22 Agustus 2011

BELAJAR, SEBUAH PENDEWASAAN MANUSIA

Belajar, Pengertian dan Realitas

Ada sebuah pertanyaan menarik, jika seorang guru sedang mengajar di kelas, apakah dengan sendirinya siswa yang diajarnya otomatis juga sedang belajar ? Apakah dengan telah tersampaikannya materi kepada peserta didik, memberikan soal, serta mengevaluasi, hakekatnya pelajaran telah dianggap selesai pula ?

Belajar hakekatnya tidak hanya sekedar meliputi mata pelajaran saja, tetapi penguasaan, kebiasaan, persepsi, kesenangan, minat, penyesuaian sosial, ketrampilan dan cita-cita. Oemar Hamalik menyatakan, bahwa belajar mengandung pengertian tentang terjadinya perubahan dari persepsi dan perilaku, termasuk juga perbaikan perilaku, misalnya pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara lebih lengkap,[1] karena tujuan belajar yang utama adalah bahwa apa yang dipelajarinya berguna di kemudian hari, yakni membantu kita untuk dapat belajar terus dengan cara yang lebih mudah.[2] Namun tidak semua perubahan perilaku juga merupakan belajar.

Seperti halnya QS.16 ; An Nahl : 78, sebagai berikut :

78. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

Dari ayat di atas, maka dalam belajar juga harus memperhatikan aspek-aspek atau potensi-potensi ragawi, akal, dan hati yang dimiliki manusia baik berkaitan dengan posisinya sebagai pendidik maupun sebagai peserta didik.

Pemindahan pengetahuan dan nilai-nilai dari seseorang kepada orang lain, dari satu generasi ke generasi lain, hakekatnya bukan merupakan inti dari proses belajar. Hasan Langgulung memberikan tiga syarat pokok suatu proses yang disebut dengan belajar. Dalam belajar harus terdapat ; 1) rangsangan, 2) benda hidup haruslah mengadakan respons terhadap rangangan tersebut, dan 3) respons yang telah didapatkan kemudian diteguhkan seoerti ganjaran benda atau bukan benda supaya respons itu dibuat lagi dalam suasana yang sama pada masa yang akan datang, atau ditinggalkan kalau respons itu diteguhkan secara negatif. [3]

Standar Keberhasilan Pendidikan ; Pandangan Islam

Departemen terkait merasa bangga jika ada anak yang nilainya tinggi (secara akademik) lalu dijadikannya sebagai “icon” keberhasilan pendidikan di wilayahnya. Guru begitu memuji-muji prestasi muridnya yang memiliki peringkat tertinggi nilai akademiknya, karena ia (dipercaya) akan membawa “nama baik” sekolahnya. Sementara orang tua merasa beruntung jika anaknya mendapatkan juara I karena nilai raportnya tertinggi di atas teman-temannya. Keberuntungan orang tua itu karena (“dianggap”) dengan prestasi anaknya itu akan membuatnya hidup bahagia (secara materi) di masa mendatang. Sementara jika terdapat peserta didik yang (secara akademik) tidak begitu menonjol, tetapi ia dapat melakukan suatu tindakan sosial, misalnya ; berdialog dengan masyarakat, dapat mendamaikan teman yang bertikai, dan tindakan-tindakan lain yang berkaitan erat dengan kepekaan-kepekaan sosial, ia tidak pernah mendapatkan sanjungan, terlebih penghargaan secara nyata sebagai siswa yang berprestasi.

Pandangan di atas merupakan sebuah potret, bahwa peserta didik dianggapnya sebagai kotak kosong yang harus diisi. Guru bertindak sebagai sumber dan pemegang otoritas ilmu, yang mana peserta didik “dipasung” untuk taat, tunduk, patuh, dan satu kata dengan guru, yang pada akhirnya peserta didik harus mengikuti kesimpulan guru.

Pandangan ini bukan saja “memasung” kreatifitas peserta didik, namun yang lebih tidak manusiawi adalah bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM).

Islam diperkenalkan sebagai sebuah agama yang mengusung tema utama, yaitu AKHLAQ. Bahkan Rasulullah SAW pun diutus bukan untuk menyebarkan Islam (secara Syariati), tetapi lebih menitikberatkan pada pembinaan Akhlaq. Akhlaq dalam ajaran agama Islam mencakup keseluruhan sendi kehidupan manusia, agar manusia sebagai Khalifah fi al ardl dapat benar-benar mewujudkan perannya sebagai wakil Allah SWT di bumi. Intinya, Islam mengatur agar manusia belajar dari semua hal yang telah diciptakan dan diatur oleh Allah SWT. Islam memandang keberhasilan pendidikan bukan hanya terletak pada manfaat secara pribadi yang dirasakan oleh peserta didik, tetapi lebih pada nilai manfaat bagi seluruh wilayah, bangsa, negara dan alam.

Terciptanya kehidupan yang teratur, damai dan sejahtera itulah yang dikehendaki dalam pendidikan Islam. Hal itu akan terwujud jika masing-masing pribadi sadar betul akan perannya masing-masing dalam menjalani “lakonnya” dalam sebuah pentas yang bernama DUNIA.



[1] Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1992, hlm. 45

[2] S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta, 1992, hlm.3

[3] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1988, hlm. 251

Yang menjadi pembeda antara bangsa kita dengan bangsa lain yang lebih “maju” , adalah sikap dan perilaku sebagai hasil dari pendidikan bangsa itu sendiri yang seringkali mengabaikan proses dan selalu mengedepankan “nilai” sebagai angka-angka mati yang dapat dihasilkan secara instan.

Tidak ada komentar: