22 Agustus 2011

MENEGUHKAN KEMBALI MAKNA PROKLAMASI KEMERDEKAAN Dengan Semangat Pendidikan Islam



Oleh : “Al Faqir” Muhammad Subkhan

Fakta

Tak terasa sudah negeri kita telah merdeka (secara yuridis) 66 tahun lamanya. Berbagai perhelatan sebagai bentuk ekspresi kegembiraan yang terwarnai oleh semangat patriotisme telah banyak ditunjukkan oleh anak-anak negeri. Tengok saja kreatifitasnya pada kegiatan karnaval misalnya, atau berbagai macam lomba nan lucu dan menarik banyak digelar oleh lembaga-lembaga pendidikan, instansi-instansi pemerintah dan swasta, sampai pada masyarakat level bawah “TARKAM” (antar kampung) seolah mengisyaratkan bahwa negeri ini benar-benar sejahtera dan penuh kedamaian.

Namun dibalik itu semua, ternyata kita masih saja disuguhkan dengan berbagai macam berita yang menggiriskan hati. Simak saja aneka informasi yang ditayangkan media elektronik audio visual yang hadir di tengah-tengah keluarga kita. Dari potret kemiskinan sampai rebutan kekayaan, kasus penyimpangan seksual sampai pada peristiwa tawuran sebagai akibat gesekan sosial, hingga berbagai kejadian pembunuhan dan terorisme serta bencana alam yang seolah ingin menunjukkan ketidakharmonisannya dengan manusia. Sungguh… hal ini seolah mengisyaratkan kalau negeri ini kembali pada titik nadir.

Kemerdekaan, Isapan Jempol ..?

Jalan Pegangsaan Timur No. 56 di Jakarta 66 tahun lalu, telah menjadi saksi bisu kalau negeri yang bernama Indonesia ini telah Merdeka (baca : bebas) dari cengkeraman penjajah. Masyarakat dunia pun banyak pula yang bersimpati atas perjuangan bangsa Indonesia hingga tidak sedikit mereka munculkan dalam bentuk pengakuan secara resmi.

Dan sebagai catatan, bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia bukanlah hasil pemberian maupun “anugerah” dari Penjajah Jepang maupun Belanda, namun kemerdekaan ini telah ditebus dengan tumpahan darah dan air mata sebagai wujud dari konsekuensi perjuangan fisik. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan kemerdekaan negeri-negeri tetangga Indonesia sendiri. Namun, apakah hal ini hanya sebuah moment yang mesti kita bangga-banggakan sementara hakekat kemerdekaan itu sendiri masih semu ?

Perjuangan para penegak negeri ini tentunya teriringi dengan sebuah tujuan besar dan mulia. Mereka sangat mendambakan bahwa ia dan anak cucunya kelak dapat menapak tanah air mereka sendiri dengan bebas dan berkembang layaknya kodratnya sebagai manusia. Penegak negeri ini sadar betul, jika negeri yang sangat melimpah akan sumber daya alam, kaya akan aneka ragam budaya dan bahasa ini diharapkan dapat menjadi negeri adi daya dan bermartabat. Namun alangkah menyedihkannya sekarang jika harapan tersebut sering kali hanya sebuah harapan yang entah kapan dapat terwujud.

Mengurai Benang Kusut Kemerdekaan Indonesia

Sub judul diatas, sepintas terlihat sangat ekstrim. Yup, benar sekali bagi mereka yang beranggapan bahwa kemerdekaan bangsa kita ini telah lengkap dan sesuai dengan isi dan semangat Pancasila serta UUD 1945.

“Perjuangan belum selesai, Kawan …”, mungkin itulah kalimat yang tepat kita ucapkan saat ini. Bagaimana tidak ? telah 66 tahun merdeka, mestinya usia itu telah dapat menjadikan bangsa ini banyak belajar dari “kesalahan-kesalahan” masa lalu. Mungkin kita masih ingat pepatah bertuah dari John F. Kennedy, bahwa “Bangsa yang bangga akan masa lalu dan sekarang, adalah bangsa yang hakekatnya kehilangan masa depannya sendiri.”

Lantas kepada siapakah tanggung jawab atas kesalahan itu mesti ditimpakan ? Pertanyaan itu mesti terurai dengan sebuah jawaban yang bijaksana tanpa harus ada yang menanggung atas semuanya itu. Mari kita tengok firman Allah SWT dalam QS. Ar Ra’du : 11, yaitu :

11. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Ayat di atas jika kita amati secara tekstual, bisa jadi hal ini berlaku bagi sebuah kaum (kelompok masyarakat ansich). Tetapi jika kita dapat menukil beberapa tafsir, maka ayat tersebut lebih memiliki makna secara personal, yaitu individu. Dalam hal mana, “restu” Tuhan akan kemajuan diri pribadi sangat bergantung kepada apa yang dipikirkan dan dilakukannya. Artinya, jika seseorang tidak bertindak secara cepat dan tepat atas kemunduran dan “ketidakberhasilannya”, maka janganlah menyalahkan Tuhan akan janjinya ini. Karena yang terjadi adalah, ia akan tetap terbelakang, jumud, gatek, gumunan wal kagetan sebagaimana indikator masyarakat tradisional. Lebih menggiriskan lagi bahwa ia tidak memiliki arah atau visi dan misi yang jelas.

Dalam kaitannya dengan kasus di atas, maka “ibda’ binafsika” (Sabda Nabi saw) menjadi suatu pedoman bagi setiap individu. Hal ini juga memiliki makna mendalam, terutama bagi generasi-generasi penerus dan pewaris Nabi dan Ulama, bahwa dalam rangka mengisi kemerdekaan mestilah harus dimulai perbaikan-perbaikan tersebut dari diri sendiri.

Klaim-klaim atas kenakalan remaja dengan serentetan indikatornya seringkali disikapi secara sepihak. Beberapa instansi terkait malah seolah “kebakaran jenggot” dengan menyelenggarakan kegiatan sosialisasi bahaya seks bebas, penyalah gunaan narkotika dan zat adiktif, serta beberapa “trend-trend” miring lainnya yang berkenaan dengan masalah remaja. Sementara sangat sedikit sekali kegiatan serupa diselenggarakan dengan audiens para orang tua dan guru sebagai pendidik di garda terdepan.

Jika kita mau menengok beberapa kasus luar biasa yang terjadi pada zaman dimana teknologi belum secanggih masa kini, guru dan ustadz madrasah belum mengenal dana sertifikasi, tetapi mereka telah dapat melahirkan pemimpin-pemimpin yang kharismatik dan demokratik yang tampil untuk memandegani umat.

Maka, kata kuncinya adalah hanya satu, yaitu Ikhlas. Yup… Ikhlas adalah sebuah tindakan yang disadari atau tidak akan menciptakan dan memunculkan aura-aura positif terhadap diri seorang pendidik. Dari sosok ideal inilah kita meyakini bahwa pendidikan akan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar kehidupan manusia. Sebagai ikhtitam dari tulisan ini, penulis mengajak kepada khalayak untuk bersama merenungi petuah nyata namun seringkali kita abaikan, ;

Kejayaan suatu negeri tidak bergantung pada usia dari budaya negeri itu, ia juga tidak bergantung pada kekayaan alamnya dan ia sangat-sangat tidak bergantung atas image bahwa bangsa tertentu memiliki tingkat kecerdasan di bawah standar.”

Silakan bandingkan usia kebudayaan negeri Mesir dan India dengan Singapura, Kanada, Australia dan Selandia Baru. Silakan juga bandingkan, negeri kita dengan Jepang dan Swiss yang daratannya tidak lebih luas dari Indonesia. Anda juga boleh tengok para imigran dari afrika yang katanya terbelakang namun dapat menorehkan tinta emas di negara-negara Eropa dan Amerika.

Yuk… kita mulai dari sendiri sebagai pendidik tanpa pandang tanggung jawab penuh pada mata pelajaran tertentu, karena hakekatnya Pendidikan Islam mencakup semua ranah mata pelajaran, bukan hanya Pendidikan Agama Islam. Kita harus sadari bersama, bahwa Islam dasarnya adalah Tauhid, syi’arnya ialah kejujuran, porosnya adalah keadilan, tiangnya bernama kebenaran dan ruhnya penuh dengan kasih sayang.

Wallahu ‘alam bishawab


2 komentar:

Anonim mengatakan...

masih ada yang kurang akurat bos.bagaimana kalau kita gabung untuk melakukan pengyelidikan atau penelusuran yang lebih detail...?

Unknown mengatakan...

Yup, ane setuju tuh. bs call U dimana?