25 Juli 2010

REVITALISASI GERAKAN PRAMUKA (Sebuah Renungan Seorang Muslim yang Pramuka)


REVIEW SEJARAH GERAKAN PRAMUKA
Praja Muda Karana (Pramuka) adalah suatu wadah pendidikan kepanduan yang telah dikenal dan sangat familiar bagi bangsa Indonesia. Bagaimana tidak ? pendidikan kepramukaan telah dikenalkan dan tertanam pada peserta didik melalui sekolah-sekolah dari jenjang pendidikan dasar, menengah sampai pendidikan tinggi. Hal ini terutama pada dimulainya era orde baru sejak Soeharto menjadi presiden RI ke-2 menggantikan Soekarno.
Sementara pendidikan kepramukaan sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar Gerakan Pramuka Bab III Pasal 8 ayat 2, ialah proses pendidikan luar lingkungan sekolah dan di luar keluarga dalam bentuk kegiatan menarik, menyenangkan, sehat, teratur, terarah, praktis yang dilakukan di alam terbuka dengan Prinsip Dasar dan Metode Kepramukaan yang sasaran akhirnya pembentukan watak (Kwarnas, 2005: 8).
Kegiatan pendidikan kepramukaan di Indonesia merupakan organisasi kepanduan yang terbina secara struktural, dan The World Organization of The Scout Movement (WOSM) menjadi induk organisasinya di tingkat international. Dalam konteks ini yang disebut WOSM adalah komite dan Biro Pramuka Dunia (WSC dan WSB), serta komite-komite dan kantor-kantor regionalnya yang berupaya memberikan dukungannya yang efektif kepada Organisasi Kepramukaan Nasional atau National Scout Organization (NSO) dalam implementasi strateginya.
Telah menjadi sebuah catatan sejarah, bahwa pendidikan pramuka di Indonesia tidak lepas dengan pelajaran yang didapat dari pengalaman hidup pendiri gerakan kepramukaan sedunia, yaitu Lord Badden Powell of Gilwell. Pengalamannya mengilhami para remaja Inggris untuk menjadi warga negara yang baik. Pembinaan remaja inilah yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi gerakan pendidikan kepramukaan sebagaimana sekarang.
Gerakan spketakuler Badden Powell ini kemudian diadopsi oleh negara-negara Eropa lain, tak terkecuali Belanda. Belanda (saat itu) telah memiliki kekuasaan yang cukup luas dan tidak dapat dipandang sebelah mata oleh negara-negara besar Eropa lainnya. Di negerinya, Belanda mendirikan sebuah organisasi kepanduan bernama Padvinderij. Pun Belanda yang sedang menancapkan kuku penjajahannya di Indonesia turut pula mendirikan organisasi kepanduan yang sama, dengan nama Nederland Indische Padvinders Vereeniging (NIPV). (Suhartono, 2001; 100-101).
Hal ini kemudian berimbas pada pemikiran para tokoh pergerakan nasional di Indonesia, sehingga mereka kemudian mendirikan gerakan kepanduan, seperti ; Javaanese Padvinders Organitie (JPO), Sarekat Islam Afdeling Padvinderij (SIAP), Nasionale Islamitische Padvinderij (NATIPIJ), Hizbul Wathan (HW) dan lain sebagainya.
Banyak hal yang diperoleh dari pendidikan kepanduan yang banyak didirikan oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional. Para pemuda banyak belajar untuk menghayati semangat patriotisme yang diikuti adanya motivasi-motivasi akan terwujudnya Bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Motivasi-motivasi yang semacam ini kemudian teraplikasikan dengan membekali diri untuk dapat bertahan dan melakukan perlawanan secara fisik terhadap pemerintah kolonial Belanda. Para pemuda dengan penuh semangat belajar tentang teknik-teknik siasat perang (pengamatan medan, manajemen perjalanan, sandi-sandi, ketrampilan membuat halang rintang dan survival atau teknik bertahan hidup di alam bebas).
Adicita bangsa Indonesia untuk dapat merdeka itu pun yang kemudian mendorong para pemuda Indonesia melakukan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Maka, gerakan kepanduan nasional yang lahir dan mengakar di bumi nusantara ini merupakan bagian terpadu dari gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia yang kemudian terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penggalangan persatuan dan terpatrinya jiwa kesatria yang patriotik telah mengantarkan para pandu ke medan juang, bahu membahu dengan para pemuda lain untuk mewujudkan adicita bangsa Indonesia dalam menegakkan dan memandegani NKRI untuk selama-lamanya.
Dengan adanya hal yang dilakukan oleh para pandu yang telah terbukti dapat ikut serta dan memiliki andil besar dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia, maka pendidikan kepanduan menjadi suatu gerakan yang sangat penting untuk dilaksanakan dan dilestarikan keberadaannya.
Penyelenggaraan pendidikan kepanduan yang memiliki puluhan organisasi itu, menjelang tahun 1961 melebur menjadi satu dalam wadah bernama Persatuan Kepanduan Indonesia (PERKINDO). Sebelumnya puluhan gerakan kepaduan yang ada melebur dalam tiga federasi kepanduan, bernama ; Ikatan Pandoe Indonesia (IPINDO), Persatoean Organisasi Pandoe Poetri Indonesia (POPPINDO), dan Perserikatan Kepandoean Poetri Indonesia (PKPI). (Kwarda Jateng, 2005 : 10-11)
Bangsa Indonesia yang pada saat itu sedang menghadapi “musuh dalam selimut”, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI) merasa, bahwa PKI inilah yang menjadi sebab terdapatnya kelemahan atas kekuatan PERKINDO. PKI kemudian memaksa agar pemerintah membubarkan PERKINDO untuk kemudian mendirikan Gerakan Pionir Muda (GPM) sebagaimana terdapat di negara-negara komunis lainnya.
Namun kekuatan dari elemen-elemen masyarakat yang masih memegang teguh Pancasila, tetap memperjuangkan agar PERKINDO tidak dibubarkan, melainkan dikuatkan dengan pendirian sebuah organisasi kepanduan yang bersifat nasional, yaitu Gerakan Pramuka.
Sejak saat itu, mulailah Gerakan Pramuka mendapatkan signal kuat untuk dikembangkan pendidikannya pada sekolah-sekolah yang diselenggarakan menurut jalan aturan organisasi dengan kepengurusannya yang terstruktur secara nasional, yaitu : Kwartir Nasional (Pusat), Kwartir Daerah (Propinsi), Kwartir Cabang (Kabupaten/Kota), Kwartir Ranting (Kecamatan), dan Gugus Depan.
Pasca terkuaknya dalang pada peristiwa Gerakan 30 September, maka penanganan terhadap masalah pendidikan kepramukaan semakin digalakkan. Pemerintah seolah tidak ingin kecolongan atas ideologi bangsa Indonesia dari pengalaman sejarahnya dengan perolehan kursi PKI yang menduduki empat besar kontestan Pemilu setelah Madjlis Sjoera Moeslimin Indonesia (Masjoemi), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Nahdlatoel Oelama (NO).
Gerakan Pramuka kemudian bertambah kuat organisasinya karena memperoleh tanggapan positif dari masyarakat luas. Dalam waktu singkat, kepengurusan organisasinya telah didirikan dari kota-kota sampai ke kampung-kampung. Back Up pemerintah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di tingkat kabupaten / kota sampai pada tingkat kecamatan, disambut positif oleh satuan-satuan pendidikan untuk menyelenggarakan pendidikan kepramukaan. Demikian juga pada institusi-institusi pemerintah yang lain, seperti ; Departemen Kehutanan mendirikan Saka Wanabhakti, Departemen Kesehatan mendirikan Saka Bhakti Husada, Departemen Pariwisata mendirikan Saka Pandu Wisata, tidak ketinggalan juga dari pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian RI ikut serta melalui Saka Bahari, Saka Dirgantara dan Saka Bhayangkara. Mereka beranggapan bahwa disamping sebagai wadah kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan praktis, juga pendidikan kepramukaan adalah pendidikan dalam rangka penanaman ideologi Pancasila agar keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap terjaga.

