20 Juli 2010

AYO SEKOLAH

Masa liburan panjang telah usai, para orang tua kembali berpusing ria untuk mencoba "mengentaskan" buah hatinya dari kebodohan. Ada orang tua yang maen paksa menuruti kehendak hatinya, ada yang pasrah terserah anaknya, bahkan ada juga yang repot mondar-mandir cari sekolahan yang dianggap "representatif", plus "keren" dan "layak" baik dimata anaknya maupun koleganya.
Yang jelas tidak ada orang tua waras yang pendidikan anaknya lebih rendah dari pada pendidikan yang ia peroleh dahulu. Semua usaha orang tua adalah "DEMI MASA DEPAN ANAK YANG GILANG GEMILANG", begitu harapannya.

Sekolah "Negeri" atau "Luar Negeri" ?
Di jalan-jalan protokol terbentang lebar baliho, spanduk serta pernak pernik lain yang berkaitan erat dengan penerimaan peserta didik baru. Tidak hanya perguruan tinggi, SLTA (SMA, SMK & MA), SLTP (SMP & MTs), bahkan tingkat dasarpun telah mulai "bermain" promo semacam ini. Perang spanduk pun tidak terelakkan lagi. Namun orang tua maupun calon peserta didik rupanya tidak bergeming untuk beralih kepada pilihan awal, karena dihatinya telah memiliki "niat" penuh dan kemantapan untuk masuk di sekolah pujaannya.
Di negeri kita (secara umum) terdapat dua macam "atap" yang menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu sekolah negeri dan swasta. Sekolah negeri merupakan sekolah yang didirikan oleh pemerintah guna memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat. Sementara sekolah swasta ialah sekolah yang didirikan oleh masyarakat baik secara pribadi maupun melalui lembaga-lembaga organisasi masyarakat yang bertujuan ikut serta membangun masyarakat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di daerah (bukan di kota-kota besar), ada suatu fenomena yang sebenarnya sejak lama telah melekat pada masyarakat, khususnya ketika masa penerimaan peserta didik baru. Fenomena itu adalah "sekolah negeri minded". Masyarakat beranggapan, bahwa sekolah yang baik adalah sekolah negeri, yang dengan performancenya seolah telah "menghipnotis" para orang tua maupun anak sebagai peserta didik untuk ber-image positif terhadap sekolah negeri. Image tersebut mungkin tidak terlalu berlebihan, karena "memang" sekolah negeri memiliki kualitas tertentu dalam rangka memerankannya di dunia pendidikan. Katakanlah, gurunya qualified dalam bidangnya, fasilitas pendidikannya yang representatif, serta pengelolaan organisasi satuan pendidikannya yang terarah, teratur dan terukur.
Dahulu, image positif ini didukung penuh dengan memberikan sebuah "service" kepada masyarakat melalui "slogan" pendidikan murah. Memang iya, dulu sekolah negeri terkenal dengan SPP nya yang ikut membantu meringankan beban orang tua, bahkan "TANPA UANG PEMBANGUNAN". Hal ini memotivasi masyarakat untuk "berkompetisi" dalam memasukkan anak-anaknya ke sekolah negeri, tidak memandang mereka dari keluarga the have atau the poor, semuanya seolah mendapatkan kesempatan besar demi mendapatkan sekolah murah. Namun sejalan dengan "kebijakan" pemerintah, akhir-akhir ini sekolah-sekolah negeri seolah sedang "meraup keuntungan" dari masyarakat. Masyarakat kemudian terhenyak dari lamunannya yang melambung akan harapannya mengentaskan buah hatinya untuk dapat menikmati pendidikannya di sekolah negeri. Dan sekali lagi, masyarakat dengan "berat hati" harus menuruti keinginan buah hatinya untuk dapat duduk mengenyam bangku sekolah idola nan mentereng ini.
Kegarangan masyarakat (yang makin terpojok oleh kondisi ekonomi dalam negeri makin terhimpit), serta merta pudar ketika mereka berhadapan dengan "kebijakan" sekolah negeri dalam memungut biaya pembangunan dan pengembangan sekolah. Betapa tidak, demi memenuhi harapan buah hatinya mereka dengan terpaksa merogoh kocek cukup besar agar anaknya dapat diterima sekolah. Padahal masyarakat masih belum tahu betul uang dari mana yang mereka dapatkan untuk memenuhi "kebijakan" yang mereka rasakan "sangat tidak bijak" ini. Sebagian besar kalangan orang tua beranggapan, jika sumbangan pembangunan sekolahnya di bawah "rata-rata"merasa khawatir jika anaknya tidak dapat diterima di sekolah negeri. Hingga sampai pada titik klimaks, ketika penulis mendengar langsung "jeritan" para orang tua yang mengatakan, "wawancara apa..? UUD (ujung-ujungnya Duit) tok !".
Hal yang bertolak belakang justru terjadi di sekolah-sekolah swasta. PSB bagi kelompok ini adalah bukan "Penerimaan Siswa Baru" tetapi lebih mengenaskan lagi, yaitu "Pencarian Siswa Baru". Kalangan sekolah swasta "berjibaku" agar kuota peserta didik memenuhi harapan. Hal ini sangatlah wajar mengingat "kesejahteraan" yang bakal mereka terima sangat bergantung kepada kuantitas peserta didik. Para guru swasta rela panjat tiang listrik atau dengan terpaksa panjat pohon untuk membentangkan spanduk info PPDB. Bahkan yang lebih ekstrem lagi, para guru swasta harus door to door membujuk masyarakat agar anak-anaknya dapat bersekolah di tempatnya mengajar. Berbagai fasilitas pun kemudian "mengalir deras", baik berupa hadiah seragam, buku tulis, tas sekolah, sampai bebas uang gedung. Pengelola sekolah swasta pun selanjutnya terus sibuk mencari celah dan peluang untuk dapat mengembangkan sekolahnya baik melalui kedekatan pengurus yayasannya dengan pejabat-pejabat daerah maupun zig-zagnya kepala sekolah dalam "mengusung proposal" kepada orang-orang yang memiliki link maupun memiliki kekuasaan dan wewenang mengatur aliran dana pendidikan.

