03 Desember 2011

ASAL BUMIAYU.. (Antara Legenda dan Mitos)

Oleh : Muhammad Subkhan*

Muqaddimah

Permohonan maaf penulis terlebih dahulu penulis haturkan kepada publik, karena tulisan di bawah ini cerita rakyat dari mulut ke mulut yang tentunya memiliki banyak versi serta tidak dijumpai sumber yang dianggap paling autentik yang dapat dijadikan acuan secara pasti. Namun setidaknya tulisan ini dapat menjadi khazanah bagi masyarakat Bumiayu dan sekitarnya untuk dapat diketahui bagaimana sebuah legenda maupun mitos yang selama ini hanya menjadi buah bibir tanpa memiliki nilai yang berarti.

Oleh karenanya, penulis tidak mencantumkan kata “sejarah”, untuk menghindari adanya satu anggapan upaya pemelintiran kata “sejarah” (yang menurut para sesepuh dan tokoh, Bumiayu dan dan empat kecamatan lain disekitarnya, yakni ; Paguyangan, Bantarkawung, Sirampog dan Tonjong tidak memiliki hubungan historis dengan sejarah penamaan Brebes sebagai induk pemerintahannya).

Penulis sangat merasa berterimakasih jika ada diantara pembaca dapat memberikan informasi (terutama berkaitan erat dengan nama ; Balaikambang, Kedatuan, Linggapura, Pesanggarahan, Balapusuh, Rajawetan, Margasari, Balapulang, dan Slawi) yang masih belum dapat tercover dalam tulisan ini. Kritik dan saran selalu penulis harapkan, terutama bagi yang memiliki ikatan kultural dengan Kota Bumiayu dan sekitarnya.

Perjalanan dari Mataram

Diawali dari mangkatnya Raden Mas Rangsang yang bergelar Panembahan Agung Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman atau yang masyhur disebut dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma pada tahun 1645, tepat enam tahun setelah berhasil menaklukan Blambangan tahun 1939. Sultan Agung telah berhasil melakukan ekspansi ke deluruh daerah di Jawa dan Madura (kecuali Banten dan Batavia)[1] dan beberapa daerah luar Pulau Jawa, seperti ; Palembang, Jambi dan Banjarmasin. Mangkatnya Sultan Agung membuat sang putra mahkota Pangeran Arum didaulat untuk memimpin Mataram, dengan gelar Sunan Amangkurat I. Nama aslinya adalah '''Raden Mas Sayidin''', putra [Sultan Agung]. Ibunya bergelar Ratu Wetan, yaitu putri Tumenggung Upasanta Bupati [Batang] (keturunan [Ki Juru Martani]). Ketika menjabat [Adipati Anom] ia bergelar '''Pangeran Arya Prabu Adi Mataram'''. Amangkurat I memiliki dua orang permaisuri. Putri [Pangeran Pekik] dari [Surabaya] menjadi Ratu Kulon yang melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi [Amangkurat II]. Sedangkan putri keluarga Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas Drajat, kelak menjadi [Pakubuwana I].

Sejak kepemimpinannya, wilayah Mataram berangsur-angsur menyempit karena aneksasi yang dilakukan oleh Belanda. Perpecahan tersebut disamping atas peran Belanda, juga akibat adanya kegusaran masyarakat atas ekspansi yang dilakukan oleh Mataram yang menjelang mangkatnya Sultan Agung. Pemberontakan-pemberontakan terhadap kekuasaan raja banyak dilakukan, antara lain dari ; keturunan Sunan Tembayat, keturunan Kadilangu, Wangsa Kajoran, keturunan Panembahan Rama dan Panembahan Giri.

Atas gencarnya aksi pemberontakan tersebut, mengakibatkan posisi Sunan Amangkurat I terpojok (yang dalam versi ini diindikasikan menjalin kerjasama dengan VOC - Verenidge Indische Oast Compagnie, sebuah organisasi monopoli perdagangan milik Belanda di Batavia) sehingga ia berinisiatif untuk menyelamatkan diri dan hendak meminta bala bantuan kepada Gubernur Jenderal De Cock.

Penamaan Ajibarang

Perjalanan Sunan Amangkurat I dikawal para prajurit keratin dengan mengambil route perjalanan Kedu-Banyumas-Tegal untuk kemudian singgah di Kadipaten Carbon atau Caruban atau Cirebon. Singkat cerita, sesampainya di suatu daerah barat Banyumas, Rombongan Gusti Sunan kehabisan perbekalan. Kemasygulannya bertambah setelah ia harus menerima kenyataan bahwa ia harus kehilangan puluhan prajuritnya yang mati akibat jarak tempuh perjalanan secara infanteri dengan medan yang berat dan sangat jauh.

Di daerah tersebut, abdi setia Sunan Amangkurat I, bernama Kyai Pancurawis yang juga bertindak sebagai sais kereta kencananya, kemudian berusaha menjual barang-barang bawaan yang masih tersisa demi untuk kemudian ditukar atau dibelikan kembali dengan bahan-bahan makanan pokok sebagai perbekalan untuk meneruskan perjalanan yang masih jauh. Usaha Kyai Pancurawis beserta para Ponggawanya ternyata berhasil. Baik barang yang memiliki nilai jual tinggi ataupun rendah semuanya terjual dan tertukar habis sehingga berhasil mendapatkan perbekalan yang dikehendaki.

Bukan main senangnya hati Gusti Sunan melihat usaha abdi-abdinya. Sebagai wujud rasa syukurnya, ia menamakan daerah tersebut dengan AJIBARANG, yang berarti barang apapun yang dijual didaerah tersebut “ana ajine” atau ada harganya.

Legenda Paguyangan

Perjalanan kembali dilanjutkan. Kali ini kembali Gusti Sunan harus menelan pil pahit. Betapa tidak, kuda penarik kereta kencananya mendadak jatuh tersungkur terkulai tak berdaya. Berbagai cara ia lakukan untuk dapat mengembalikan kondisi kudanya. Hal tersebut terutama dilakukan oleh Kyai Pancurawis, dimana Kyai Pancurawis terkenal sebagai abdi keraton yang memiliki daya linuwih yang cukup tinggi. Di tengah suasana keprihatinan itu, Gusti Sunan beserta rombongannya beristirahat sembari menunggu hasil laku tapa yang dilakukan oleh Kyai Pancurawis di sebuah tempat petilasan Senopati Linduaji (yang dulu pernah menjadi spionase ayahandanya, Sultan Agung). Tempat tersebut sekarang dikenal dengan sebutan Curug Pereng dekat mata air Kali Pemali Desa Winduaji Kecamatan Paguyangan. Sementara tempat peristirahatan Sunan Amangkurat I di kawasan tersebut sekarang dikenal dengan nama Desa Pesanggahan (yang berarti tempat singgah ; sanggrah).

Dari petunjuk yang dihasilkan dari laku tapa tersebut, Kyai Pancurawis mendapatkan perintah supaya ia mengambil air yang berasal dari sebuah sendang (danau) di lereng Gunung Slamet yang dihuni oleh makhluk air jejaden (jejadian) jelmaan ponggawa Nyai Roro kidul. Segeralah Kyai Pancurawis terhenyak dari laku semedinya, untuk kemudian mencari tempat yang dimaksud. Cukup lama ia mencarinya, akhirnya ditemukanlah tempat yang ia tuju. Sebuah sendang di tempat yang sangat sejuk yang sekarang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan TELAGA RANJENG, dengan jutaan ikan lele sebagai penghuninya.[2]

Kyai Pancurawis menerima petunjuk, jika air yang berasal dari sendang tersebut kemudian dapat disiramkan ke sekujur tubuh kuda penarik kereta kencana Gusti Kanjeng Sunan Amangkurat I yang dalam kondisi sekarat. Hasilnya ternyata sungguh mengejutkan, setelah sekujur tubuh kuda itu basah terkena siraman air Telaga Ranjeng, secara berangsur-angsur namun dalam waktu yang cukup singkat, kuda itu dapat pulih seperti sedia kala. Atas keberhasilan usaha Sang Sais, Gusti Sunan berujar, “Tempat ini aku namakan PAGUYANGAN, dan aku yakin kalau tempat ini tidak akan kekurangan air sampai kapanpun sebagai sumber kehidupan masyarakatnya kelak.”

Di tengah kegembiraan sumringah wajah Gusti Sunan, terdengar helaan berat nafas Kyai Pancurawis yang masih berfikir tentang adanya pantangan bagi kuda kesayangannya itu. Dalam petunjuk yang ia terima, jika kuda itu telah pulih, maka hal yang tidak boleh ia lakukan adalah menginjak bambu kering. Jika pantangan itu terlanggar, maka tak ayal lagi kematian yang akan menimpa kuda tersebut.

Tibalah di suatu tempat dimana kejadian yang tidak diinginkan kembali terjadi. Dalam perjalanan berikutnya, secara tiba-tiba kereta kencana terangkat ke atas sampai hampir menjatuhkan Sunan Amangkurat I. Seekor ular besar tampak berada di depan kereta kencana. Sontak saja, kuda penarik mengangkat kakinya tinggi-tinggi. Dengan tenang, Kyai Pancurawis mencoba menenangkan gelisah dan ketakutan si kuda. Diambilnyalah sebuah bambu kering yang digunakan untuk mengusir ular yang menghadangnya. Tampak si ular tak kuasa menghadapi kekuatan batin Kyai Pancurawis, sehingga ia terpaksa harus meninggalkan mangsanya. Kepergian ular itu membuat tenang perasaan seluruh rombongan tak terkecuali Kyai Pancurawis dan kuda kesayangannya. Dibuangnyalah bambu kuning pengusir ular tadi, namun tak disangka dan tak dinyana, Kyai Pancurawis tak menyadari jika kudanya menginjak bambu kuning yang ia buang di hadapan kereta kencana Gusti Sunan sehingga mengeluarkan bunyi “kre..tek !”. (tempat tersebut kemudian dinamakan Desa KRETEK).