KITA MUSLIM, KITA JUGA SEORANG PRAMUKA
World Organization Scout Movement (WOSM) mengungkapkan sebuah fenomena universal yang menjadi pengamatannya (Kwarnas, 2004 ; 27), bahwa saat sekarang ini sedang terjadi kesenjangan pendidikan pada hampir negara-negara di seluruh dunia, ia menyebutnya sebagai “Educational Deficit”(Defisit Pendidikan).
Pada jalur pendidikan formal, karena mendesaknya kebutuhan masyarakat yang semakin ketat persaingannya, maka sekolah semakin banyak substansi yang harus dipenuhi dan diajarkan. WOSM lebih lanjut mengatakan, bahwa “sekolah telah banyak kegiatan mengajar, tetapi semakin kurang dalam kegiatan mendidik”. Maksudnya telah dapat dimengerti, bahwa mengajar sebagai bentuk transfer pengetahuan, dan mendidik dimaksudkan membangun kepribadian. Sejalan dengan hal tersebut, Abdullah Ali (2007 ; 154) memaparkannya dalam fenomena yang lebih spesifik dengan mengetengahkan muatan pendidikan agama. Peserta didik tidak merasakan “sentuhan” khusus pendidikan agama, ia tidak jauh berbeda dengan pelajaran umum. Pendidikan yang mengarah pada hati nurani untuk mengembangkan nilai-nilai moralitas cenderung bias pada penyelenggaraan proses belajar mengajar.
Pendidikan anak di zaman kesejagatan dan kemodernan ini tidaklah mudah. Di satu sisi zaman ini memberikan berbagai banyak kemajuan teknologi yang memungkinkan anak-anak memperoleh fasilitas yang serba “canggih” dan “wah”. Anak-anak sekarang sejak dini sudah mengenal HP, camera, dan berbagai peralatan yang amat jauh dengan zaman saat “aku si anak desa yang suka Gobak Sodor”.
Kemajuan yang demikian cepat juga ditengarai membawa dampak negatif seperti tersedianya informasi negatif (yang aksesnya didapat) melalui media massa yang sulit untuk dihindari. Misalnya ; porno, kekerasan, konsumerisme, takhayul, dan kemusyrikan melalui berbagai media informasi seperti internet, handphone, majalah, televisi dan juga VCD / DVD.
Berbagai kenyataan modernitas dan ketersediaan tersebut faktanya tidak sulit bahkan setiap hari disediakan baik oleh keluarga, masyarakat dan juga dunia informasi. Maraknya dunia periklanan memaksa informasi beredar lebih mudah, lebih seronok dan juga lebih merangsang rasa ingin tahu, rasa ingin mencoba sebagai akibat “rayuan maut” publikasi yang memang dirancang secara apik oleh para ahli komunikasi dengan biaya yang mahal dan dengan dampak meluas dan mendalam. Dapat dikatakan informasi-informasi tersebut dapat lebih cepat hadir daripada sarapan pagi kita, atau lebih cepat disantap dari pada nasehat orang tua.
Sejalan dengan derasnya laju daya pikir dan cipta manusia, memunculkan problem-problem baru yang muncul sebagai akibat dari aplikasi formulasi rumusan muatan otak manusia yang menawarkan konsep-konsep yang meninggalkan paradigma pendekatan ketuhanan dan kemanusiaan untuk kemudian mengedepankan pengembangan dimensi materi dalam menjalani hidup dan kehidupannya di dunia. AM. Saefudin (1993 ; 158-159) menyebut hal ini dengan konsep-konsep masyarakat modern jahili.
Modern tidak diartikan sebagai menghambakan diri kepada sesuatu yang bersifat materi, modern justru dapat lebih memanifestasikan konsep-konsep Al Qur’an sebagai landasan Islamisasi dalam dunia nyata. Hal tersebut dapat dilaluinya apabila manusia memperoleh pendidikan yang menawarkan konsep-konsep yang menyentuh aspek duniawi dan ukhrawi.
