereka bisa tampil di ajang World Cup.
Persoalan bola ini tidak lepas dari pendidikan karakter bangsa yang telah mengurat akar di negeri ini.
Lho... hubungannya apa, Mas ? kalau dilihat dari sudut pandang etika agama (maaf neh cuma bisa dari sisi ini aja), kita ini terlalu sombong meminta sesuatu kepada Tuhan. (sekali lagi maaf, ni tak sampaikan karena Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berke-Tuhan-an). Saat orang Jawa dan kebanyakan bangsa timur lainnya menanamkan etika anak meminta sesuatu pada orang tuanya, mereka diajarkan untuk berbuat santun dan sopan dengan (maaf) menengadahkan tangan. Bagaimana dengan meminta sesuatu kepada Tuhan ? (misalnya ; minta menang atau Bangsa menjadi JAYA..?). Saya kira sama lah ya...
Upacara-upacara yang tiap Senen digelar di sekolah-sekolah ternyata belum menyentuh hal itu. Mereka lebih "memilih" gaya militer dari pada sipil. Maklum... militer kan pegang senjata, jadi kalo upacara gak pake mengangkat tangan sebagai tanda "butuh". Nah... kita militer bukan kenapa harus (cuma) menundukkan kepala atau sekedar mendengar laporan dari Sang Pembaca Do'a ?
Jadi apa sih susahnya mengangkat tangan saat berdo'a sekalipun pada kegiatan sekelas upacara. Begitu angkuhkah kita sampai kepada Tuhan Yang Maha Kuasa kita tidak kuasa mengangkat tangan ? "Aaahhh... yang penting kan niatnya, Mas". Eeiiiiittt .... kalo alasannya niat saja, mbok ya konsisten .... Habis shalat cukup tundukkan kepala saja dong gak pake ngangkat tangan.
Iya dong, Sang Dwi Warna naik saja, kita mesti angkat tangan untuk hormat sebagai wujud dari penghargaan atas perjuangan para pahlawan tegakkan NKRI.
So.... marilah kita perbaiki diri (yang salah satunya) dengan menghargai Tuhan, yang semoga masih berkenan mengangkat derajat Bangsa Indonesia tampil kembali sebagai "Macan Asia".
FORZA INDONESIA ....!!!

29 November 2011

PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP PENDIDIKAN (Sebuah Renungan Bagi Para Guru Indonesia)


Pendidikan anak di jaman kesejagatan dan modern ini tidaklah mudah. Di satu sisi jaman ini memberikan berbagai banyak kemajuan teknologi yang memungkinkan anak-anak kita memperoleh fasilitas yang serba “canggih” dan “wah”. Anak-anak sekarang sejak dini sudah mengenal HP, camera, dan berbagai peralatan yang amat jauh dengan jaman “ aku si anak singkong”. Kemajuan yang demikian cepat juga ditengarai membawa dampak negatif seperti tersedianya informasi negatif melalui media masa yang sulit untuk dihindari. Misalnya: porno, kekerasan, konsumer-isme, takhayul, klenik dan kemusyrikan melalui berbagai media informasi seperti internet, handphone, majalah, televisi dan juga vcd.
Berbagai kenyataan modernitas dan ketersediaan tersebut faktanya tidak sulit bahkan setiap hari disediakan baik oleh keluarga, masyarakat dan juga dunia informasi. Maraknya dunia periklanan memaksa informasi beredar lebih mudah, lebih seronok dan juga lebih merangsang rasa ingin tahu, rasa ingin mencoba sebagai akibat “rayuan maut” publikasi yang memang dirancang secara apik oleh para ahli komunikasi dengan biaya yang mahal dan dengan dampak meluas dan mendalam. Dapat dikatakan informasi-informasi tersebut dapat lebih cepat hadir daripada sarapan pagi kita, atau lebih cepat disantap daripada nasehat orang tua.
Lingkungan Pengaruh
Bagi kebanyakan anak, lingkungan keluarga merupakan lingkungan pengaruh inti, setelah itu sekolah dan kemudian masyarakat. Keluarga dipandang sebagai lingkungan dini yang dibangun oleh orangtua dan orang-orang terdekat. Dalam bentuknya keluarga selalu memiliki kekhasan. Setiap keluarga selalu berbeda dengan keluarga lainnya. Ia dinamis dan memiliki sejarah “perjuangan, nilai-nilai, kebiasaan” yang turun temurun mempengaruhi secara akulturatif (tidak tersadari). Sebagaian ahli menyebutnya dbahwa Pengaruh keluarga amat besar dalam pembentukan pondasi kepribadian anak. Keluarga yang gagal membentuk kepribadian anak biasanya adalah keluarga yang penuh konflik, tidak bahagia, tidak solid antara nilai dan praktek, serta tidak kuat terhadap nilai-nilai baru yang rusak.
Lingkungan kedua adalah lingkungan masyarakat, atau lingkungan pergaulan anak. Biasanya adalah teman-teman sebaya di lingkungan terdekat. Secara umum anak-anak Indonesia merupakan anak “kampung” yang selalu punya “konco dolanan”. Berbeda dengan anak kota yang sudah sejak dini terasing dari pergaulana karena berada di lingkungan kompleks yang individualistik.
Secara umum masyarakat Jawa hidup dalam norma masyarakat yang relatif masih baik, meskipun pergeseran-pergeserannya ke arah rapuh semakin kuat. Lingkungan buruk yang sering terjadi di sekitar anak, misalnya: kelompok pengangguran, judi yang di”terima”, perkataan jorok dan kasar, “yang-yangan” remaja yang dianggap lumrah, dan dunia hiburan yang tidak mendidik.
Sebenarnya masih banyak pengaruh positif yang dapat diserap oleh anak-anak kita di wilayah budaya masyarakat Jawa, seperti: tutur kata bahasa Jawa yang kromo inggil ataupun berbagai peraturan hidup yang tumbuh di dalam budaya Jawa. Masalahnya adalah bagaiamana mengelaborasi nilai-nilai tersebut agar cocok dengan nilai-nilai modernitas dan Islam.
Namun pada masa kini pengaruh sesungguhnya mana yang buruk dan bukan menjadi serba relatif dan kadang tidak dapat dirunut lagi. Banyak anak yang mengalami kesulitan menghadapi anak bukan karena keluarga mereka tidak memberikan kebiasaan yang baik. Demikian juga banyak anak yang tetap dapat menjadi baik justru tumbuh di keluarga yang kurang baik.
Meskipun demikian secara umum berdasarkan penelitian, bahwa anak-anak akan selalu menyalahkan kondisi keluarga manakala mereka menghadapi masalah apa saja, apakah karena keluarganya telah melakukan yang benar apalagi kalau buruk.
Indikasi pengaruh negatif
Sulit untuk dipisahkan apakah karena kondisi keluarga atau lingkungan sebaya dan pergaulan. Namun sebaiknya para orang tua perlu meng-antisipasi beberapa indikasi negatif berikut ini:
(1) Apabila acara TV telah menyedot perhatian anak pada jam-jam efektif belajar. Berdasarkan survey bahwa anak-anak usia sekolah dasar perkotaan menghabiskan waktunya 43% untuk menonton acara TV pada jam-jam belajar. Mereka menjadi sasaran produser film dan iklan-iklan consumer good.
(2) Anak mulai menyukai kegiatan luar rumah pada jam-jam belajar di rumah dan mengalih-kan pada kegiatan non-belajar, seperti: jalan-jalan ke mall, play station, dan tempat nongkrong lain. Berdasarkan penelitian Deteksi Jawapos (Maret 2005) bahwa anak-anak SD sekarang ini mengalami penurunan greget belajar karena memperoleh alternatif mengalihkan perhatian pada (acara TV, hiburan luar ruang, dan jalan-jalan).
(3) Anak-anak merasa kesulitan menghafal atau mengerjakan PR secara terus menerus tetapi merasa ketagihan untuk melakukan hal-hal yang tidak berhubungan dengan pencerdasan diri. Berdasarkan pengamatan Prof. Kusdwiratri (Desember, 2004) menurunnya minat intelektual disertai tidak berminatnya pada kegiatan lain yang mencerdaskan anak bukti berhasilnya sistem hiburan secara massal terhadap anak-anak Indonesia dan dunia belajar anak yang gagal. Perlu diwaspadai jangan sampai pengaruhnya berlangsung permanen.
