30 Agustus 2011

PENENTUAN TANGGAL 1 SYAWWAL ( Antara Perbedaan, Keyakinan dan Ketulusan)

Oleh : Muhammad Subkhan

Hisab dan Ru’yat

Sekelompok masyarakat di Jalan Pisangan Baru Jakarta Timur Nampak sedang ramai berkumpul sesaat setelah melaksanakan shalat tarawih di Masjid At Taqwa. Pembicaraan mereka mengarah akan rencana mudik lebaran yang tinggal beberapa hari lagi. Ada yang sudah memesan tiket kereta api, ada yang mau memakai armada bus, ada juga yang mau ikut program mudik bareng yang disponsori produk tertentu, bahkan yang lebih ekstrem, ada yang mau mudik pakai BAJAJ…!!. Gila, nggak tuh …?! Kiranya mereka bersepakat akan melakukannya bersama pada tanggal 28 Agustus 2011. Hal ini karena almanak di dinding-dinding rumah keluarga, kantor, bengkel dan berbagai macam tempat lainnya menunjukkan kalau lebaran tahun ini jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011, yang berarti bahwa pelaksanaan ibadah puasa sebagaimana tahun-tahun sebelumnya hanya sampai pada bilangan 29 hari.

Adalah Bumiayu, sebuah kota kecil di wilayah selatan Kabupaten Brebes yang menjadi sentra dari beberapa kecamatan yang mengelilinginya. Bumiayu laksana magnet yang dapat menyedot “aliran dana” masyarakat berputar di dalamnya. Potensinya sebagai sentra ekonomi membuat Bumiayu dapat menjadi kota yang menyenangkan sekaligus kota yang menyebalkan. Kok bisa…? Aduh ceritanya panjang deh... Yang jelas sih, karena di moment Idul Fitri ini aktifitas perekonomian masyarakat begitu meningkat sehingga bagi yang pedagang maupun penjual jasa menjadi sesuatu yang menjanjikan. Namun tidak bagi para pengguna jalan, baik masyarakat lokal maupun para pemudik. Melalui jalur tengah (bukan ring road selatan) terasa seperti “neraka”, yang siap menghanguskan pahala puasa setiap muslim.

Hari itu, tanggal 29 Agustus 2011 jalan-jalan protokol Bumiayu penuh sesak baik oleh kendaraan para pemudik dan masyarakat lokal, maupun oleh para pejalan kaki yang sedang mencari kebutuhan lebaran. Wow… bagaimana tidak ? “orang lebarannya juga besok (baca: tanggal 30 Agustus)…, mau gak mau ?” Aktifitas semua swalayan dan hampir setiap toko di jalan-jalan protokol pada H-4 sampai pada jam 21.00 tidak seperti hari-hari biasa yang cuma sampai jam 17.00. Hiruk pikuk jalanan menjadi pemandangan dan situasi yang rentan terhadap keimanan seorang muslim. Bisa dibayangin deh, kalau ada desak-desakan, ada kendaraan saling senggol… kira-kira seperti apa ?! Ya, kan ..?

Yups, itu semua karena kebutuhan yang harus mereka penuhi untuk berlebaran tanggal 30 besok. Eh, apa iya .. sih ..?! Banyak masyarakat yang dibuat “bingung” atas ini, ada yang bilang tanggal 30. Ada juga yang bilang, “belum tentu tanggal 30 dong…” Bahkan penulis sendiri, mendapatkan tidak sedikit sms yang menanyakan hal ikhwal tentang” lebaran kapan”. Yah… penulis juga mesti maklum, karena sadar betul posisinya sebagai guru PAI dan yang (katanya) ditokohkan (cieee… ceritane ?) dalam organisasi kepemudaan dan ormas Islam. Jadi sangat wajar, jika banyak yang menanyakannya.

Jawaban yang dirasa pas dan aman untuk pertanyaan penentuan 1 syawwal adalah, “ Tunggu saja hasil sidang Istbat nanti malam di Kemenag RI lewat Ti Vi.” What …!!??? Ya memang begitulah. Karena sidang itsbat itu adalah hasil keputusan berdasarkan kesepakatan pemerintah, MUI, Ormas Islam, dan beberapa perwakilan negara-negara asing untuk menentukan jatuhnya 1 syawwal. Di dalamnya berisi laporan dari utusan pemerintah dari berbagai macam tempat di seluruh wilayah Indonesia, yang melakukan kegiatan pantauan Hilal (Ru’yatul Hilaal). Kemarin tanggal 29 Agustus 2011, tidak kurang dari 90 titik di seluruh wilayah Indonesia menjadi tempat untuk melakukan pemantauan Hilal. Dalam laporan sidang itsbat tadi malam (29 Agustus 2011) yang disampaikan oleh Kabid Hisab dan Rukyat, tersampaikan bahwa, dari 36 petugas yang mewakili daerah maupun propinsi di seluruh Indonesia (pake disebutin nama, usia, jabatannya lagi..) tidak ada petugas dapat melihat hilal (eh… jangan salah lho… ini pake alat super canggih, jadi gak pake mata telanjang). Hanya ada dua laporan yang memberikan kesaksian, yaitu di Cakung-Jakarta Timur dan Jepara- Jawa Tengah yang menyatakan dapat melihat hilal. Walaupun akhirnya kesaksian tersebut ditolak musyawirin atas saran dari Ketua MUI K.H. Ma’ruf Amin, karena dianggap lemah argumentasinya.

So… Kementerian Agama RI akhirnya memutuskan berdasarkan hasil sidang Itsbat (termasuk) rekomendasi sejumlah ormas Islam yang hampir semuanya memberikan rekomendasi bahwa 1 syawwal 1432 H jatuh pada Rabu, 31 Agustus 2011, kecuali rekomendasi dari PP. Muhammadiyah yang memutuskan berdasarkan hisab, bahwa 1 syawwal 1432 H jatuh pada Selasa, 30 Agustus 2011. Akhir sidang, Menteri Agama RI KH. Maftuh Basyuni memohon agar perbedaan ini tidak menjadikan renggangnya ukhuwah Islamiyah dan satu sama lain harus saling menghormati keputusannya. Ya, itulah Indonesia, negeri sejuta budaya dan bahasa, negeri dengan sejuta perbedaan, sekaligus negeri dengan sejuta keindahan (harusnyaa…). Dan pada hari ini (30 Agustus 2011), mengulang sebagaimana tahun 2006 dan 2007, masyarakat Muhammadiyah di Indonesia melakukan Shalat Ied di berbagai tempat terbuka dengan khusyuk dan penuh ketenangan. Sementara sebagian besar umat Islam lainnya masih berpuasa dan baru merayakannya esok Rabu, 31 Agustus 2011.

Keyakinan dan Ketulusan

Terlalu panjang memang dirasakan oleh pembaca pada awal tulisan ini, yang seolah hanya ingin mengungkapkan kronologis terjadinya perbedaan penentuan 1 syawwal ansich. Namun penulis ingin membuat suatu benang merah, bahwa bukan hal di atas yang menjadi inti tulisan ini. Why ? karena hal itu dianggap sudah biasa terjadi di sekitar kita, tidak hanya menyangkut penentuan hari lebaran, namun ibadah-ibadah lainnya yang bersifat khilafiyah diantara sesama muslim.

Ada satu cerita menarik (atau sengaja dianggap menarik) datang dari keluarga penulis. Selepas shalat maghrib dan santap buka puasa, Selma putri keduaku yang baru berusia 8 tahun, menanyakan jadi lebaran besok apa tidak. Secara spontan istri penulis menjawab, kalau urusan itu menunggu keputusan pemerintah di Ti Vi. Telah terasa aroma kurang sedap dari raut mukanya begitu ia menyadari belum adanya jawaban pasti tentang hari H lebaran. Tayangan secara live yang disiarkan oleh Metro TV dan TV One seolah menyihir kami untuk tetap berada di depan media elektronik itu dan tidak beranjak ke tempat lain, guna menyaksikan jalannya sidang itsbat.

Sesaat setelah Menteri Agama RI memutuskan, bahwa 1 Syawwal 1432 H jatuh pada hari Rabu, 31 Agustus 2011, sontak putri keduaku ini langsung berteriak, “Dasar, Bodoh …!!! besok gak puasa lah…” Penulispun paham dan menyadari kondisi demikian, “maklum …. Anak kecil, nanti juga sadar sendiri.” Gumamku. Keputusan itu, berarti mengubah rencana malam takbiran menjadi aktifitas rutin shalat tarawih masih satu malam lagi dijalankan. So… ikhlaskan saja lah. Begitulah potret keluarga penulis pada moment sidang itsbat.

Yang menjadi sebuah pelajaran berharga dari penulisan ini adalah, saat orang dewasa muslim pun turut larut dalam kekesalan dan kemasygulan yang sering terungkapkan dengan cacian bertubi-tubi ke arah yang tidak jelas tentang hasil keputusan tersebut. Penulis dapat meraba, inilah ujian iman, inilah yang Allah SWT janjikan sebagai “’Itqun min an annaar” pada sepertiga ramadlan terakhir, inilah yang disebut dengan ujian ketulusan dan panggilan cinta terhadap Dzat Allah.

Bagaimana tidak ? alasan kemasygulan dan kekesalan mereka bukan pada persoalan “mundurnya” waktu lebaran, tetapi lebih pada bertambahnya hari mereka berpuasa ramadlan. Seolah puasa yang Allah SWT wajibkan ini sebagai sebuah beban berat laksana senggunung batu yang dengan penuh keterpaksaan harus mereka jalani. Moment ramadlan tidaklah menjadikan sebagai wahana introspeksi dan taqarrub kepada Sang Pencipta. Maka tidaklah heran, pasca ramadlan kemaksiatan kembali “digelar” oleh manusia sebagai budak syaithan, seolah mereka baru saja terbebas dari “neraka” yang membelenggu kebebasannya selama ini. Astaghfirullahal’adzim …..Tengok saja di jalan-jalan, mall, terminal, stasiun, pasar, bahkan depan masjid sekalipun pada hari ini (Selasa, 30 Agustus 2011), perilaku mereka yang "merasa" baru saja mendapatkan kemerdekaan atas belenggu yang bernama PUASA. Dengan gaya seolah tidak ada perbedaan antara bulan Ramadlan dengan yang lain, dengan tingkah polah yang tidak mencerminkan akhlak Islam yang mengedepankan kehormatan dan toleransi, mereka sedikitpun tidak menghargai sesama yang masih menjalankan ibadah puasa. Padahal penulis yakin betul mereka Islam juga.

Inilah pembaca yang budiman, puasa adalah panggilan cinta, sebagaimana idealisme seorang muslim yang seharusnya bergetar hatinya tatkala nama kekasihnya (Tuhannya) disebut-sebut. Maka, ayuk…bagi yang berkesempatan membaca tulisan ini tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri dalam rangka mengabdi kepada Sang Khaliq sekaligus memohon agar ramadlan mendatang kita masih berkesempatan mengikuti keindahan dan kenikmatannya. Amien …..

Wallahu A’lam bi muraadih …

2 komentar:

roomantik mengatakan...

wah... blognya anti klik kanan..!!??

Unknown mengatakan...

Aduh mf banget Mas, cz gak sedikit yang maen jd "Plagiator" terutama kaitannya dg legenda yg ane tulis. Mf Bgt, tp U bs copy kan?