Pengamat pendidikan Mochtar Buchori (Media Indonesia, 9 Mei 2007), mengatakan dalam sebuah Diskusi bertemakan “Quo Vadis Pendidikan di Indonesia” di Kampus Universitas Indonesia Depok, yakni ; “Tren pendidikan di Indonesia telah mengarah pada punahnya nilai-nilai budaya. Jika nilai-nilai budaya punah seketika, maka kepunahan politik akan segera menyusul dan mengancam eksistensi Bangsa Indonesia.” Pendapat ini lanjutnya didasarkan pada realita dalam dunia pendidikan yang terlalu mengagungkan pengetahuan dan mengabaikan nilai-nilai yang merekat pada diri bangsa sejak berabad silam.
Ironis memang, Indonesia yang telah memiliki bahkan dalam jiwa bangsanya telah terpatri budaya ketimuran yang juga tersampaikan dalam ajaran agama-agama yang tumbuh dan berkembang di Indonesia sekarang ini kurang mendapatkan perhatian serius. Dapat dilihat, hampir seluruh sekolah-sekolah terutama pada tingkat pendidikan dasar dan menengah menerapkan peraturan kedisiplinan yang ironisnya tidak memiliki makna mendalam pada diri peserta didik. Hak-hak mereka “terpasung”, karena peserta didik hanya dianggap layaknya wayang yang harus menurut perintah sang dalang. Sementara sang dalang tidak pernah mengerti kemauan bahkan kondisi kejiwaan wayangnya. Hal ini belum termasuk komplektifitas masalah yang dihadapi oleh para guru, baik dari segi skill, pengetahuan, kualifikasi profesi, penyebaran guru yang tidak merata, sampai pada masalah kesejahteraan.
Perjalanan sejarah Bangsa Indonesia telah membuktikan bahwa pendidikan mampu memberikan pencerahan watak bagi anak bangsa. Rangkaian peristiwa sejarah telah mengantarkan para “inlander” didikan Belanda mampu berjuang baik secara diplomatif maupun opensif secara fisik demi kemerdekaan bangsanya. Mereka mampu melakukan perubahan secara mendasar demi mengubah nasibnya yang tertindas oleh Belanda. Mereka adalah anak jajahan yang terpinggirkan yang mendapatkan kesempatan mendapatkan pendidikan sistem Belanda untuk kemudian bangkit dan memiliki peranan sentral untuk perubahan bangsa. Mereka sadar betul bahwa masa depan suatu bangsa bergantung pada tercapainya ilmu pengetahuan.
Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan formal memiliki peranan penting untuk ikut serta membangun watak (character building) peserta didik setelah pendidikan keluarga. Walaupun posisinya tidaklah menempati urutan pertama dalam pembentukan karakter, partisipasi lingkungan sekolah ternyata cukup besar. Hal ini terbukti dari anak-anak yang saling berinteraksi ternyata dapat menemukan jati dirinya justru bukan di dalam pendidikan keluarga. Misalnya saja, anak yang cenderung aktif dalam berorganisasi, ikut dalam komunitas pelajar pecinta alam, band sekolah, dan lain sebagainya. Banyak peserta didik talentanya justru tidak pernah disadari oleh orang tua dalam keluarga maupun guru. Orang tua mengetahui setelah anaknya aktif bahkan berprestasi dalam kegiatan-kegiatan di atas.
Hal di atas baru kita lihat dari sisi positifnya, dari sisi negatifnya seiring dengan aktifnya interaksi antar teman, seringkali peserta didik hanyut terbawa ke dalam pergaulan yang tidak terarah dan cenderung menyimpang. Sebut saja ; Geng-geng pelajar, menjadi anggota kelompok mafia, ikut dalam klub-klub tertentu yang meresahkan masyarakat, bahkan baru-baru ini ada pelajar yang ikut dalam kelompok teroris dalam aksi Bom Kuningan. Inilah lingkungan yang dalam pandangan Zakiah Daradjat ( 1992 ; 63), disebutnya sebagai sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang.
Lingkungan pendidikan memang harus terpelihara dengan baik, tidak hanya dari aspek pengetahuan saja, tetapi juga dari aspek moralitas. Dengan terpeliharanya aspek di atas, peserta didik tidak merasa menjadi korban dari pengabaian sosial baik oleh guru sebagai orang dewasa yang memiliki tugas membina dan mendidik maupun dari teman-temannya. Jika ini terjadi maka peserta didik akan melakukan tindakan-tindakan menyimpang yang justru akan menjadi bumerang bagi proses pendidikan itu sendiri. Kartini Kartono (1992;7 ) menyebutnya sebagai Juvenile Delicuency, yakni perilaku jahat / dursusila atau kejahatan / kenakalan generasi muda. Perilaku ini merupakan gejala sakit yang disebabkan akibat terjadi pengabaian sosial sehingga ia berkembang dengan tingkah laku yang menyimpang.
Penciptaan religious culture (budaya keberagamaan) merupakan sarana efektif untuk menciptakan generasi yang tidak hanya kuat dalam Intelegency Quotions, tetapi juga sekaligus kuat dalam Spiritual dan Emotional Quotions. Namun untuk menciptakan kecerdasan di atas, haruslah dimulai dari guru sebagai model belajar serta beberapa budaya-budaya religius yang terangkum dalam peraturan dan tata tertib peserta didik. Sekedar contoh, budaya mengucapkan salam, menyapa tamu sekolah, budaya bersih dan sehat, membaca do’a dan membaca Al Qur’an sebelum dan sesudah menerima pelajaran, budaya berbusana muslim dan muslimah, dan lain sebagainya.
Pola-pola masyarakat yang selalu mengalami perubahan, yang mau tidak mau akan membawa pengaruh-pengaruh penting kepada generasi muda khususnya dalam pembentukan watak, sikap, tingkah laku dan budi pekertinya. Dalam hal ini Gerakan Pramuka sebagai organisasi pendidikan non formal yang turut memberi “iuran” pada pendidikan kaum muda Indonesia. Tantangan dan dominan yang dihadapinya adalah bagaimana cara dan usahanya untuk menanggapi perubahan-perubahan besar itu, terutama yang membawa akibat dan pengaruh bagi generasi muda.
Sebagai suatu kegiatan belajar yang terorganisasi, yang berada diluar sistem formal yang ada, yang ditujukan untuk anak didik tertentu dengan sasaran-sasaran pendidikan tertentu pula, Gerakan Pramuka memberikan kesempatan kaum muda untuk belajar memperoleh kecakapan hidup dan perkembangan sikap yang berdasar pada suatu sistem nilai yang terintegrasi. Gerakan Pramuka juga memberikan suatu pelajaran kepadanya, agar hal-hal yang dihadapi kaum muda dalam proses pertumbuhannya dapat dilaluinya dengan baik.
Beberapa hal yang akan dihadapi kaum muda, sebagaimana Kwarnas (2004 ; 26) memaparkannya, yaitu :
  1. Memenuhi kebutuhan dasar hidup, seperti pangan, papan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan atau kegiatan bermakna lainnya, serta rasa aman.
  2. Menemukan makna hidup, selain aspek-aspek material dan menghayati dimensi spiritualnya
  3. Menemukan pegangan hidup yang mantap berdasarkan nilai-nilai, jati diri dan percaya diri
  4. Menghadapi perubahan zaman, yang memerlukan fleksibilitas, daya penyesuaian dan mobilitas
  5. Menguasai dan mampu mengendalikan kamajuan teknologi, melalui aksesnya ke ilmu pengetahuan dan kemahiran
  6. Memerangi isolasi diri, dengan mengembangkan rasa kewargaan, bersatu, kebersamaan dan diterima, dikenali dan dakui oleh lingkungannya
  7. Memperoleh rasa dirinya berguna, dengan cara turut menyumbang dalam perkembangan masyarakat dalam lingkungannya maupun di luar itu
  8. Mengembangkan wawasan global, berdasarkan saling ketergan-tungan manusia, kesadaran akan realita, serta kerjasama

Adanya fenomena perilaku yang jauh dari norma-norma agama disertai dengan makin menyusutnya amalan-amalan ibadah di kalangan kaum muda, disinyalir dapat menyebabkan keterpurukan di segala sektor dan sendi kehidupan manusia. Sementara kegiatan Pramuka yang diselenggarakan seringkali terkesan “asal ada”. Salah satu indikatornya, ialah terdapat “anggota” Pramuka yang hanya mengenakan seragam pada hari-hari tertentu sekedar memenuhi kewajiban aturan sekolah. Hal semacam ini terdukung pula dengan kurang menyentuhnya aspek-aspek tertentu sebagai landasan pendidikan kepramukaan, sehingga makna pendidikan kepramukaan menjadi bias.