Pendidikan Integratif
Dengan sitem pengaruh lingkungan seperti sekarang ini, cukup sulit bagi keluarga jaman ini untuk hanya menekankan pendidikan di salah satu lini saja. Sehebat apapun keluarga menyusun sistem pertahanan diri, anak-anak tetap akan menajdi santapan dunia yang serba modern. Kalau tidak sekarang ya akhirnya akan bersentuhan juga. Menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah juga bukan segala-galanya. Jaman ini amat sulit mencari pendidikan yang “kaffah lahir dan bathin” serta terjangkau biayanya oleh kebanyakan orang tua.
Namun dari berbagai kekhawatiran tersebut, kini mulai muncul berbagai pendidikan alternatif yang bisa dipilih. Namun tetap harus menekankan bahwa pendidikan keluarga adalah inti dan sekolah adalah komplemen pelengkap. Beberapa pilihan cerdas tersebut dapat berupa:
(1) Sekolah fullday yang mengintegrasikan pendidikan agama dan pendidikan sains dalam lingkungan terkontrol dan terarah dengan nilai-nilai modernitas dan islami.
(2) Sekolah biasa yang bermutu dengan kontrol yang ketat dalam masalah akhlak dan perilaku dengan memberikan penguatan berupa kursus-kursus dan materi tambahan yang dapat memberikan keunggulan.
(3) Sekolah pesantren dengan menambah penguatan pada aspek sains dan ketrampilan.
Rumahku Surgaku
Bagaimanapun ujung dari pendidikan adalah tanggung jawab orang tua, yang berbasis rumah. Masalahnya adalah apakah setiap orang tua kita memiliki kecerdasan yang memadai untuk menjalankan fungsi besar ini? Itulah fungsi besar Ibu-ibu menjadikan rumah sebagai surga melalui tangan bijak sang suami.
Nampaknya ibu-ibu rumah tangga perlu dicerdaskan melalui pendidikan mitra-sekolah. Bahkan di jaman “ibu-ibu sibuk” memasuki dunia kerja, maka para pembantu rumah tangga kita perlu menjadi “Nanny and Govern” yang cerdik pandai seperti Halimah di jaman Nabi yang mampu mengajarkan bahasa Arab dengan kualifikasi terbaik, Yukabad di Jaman Fir’aun yang mampu mengajari Musa bagaimana menjadi pemuda tangguh.
Penutup
Tantangan terbesar dalam pendidikan anak jaman ini adalah informasi yang rusak dan pengaruh buruk yang diciptakan oleh lingkungan modernitas yang tidak berbasis agama.
Tugas berat para orang tua adalah meyakinkan fungsi keluarga mereka benar-benar aman, nyaman bagi anak-anak mereka. Rumah adalah surga bagi anak, dimana mereka dapat menjadi cerdas, sholeh, dan tentu saja tercukupi lahir dan bathinnya. Padahal mana ada surga yang dibangun di atas keserbakekurangan iman, ilmu dan amal sholeh.
Tugas masyarakat adalah bagaimana menjadi-kan dirinya aman bagi generasi mereka sendiri. Kini yang terjadi kita semua mencemaskan lingkungan kita sendiri. Bahkan kita hampir-hampir tak percaya dengan sekolah kita bahwa mereka mampu menjadi daerah yang aman bagi anak-anak kita.
Tugas besar ini memang mirip dengan tugas kenabian :
”Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al Kitab dan hikmah serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS. Al Baqarah:151).
Tetapi bukanklah Allah mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menyiapkan generasi yang terbaik untuk setiap jamannya. Inilah "pekerjaan rumah" para guru, yang saat ini konon menjadi profesi primadona (sebagai ganti dari kalimat "dari pada gak ada kerjaan"). Maka sebagai penutup dari tulisan ini adalah ;
  1. Marilah kita sebagai guru lebih banyak mencoba mengerti kondisi para peserta didik, dalam pengertian memberikan perhatian penuh tidak hanya dari segi transfer of knowledge, tetapi lebih pada transfer of values
  2. Keprihatinan ini juga meluas pada terciptanya sebuah ketulusan hati yang bersumber dari kesadaran diri dalam rangka mengabdi dan rasa saling berbagi
  3. Maka, doakanlah mereka dengan penuh keikhlasan dan bimbinglah dengan penuh kasih sayang, Insya Allah akan tercipta generasi-generasi yang dapat diandalkan untuk memegang tongkat estafeta amanah bangsa ke depan.