20 April 2012

UJIAN NASIONAL Antara Fakta Kecurangan dan Idealisasi Pendidikan

Hakekat Proses Belajar

Dalam tugasnya sebagai khalifah, tentulah manusia telah terbekali dengan berbagai perangkat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, seperti yang tersebut di dalam QS.16 ; An Nahl : 78. Pendengaran, penglihatan dan hati menjadi perangkat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Tanpa ilmu pengetahuan, maka manusia selain tidak layak disebut manusia, juga bukan merupakan cerminan dari tugas kekhalifahan yang diembannya.

Untuk dapat menjadi muslim yang tangguh, maka syarat mutlak yang harus dijalani ialah dengan mengoptimalkan semua potensi ragawiyah dan batiniyah. Potensi fisik dioptimalkan dengan olah raga, potensi akal dioptimalkan dengan berfikir, sedang potensi hati dioptimalkan dengan olah rasa. Demikian teori umumnya.

Ada sebuah pertanyaan menarik, jika seorang guru sedang mengajar di kelas, apakah dengan sendirinya siswa yang diajarnya otomatis juga sedang belajar ? Apakah dengan telah tersampaikannya materi kepada peserta didik, memberikan soal, mengevaluasi hakekatnya pelajaran telah dianggap selesai pula ?

Belajar hakekatnya tidak hanya sekedar meliputi mata pelajaran saja, tetapi penguasaan, kebiasaan, persepsi, kesenangan, minat, penyesuaian sosial, ketrampilan dan cita-cita. Oemar Hamalik menyatakan, bahwa belajar mengandung pengertian tentang terjadinya perubahan dari persepsi dan perilaku, termasuk juga perbaikan perilaku, misalnya pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara lebih lengkap,[1] karena tujuan belajar yang utama adalah bahwa apa yang dipelajarinya berguna di kemudian hari, yakni membantu kita untuk dapat belajar terus dengan cara yang lebih mudah.[2] Namun tidak semua perubahan perilaku juga merupakan belajar.

Seperti halnya QS.16 ; An Nahl : 78, maka dalam belajar juga harus memperhatikan aspek-aspek atau potensi-potensi ragawi, akal, dan hati yang dimiliki manusia baik berkaitan dengan posisinya sebagai pendidik maupun sebagai peserta didik. Pendidik yang berlaku sebagai transporter ilmu pengetahuan harus memberikan kebebasan berfikir kepada peserta didik. Proses berfikir adalah sesuatu yang kompleks dan rumit yang tidak dapat dipandang secara mekanis, sederhana dan di sama ratakan.[3]

Pemindahan pengetahuan dan nilai-nilai dari seseorang kepada orang lain, dari satu generasi ke generasi lain, hakekatnya bukan merupakan inti dari proses belajar. Hasan Langgulung memberikan tiga syarat pokok suatu proses yang disebut dengan belajar. Dalam belajar harus terdapat ; 1) rangsangan, 2) benda hidup haruslah mengadakan respons terhadap rangangan tersebut, dan 3) respons yang telah didapatkan kemudian diteguhkan seoerti ganjaran benda atau bukan benda supaya respons itu dibuat lagi dalam suasana yang sama pada masa yang akan datang, atau ditinggalkan kalau respons itu diteguhkan secara negatif. [4]

Pada intinya, dalam belajar, seorang guru dihadapkan pada sebuah situasi dimana ia secara individu sedang belajar dari peserta didik yang (sedang) belajar. Guru harus dapat mempertinggi mutu mengajar, agar peserta didik dapat memahami apa yang diajarkan. Tanpa komunikasi yang baik antara guru dan peserta didik, maka proses belajar mengajar tidak akan dapat berjalan efektif serta tidak tercapainya ; pengetahuan yang dikehendaki, penanaman konsep dan ketrampilan, serta pembentukan sikap sebagai tujuan belajar.[5]

Ketika NILAI akademik menjadi tolok ukur utama

Idealisasi pendidikan di atas merupakan sebuah keharusan yang terkait dengan tiga komponen dalam pendidikan, yaitu : keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Ringkasnya berhasil tidaknya siswa dalam belajar bergantung pada factor pendidikan orang tua dalam keluarga, para pendidik yang memiliki empati terhadap perkembangan peserta didik dan lingkungan masyarakat yang mendukung secara baik terciptanya individu yang baik.