Aspek tertentu sebagaimana maksud diatas, misalnya saja ; adanya pembina yang kurang menghayati makna pendidikan kepramukaan, penyelenggaraan yang cenderung “ala kadarnya”, kemenangan dalam lomba-lomba Pramuka yang menjadi target utama tanpa mengindahkan kode etik pendidikan, perolehan SKU dan SKK yang cenderung “asal isi” tanpa memperhatikan tanggung jawab kecakapan, moral dan sosialnya.
Maka Pramuka dihadirkan kembali dengan sungguh-sungguh melakukan kegiatan penanaman norma hidup yang mengandung :

  1. Lingkup Spritual ; sebagai proses pendidikan yang menekankan pada upaya mengutamakan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan dan penghidupan di atas kehidupan material. Mabigus yang berpangkalan di sekolah rasanya perlu menyertakan peran guru-guru agama sebagai pembina Pramuka sehingga peserta didik tidak hanya menguasai tekpram dan jiwa nasionalisme, tetapi juga memiliki jiwa spiritualisme yang mantap.
  2. Lingkup Sosial ; mendorong peserta didik untuk melibatkan diri dalam pembangunan masyarakat, menghormati, dan menghargai orang lain dan integritas pembangunan alam seisinya disamping melakukan promosi tema-tema kerukunan dan kedamaian sehingga terjalin saling pengertian dan kerjasama.
  3. Lingkup Pribadi ; proses pendidikan yang membina dan mengembangkan rasa tanggung jawab pribadi serta membangkitkan hasrat peserta didik untuk bersikap dan bertindak laku yang bertanggung jawab. Mengembangkan positive thinking dan melatih fungsi otak kanan dan kiri agar sehingga menjadi modal bagi peserta didik kaitannya dengan pelaksanaan Satya Dharma Pramuka.
Melalui prinsip dasar dan metode kepramukaan, kegiatan pendidikan kepramukaan akan memiliki pengaruh pada aspek sosial dan ritual peserta didik. Naquib Al Attas (1992 ; 61) mengemukakan, bahwa pengenalan dan pengakuan yang ditanamkan pada manusia secara bertahap tentang tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan, sehingga menempatkan manusia pada bentuk bimbingan ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat. Melalui pengamalan Satya dan Dharma Pramuka, maka peserta didik walaupun kelak saat ia telah “menggantung hasduk dan setangan lehernya” hakekatnya telah memetik sebuah pelajaran berharga tanpa ia harus merasa kehilangan jati dirinya sebagai seorang Pramuka.

DIRGAHAYU PRAJA MUDA KARANA
JAYA PRAMUKA INDONESIA ...
---------------------------------------------------------------
Penulis adalah Orang yang “Kesurupan” Pramuka
di Kawah Gunungpandan SMKN 1 Tonjong Kab. Brebes

20 Juli 2010

AYO SEKOLAH

Masa liburan panjang telah usai, para orang tua kembali berpusing ria untuk mencoba "mengentaskan" buah hatinya dari kebodohan. Ada orang tua yang maen paksa menuruti kehendak hatinya, ada yang pasrah terserah anaknya, bahkan ada juga yang repot mondar-mandir cari sekolahan yang dianggap "representatif", plus "keren" dan "layak" baik dimata anaknya maupun koleganya.
Yang jelas tidak ada orang tua waras yang pendidikan anaknya lebih rendah dari pada pendidikan yang ia peroleh dahulu. Semua usaha orang tua adalah "DEMI MASA DEPAN ANAK YANG GILANG GEMILANG", begitu harapannya.

Sekolah "Negeri" atau "Luar Negeri" ?
Di jalan-jalan protokol terbentang lebar baliho, spanduk serta pernak pernik lain yang berkaitan erat dengan penerimaan peserta didik baru. Tidak hanya perguruan tinggi, SLTA (SMA, SMK & MA), SLTP (SMP & MTs), bahkan tingkat dasarpun telah mulai "bermain" promo semacam ini. Perang spanduk pun tidak terelakkan lagi. Namun orang tua maupun calon peserta didik rupanya tidak bergeming untuk beralih kepada pilihan awal, karena dihatinya telah memiliki "niat" penuh dan kemantapan untuk masuk di sekolah pujaannya.
Di negeri kita (secara umum) terdapat dua macam "atap" yang menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu sekolah negeri dan swasta. Sekolah negeri merupakan sekolah yang didirikan oleh pemerintah guna memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat. Sementara sekolah swasta ialah sekolah yang didirikan oleh masyarakat baik secara pribadi maupun melalui lembaga-lembaga organisasi masyarakat yang bertujuan ikut serta membangun masyarakat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di daerah (bukan di kota-kota besar), ada suatu fenomena yang sebenarnya sejak lama telah melekat pada masyarakat, khususnya ketika masa penerimaan peserta didik baru. Fenomena itu adalah "sekolah negeri minded". Masyarakat beranggapan, bahwa sekolah yang baik adalah sekolah negeri, yang dengan performancenya seolah telah "menghipnotis" para orang tua maupun anak sebagai peserta didik untuk ber-image positif terhadap sekolah negeri. Image tersebut mungkin tidak terlalu berlebihan, karena "memang" sekolah negeri memiliki kualitas tertentu dalam rangka memerankannya di dunia pendidikan. Katakanlah, gurunya qualified dalam bidangnya, fasilitas pendidikannya yang representatif, serta pengelolaan organisasi satuan pendidikannya yang terarah, teratur dan terukur.
Dahulu, image positif ini didukung penuh dengan memberikan sebuah "service" kepada masyarakat melalui "slogan" pendidikan murah. Memang iya, dulu sekolah negeri terkenal dengan SPP nya yang ikut membantu meringankan beban orang tua, bahkan "TANPA UANG PEMBANGUNAN". Hal ini memotivasi masyarakat untuk "berkompetisi" dalam memasukkan anak-anaknya ke sekolah negeri, tidak memandang mereka dari keluarga the have atau the poor, semuanya seolah mendapatkan kesempatan besar demi mendapatkan sekolah murah. Namun sejalan dengan "kebijakan" pemerintah, akhir-akhir ini sekolah-sekolah negeri seolah sedang "meraup keuntungan" dari masyarakat. Masyarakat kemudian terhenyak dari lamunannya yang melambung akan harapannya mengentaskan buah hatinya untuk dapat menikmati pendidikannya di sekolah negeri. Dan sekali lagi, masyarakat dengan "berat hati" harus menuruti keinginan buah hatinya untuk dapat duduk mengenyam bangku sekolah idola nan mentereng ini.
Kegarangan masyarakat (yang makin terpojok oleh kondisi ekonomi dalam negeri makin terhimpit), serta merta pudar ketika mereka berhadapan dengan "kebijakan" sekolah negeri dalam memungut biaya pembangunan dan pengembangan sekolah. Betapa tidak, demi memenuhi harapan buah hatinya mereka dengan terpaksa merogoh kocek cukup besar agar anaknya dapat diterima sekolah. Padahal masyarakat masih belum tahu betul uang dari mana yang mereka dapatkan untuk memenuhi "kebijakan" yang mereka rasakan "sangat tidak bijak" ini. Sebagian besar kalangan orang tua beranggapan, jika sumbangan pembangunan sekolahnya di bawah "rata-rata"merasa khawatir jika anaknya tidak dapat diterima di sekolah negeri. Hingga sampai pada titik klimaks, ketika penulis mendengar langsung "jeritan" para orang tua yang mengatakan, "wawancara apa..? UUD (ujung-ujungnya Duit) tok !".