Keberhasilan Peserta Didik
Tidak semua sekolah negeri "tidak bijak" di mata masyarakat, dan tidak pula semua sekolah swasta dapat dipandang sebelah mata. Terbukti tidak sedikit sekolah-sekolah swasta "kebanjiran" calon peserta didik sampai melebihi kuota. Ada pula sekolah-sekolah negeri yang memberikan biaya murah kepada masyarakat, namun hal tersebut lebih karena ia berada di pelosok desa dan bukan Sekolah Berstandar Nasional (SSN).
Ada sebuah cerita nyata yang penulis dapatkan dari teman yang dahulunya "kaminegrinen" (Bhs. Bumiayu; dalam bahasa Indonesia bisa dikatakan "harus sekolah negeri"). Waktu SD ia sekolah di SDN favorit, demikian pula saat ia berada di SMP sampai dengan perguruan tinggi. Namun setelah tamat, ia mengeluh kalau "penghasilannya" sekarang kalah jauh dengan teman-temannya yang cukup bersekolah di sekolah swasta yang (maaf..) keadaan sekolahnya " Laa yahya, wa laa yamuut" (mati tidak, hiduppun susah).
Banyak hal ini menimpa pada teman-teman penulis. Ternyata rahasia dibalik "kesuksesan" pendidikan anak terdapat pada kesungguhan orang tua dan anak tersebut ketika bersekolah. Orang tuanya prihatin, dalam arti selalu dan senantiasa mendoakan saat ia bersimpuh di hadapan Tuhan disertai dengan niat dan hati yang ikhlas dalam menjalankan kewajibannya sebagai Khalifah Allah di bumi. Demikian pula yang terjadi pada anakny di sekolah. Allah berfirman :" Siapa yang menanam benih kebaikan, ia akan memetik atas kebaikan yang ditanamnya kelak, (demikian sebaliknya) siapa yang menebar benih keburukan, ia pun akan merasakan akibatnya."
Maka, sekolah dimanapun sama saja karena Allah tidak tidur, Allah tidak buta, dan Allah Maha Tahu atas apa yang diperbuat oleh hamba-Nya. Siapa yang dekat dengan Allah, maka Allah pun akan delat dengannya. Lulusan sekolah negeri maupun swasta sama-sama memiliki kesempatan dalam memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, karena untuk mendapatkan itu semua ILMU adalah jawabannya.

Mohon maaf, jika ada pihak-pihak yang merasa terganggu dan tidak nyaman atas tulisan ini. Penulis hanya ingin mengungkapkan demi terarahnya pendidikan untuk kemajuan bangsa.
(Tulisan ini adalah sebuah ungkapan atas fenomena masyarakat yang terjadi di Wilayah Brebes Selatan ; Tonjong, Bumiayu, Sirampog, Paguyangan, Bantarkawung dan Salem)

Wallahu a'lam bi muroodihi

----------------
Penulis adalah Guru PNS di Lingkungan Kementerian Agama Kab. Brebes

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Betul, Mas. Sekolah Negeri apa sekolah "ngeri" ya?