Namun idealisasi di atas telah sirna, manakala nilai akademik yang merupakan angka-angka mati menjadi tolok ukur utama “keberhasilan” para peserta didik. Penulis belum dapat memahami faktor apa yang melatarbelakangi pendidikan di Indonesia, sehingga dalam pelaksanaannya baik pemerintah (lembaga terkait) sebagai penentu kebijakan, guru bahkan orang tua peserta didik, begitu “mendewakan” prestasi akademik. Departemen terkait merasa bangga jika ada anak yang nilainya tinggi (secara akademik) lalu dijadikannya sebagai “ikon” keberhasilan pendidikan di wilayahnya. Guru begitu memuji-muji prestasi muridnya yang memiliki peringkat tertinggi nilai akademiknya, karena ia (dipercaya) akan membawa “nama baik” sekolahnya. Sementara orang tua merasa beruntung jika anaknya mendapatkan juara I karena nilai raportnya tertinggi di atas teman-temannya. Keberuntungan orang tua itu karena dengan prestasi anaknya itu akan membuatnya hidup bahagia (secara materi) di masa mendatang. Sementara jika terdapat peserta didik yang (secara akademik) tidak begitu menonjol, tetapi ia dapat melakukan suatu tindakan sosial, misalnya ; berdialog dengan masyarakat, dapat mendamaikan teman yang bertikai, dan tindakan-tindakan lain yang berkaitan erat dengan kepekaan-kepekaan sosial, ia tidak pernah mendapatkan sanjungan, terlebih penghargaan secara nyata sebagai siswa yang berprestasi.

Pandangan di atas merupakan sebuah potret, bahwa peserta didik dianggapnya sebagai kotak kosong yang harus diisi. Guru bertindak sebagai sumber dan pemegang otoritas ilmu, yang mana peserta didik “dipasung” untuk taat, tunduk, patuh, dan satu kata dengan guru, yang pada akhirnya peserta didik harus mengikuti kesimpulan guru.

Pandangan ini bukan saja “memasung” kreatifitas peserta didik, namun yang lebih tidak manusiawi adalah bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM). Peserta didik adalah organisme hidup yang tumbuh dan berkembang atas tenaga dalamnya sendiri. Guru bukanlah pemegang otoritas ilmu. Guru juga bukan merupakan sumber belajar, karena sumber belajar bisa didapatkan dari mana saja dan dari siapa saja. Tugas guru adalah mengapresiasi, mengapersepsi, mengeksplorasi untuk kemudian memanipulasinya agar mengarah pada tujuan pembelajaran serta bermanfaat seoptimal mungkin bagi kehidupan individu mereka sendiri maupun kehidupan masyarakatnya di masa sekarang dan akan datang. Tuhan saja meninggikan kedudukan mereka, mengapa kita sebagai guru justru menganggap bahwa mereka rendah ?

Pandangan inilah yang akan membuat guru lebih bersemangat untuk menciptakan suasana belajar yang lebih menantang berpartisipasi aktif, belajar di atas minat yang dibangun bersama, membimbing untuk berfikir dan bersikap positif, membangkitkan motivasi, rasa ingin tahu, keinginan berpetualang dalam rimba ilmu, dan kegairahan belajar yang menyenangkan, meningkatkan kepercayaan diri serta menantang untuk meraih impian.

Ujian curang..? Why not...?

Pekan ini (tanggal 16-19 April 2012) dunia pendidikan (khususnya) untuk tingkat SLTA tersibukkan dengan pelaksanaan Ujian Nasional. Berbagai macam berita telah disuguhkan secara nyata tidak hanya oleh media-media cetak, tapi yang lebih mencengangkan adalah yang bersumber dari media elektronik (baca : televisi). Mengapa..? karena ia menayangkan tidak hanya tawuran pelajar pasca ujian, tetapi juga kecurangan-kecurangan yang terjadi pada pelaksanaan ujian. Ada yang dengan senyum ceria karena telah mendapatkan jawaban lima paket sekaligus sebelum pelaksanaan ujian, ada yang sembunyi-sembunyi melihat bocoran jawaban melalui ponsel, sampai pada yang secara terang-terangan bertukar jawaban tanpa peduli bahwa di dalam ruang ujian terdapat dua orang pengawas yang sibuk dengan HP-nya ataupun (mungkin) sedang “sharing” masalah keluarga dan ekonomi, demikian menurut berita tv.