Hal yang bertolak belakang justru terjadi di sekolah-sekolah swasta. PSB bagi kelompok ini adalah bukan "Penerimaan Siswa Baru" tetapi lebih mengenaskan lagi, yaitu "Pencarian Siswa Baru". Kalangan sekolah swasta "berjibaku" agar kuota peserta didik memenuhi harapan. Hal ini sangatlah wajar mengingat "kesejahteraan" yang bakal mereka terima sangat bergantung kepada kuantitas peserta didik. Para guru swasta rela panjat tiang listrik atau dengan terpaksa panjat pohon untuk membentangkan spanduk info PPDB. Bahkan yang lebih ekstrem lagi, para guru swasta harus door to door membujuk masyarakat agar anak-anaknya dapat bersekolah di tempatnya mengajar. Berbagai fasilitas pun kemudian "mengalir deras", baik berupa hadiah seragam, buku tulis, tas sekolah, sampai bebas uang gedung. Pengelola sekolah swasta pun selanjutnya terus sibuk mencari celah dan peluang untuk dapat mengembangkan sekolahnya baik melalui kedekatan pengurus yayasannya dengan pejabat-pejabat daerah maupun zig-zagnya kepala sekolah dalam "mengusung proposal" kepada orang-orang yang memiliki link maupun memiliki kekuasaan dan wewenang mengatur aliran dana pendidikan.

Keberhasilan Peserta Didik
Tidak semua sekolah negeri "tidak bijak" di mata masyarakat, dan tidak pula semua sekolah swasta dapat dipandang sebelah mata. Terbukti tidak sedikit sekolah-sekolah swasta "kebanjiran" calon peserta didik sampai melebihi kuota. Ada pula sekolah-sekolah negeri yang memberikan biaya murah kepada masyarakat, namun hal tersebut lebih karena ia berada di pelosok desa dan bukan Sekolah Berstandar Nasional (SSN).
Ada sebuah cerita nyata yang penulis dapatkan dari teman yang dahulunya "kaminegrinen" (Bhs. Bumiayu; dalam bahasa Indonesia bisa dikatakan "harus sekolah negeri"). Waktu SD ia sekolah di SDN favorit, demikian pula saat ia berada di SMP sampai dengan perguruan tinggi. Namun setelah tamat, ia mengeluh kalau "penghasilannya" sekarang kalah jauh dengan teman-temannya yang cukup bersekolah di sekolah swasta yang (maaf..) keadaan sekolahnya " Laa yahya, wa laa yamuut" (mati tidak, hiduppun susah).
Banyak hal ini menimpa pada teman-teman penulis. Ternyata rahasia dibalik "kesuksesan" pendidikan anak terdapat pada kesungguhan orang tua dan anak tersebut ketika bersekolah. Orang tuanya prihatin, dalam arti selalu dan senantiasa mendoakan saat ia bersimpuh di hadapan Tuhan disertai dengan niat dan hati yang ikhlas dalam menjalankan kewajibannya sebagai Khalifah Allah di bumi. Demikian pula yang terjadi pada anakny di sekolah. Allah berfirman :" Siapa yang menanam benih kebaikan, ia akan memetik atas kebaikan yang ditanamnya kelak, (demikian sebaliknya) siapa yang menebar benih keburukan, ia pun akan merasakan akibatnya."
Maka, sekolah dimanapun sama saja karena Allah tidak tidur, Allah tidak buta, dan Allah Maha Tahu atas apa yang diperbuat oleh hamba-Nya. Siapa yang dekat dengan Allah, maka Allah pun akan delat dengannya. Lulusan sekolah negeri maupun swasta sama-sama memiliki kesempatan dalam memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, karena untuk mendapatkan itu semua ILMU adalah jawabannya.

Mohon maaf, jika ada pihak-pihak yang merasa terganggu dan tidak nyaman atas tulisan ini. Penulis hanya ingin mengungkapkan demi terarahnya pendidikan untuk kemajuan bangsa.
(Tulisan ini adalah sebuah ungkapan atas fenomena masyarakat yang terjadi di Wilayah Brebes Selatan ; Tonjong, Bumiayu, Sirampog, Paguyangan, Bantarkawung dan Salem)

Wallahu a'lam bi muroodihi

----------------
Penulis adalah Guru PNS di Lingkungan Kementerian Agama Kab. Brebes