Masa sih segitunya anak-anak kita..? Ya iya lah... karena mereka disinyalir bergerak secara “terorganisir” sehingga merekapun nyaman melakukannya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, “mengapa anak-anak kita melakukannya setiap terjadi ujian nasional?”. Untuk menjawab pertanyaan ini penulis merasa perlu untuk menarik ke belakang potret pendidikan kita yang salah satu diantaranya adalah telah terangkat pada awal tulisan ini, yaitu Nilai Akademik sebagai penentu keberhasilan peserta didik. Namun pada dasarnya bukan hanya faktor itu saja yang melatarbelakangi keganjilan dunia pendidikan ini.

Sedikitnya penulis mengungkapkan terdapat empat faktor utama mengapa hal ini mesti terjadi, yaitu :

· Adanya ketimpangan terhadap soal-soal ujian nasional yang seolah tidak membedakan bobot soal antara siswa di perkotaan dengan siswa di pedesaan bahkan pelosok sekalipun. Untuk hal ini, silakan pembaca mencermatinya secara bijak bahwa pengalaman belajar yang diperoleh peserta didik di pedesaan dan pelosok jelas sangat berbeda dengan yang ada di perkotaan, terlebih jika mereka ter-back up oleh kemampuan ekonomi keluarga yang mapan. Hal ini sudah barang tentu akan dijawab oleh pemerintah melalui kemendiknas, bahwa antara suatu daerah dengan daerah lain pasti terdapat perbedaan bobot soal. Namun ia baru hanya sebatas antar provinsi saja, sementara sangat tidak menutup kemungkinan dalam satu provinsi terdapat beberapa daerah kabupaten (bukan kota) yang jangankan peserta didiknya, sekolahannya saja “laa yahya wa laa yamuutu” (berkembang tidak, dikatakan matipun juga gak mau).

· Terdapatnya standarisasi kelulusan dengan berpatokan utama kepada nilai hasil ujian dan nilai akademik sekolah. Melakukan evaluasi yang salah satunya dengan memberikan nilai sebagai sebuah penghargaan atas “kerja keras” peserta didik memang perlu. Namun jangan sampai peserta didik termakan sebuah tuntutan bahwa nilai tinggi adalah penjamin masa depan. Inilah yang kemudian Nilai Akademik menjadi disanjung dan didewakan, seolah peserta didik yang tidak memiliki nilai akademik baik sesuai tuntutan kompetensi memiliki masa depan yang suram, dan siap hidup susah. Dengan adanya penentuan nasib yang seolah (hanya) bergantung pada “empat hari” itulah yang kemudian memaksa peserta didik, bahkan (maaf..) guru pun melakukan tindak kecurangan. Akibat ketergantungan itulah, maka peserta didik akan merasa gagal untuk melanjutkan hidup dan kehidupannya sesuai dengan yang diharapkan. Misalnya ; khawatir gagal masuk di industri (baca ; kerja) dan khawatir tidak jadi meneruskan kuliah di perguruan tinggi.

· Peserta didik tidak pernah diberikan sebuah penyadaran bahwa kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Mereka kurang termotivasi untuk melakukan perubahan-perubahan sesuai tuntutan zaman yang penuh dengan karya-karya baru yang lebih kreatif dan menjanjikan. Terlebih Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan kaya akan hal-hal lain yang jarang ditemukan di negara lain sekomplit Indonesia. suntikan-suntikan penyadaran inilah yang sebenarnya dibutuhkan oleh anak-anak kita yang notabenenya adalah pemegang tongkat estafeta amanah bangsa ke depan.

· Perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan masih belum secara merata dan adil. Tengok saja sekolah-sekolah yang (maaf) dari segi bangunan fisiknya, disundul kucing saja ambruk. Yah, maklum ia berada di pelosok dan desa, kepala dan yayasannya saja bukan orang yang “dekat” dengan birokrasi. Sementara dapat kita tengok sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas yang berstandar “internasional”, alamaaaak .... bagus, bersih, komplit lagi sarananya. Yah, maklum saja lah, siapa sih pejabat yang tidak kenal orang-orang yang duduk di yayasan tersebut..? Tinggal bilang, buat proposal seadanya, cair.. deh. Jadi, bagaimana mau mempersiapkan peserta didik pedesaan untuk dapat bersaing dengan yang ada di perkotaan? Gurunya saja gak Pe De saat bersanding dengan guru sekolah mentereng di Forum MGMP, bagaimana siswanya ..?

Inilah pembaca yang budiman mengapa setiap digelar Ujian Nasional selalu saja terjadi kecurangan. Kita patut prihatin dengan empat pilar yang melatarbelakangi hal tersebut. Pada satu sisi, UN berfungsi sebagai salah satu alat evaluasi dalam system pendidikan kita. Meski di sisi yang lain tidak sedikit kalangan praktisi pendidikan akhirnya menjustifikasi bahwa UN adalah satu-satunya instrument yang menentukan baik buruknya wajah pendidikan kita. Karena itu, di mata mereka UN menjadi segala-galanya. Keberhasilan pendidikan kita akhirnya diukur dengan hasil UN semata. Maka siswa yang dianggap sukses adalah siswa yang Lulus UN. Sekolah yang dianggap sukses adalah sekolah yang paling banyak meluluskan siswanya.

Anggapan semacam ini tentunya berujung pada kelahiran sikap-sikap pragmatism sempit dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan hanya dipahami hanya sebatas pencapaian hasil akhir berupa angka-angka statistik tingkat kelulusan, bukan rangkaian proses panjang dan sinambung yang melibatkan pembentukan karakter dan perilaku peserta didik.

Sampai dengan hal ini, bukan hanya penulis yang menilai bahwa UN hanya melahirkan potensi mengkerdilkan pendidikan kita, tetapi masyarakat dan banyak guru-guru swasta maupun negeri yang memiliki pendapat yang sama. Mengapa ? Sebab, UN disinyalir berkemungkinan besar akan mendorong anak didik dan guru-guru kita lebih mementingkan hasil dan pengakuan dari pada proses. Jika itu kemudian terjadi secara meluas, maka akan melahirkan individu-individu yang jangankan memiliki inovatif karena untuk memiliki kreatifitaspun proses pendidikan mereka terpasung habis.

Penutup

Idealisasi pendidikan kita tertuang dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Maka jika hal di atas benar-benar ingin menjadi sesuatu yang diwujudkan dalam bentuk nyata, sudah barang tentu praktisi pendidikan harus melakukan semacam reorientasi dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan kita telah terlanjur (untuk tidak dikatakan terperosok) pada orientasi perolehan target hasil akhir secara instan yang hanya diukur dengan angka-angka mati. Reorientasi harus diarahkan pada idealisasi pendidikan kita yang berorientasi pada proses dan diukur dengan terciptanya pembentukan karakter dan perilaku peserta didik.

Demikian pula terjadi pada guru yang memang diakui atau tidak, profesi guru adalah profesi yang seringkali tidak diukur dengan untung rugi, tetapi profesi yang lebih berpijak kepada sebuah pepatah melayu kuno, yaitu : “Jadilah orang yang memberi sebanyak-banyaknya, bukan orang yang menerima sebanyak-banyaknya.”

------------

Penulis adalah Guru di SMK Negeri 1 Tonjong Kab. Brebes.



[1] Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1992, hlm. 45

[2] S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta, 1992, hlm.3

[3] Amir Faisal, Mencetak Siswa Unggulan dengan Spiritual Quantum Teaching, SQ Consul, Semarang, 2007, hlm. 26.

[4] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1988, hlm. 251

[5] Sardiman AM., Interaksi dan Motivasi Belajar dan Mengajar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 28-30.