Suara angin menderu dan membahana seolah memecah keheningan rombongan Sunan Amangkurat I. Ia dan rombongannya merasa seolah-olah ada yang sedang memburunya dengan kekuatan yang sangat dahsyat. Lari secepat kilat adalah pilihan terbaik yang dapat dilakukan rombongan saat itu, sehingga tempat berlarinya rombongan tersebut oleh masyarakat sekarang dikenal dengan nama PAGOJENGAN, berasal dari kata “nggojeng” yang berarti ; berlari cepat.

Bumiayu ; Mitos dan Legenda Nyai Rantansari

Sunan Amangkurat I dan wadya balanya memasuki suatu wilayah, dimana ia dan rombongannya dihadapkan pada suatu kejadian yang amat serius dan sangat membingungkan. Hal ini terjadi setelah rombongan masuk sebuah desa bernama “DAHA”.[3] Tanpa sebab musabab yang jelas, mendadak kuda penarik kereta kencana yang tidak lama telah melewati masa kritis, tiba-tiba terkulai lemas dan mati.

Bukan main sedihnya hati Gusti Sunan, terlebih Kyai Pancurawis yang merasa telah menyatu dengan kuda tersebut. Beberapa prajuritnya juga hilang tak berbekas seperti lenyap ditelan bumi. Dengan penuh rasa haru, dikuburkannyalah kuda itu di suatu tempat yang sekarang bernama KARANGJATI. [4] Agak lama Gusti Sunan dan rombongan berada di tempat tersebut. Ia telah mengalami beberapa peristiwa yang mengguncangkan hatinya. Ia sadar, jika ia telah lalai dalam menjalankan amanat sebagai Sultan Mataram sesuai dengan pesan dan petuah ayahanda dan kerabat keluarga kasultanan Mataram. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Allah SWT dan prajurit-prajurit yang masih setia kepadanya.

Begitu mendalam pula kesedihan yang dialami Kyai Pancurawis, yang kemudian ia meminta izin kepada Sunan Amangkurat I untuk diperkenankan tetap tinggal di Karangjati mengurus kuburan kuda kesayangannya sampai ajal menjemputnya.[5] Walhasil dengan tidak ikut sertanya Kyai Pancurawis menemaninya melanjutkan perjalanan, maka Gusti Sunan pun menjadi tidak memiliki semangat. Satu-satunya harapan yang sekarang ia miliki hanyalah bertemu dengan seseorang yang dapat mengobati kegundahan hatinya dan meluruskan langkah kehidupannya. Sesaat ia memandang sekeliling, tampak di pelupuk matanya Gunung Slamet yang menjulang tinggi ke angkasa, didampingi pebukitan yang setia menemani keperkasaannya. Sementara lerengnya, terhampar area pesawahan yang merupakan panorama keindahan alam sangat luar biasa. Sebuah wilayah yang masih dalam kekuasaan pemerintahannya di Mataram dengan masyarakat yang ramah dan religius, begitu pikirnya. Decak kagumnya, mengundang hasratnya untuk memberikan nama wilayah ini dengan nama BUMIAYU.

Di Bumiayu inilah Sunan Amangkurat kemudian bertemu dengan sosok wanita jelita yang memikat hatinya. Ia berusaha menghampiri wanita itu, namun semakin cepat ia berusaha meraihnya semakin cepat pula wanita itu lenyap dari pandangan matanya. Sampailah Gusti Sunan di sebuah tempat dimana ia melihat wanita itu masuk dan hilang tak berbekas. Betapa terkejutnya Gusti Sunan, ketika secara tiba-tiba muncul suara tanpa rupa yang menasehatinya supaya selalu mendekatkan diri kepada Tuhan dan untuk memperolehnya ia harus terus berjalan ke utara bukan ke barat. Di bawah pohon beringin besar ia tertunduk lesu sembari menyadari kealpaannya selama ini. Tempat tersebut kini bernama Dukuh Kramat (yang berarti Kramat ; Wingit atau angker) dan terdapat CANDI KRAMAT yang dipercaya masyarakat setempat dihuni oleh Nyai Rantansari.[6]

Sosok wanita ayu itu juga yang ikut memiliki peran atas penamaan Bumiayu ini. Menurut Sunan Amangkurat I, pemberian nama Bumiayu ini memang selain memiliki panorama alam yang sangat indah, juga karena wilayah ini “dikuasai” oleh Nyai Rantansari yang memiliki kecantikan tiada tanding.

Ikhtitam

Dalam versi Babad Mataram disebutkan bahwa, pelarian Amangkurat I membuatnya jatuh sakit. Menurut ''Babad Tanah Jawi'', kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Mas Rahmat. Meskipun demikian, ia tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai raja selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar. Amangkurat I meninggal pada 13 Juli 1677 , dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di [Tegal]. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum.
Oufers hadir disana dengan dua belas orang serdadu.
Amangkurat I juga berwasiat agar Mas Rahmat meminta bantuan VOC dalam merebut kembali takhta dari tangan Trunajaya. Mas Rahmat ini kemudian bergelar [Amangkurat II] dan mendirikan [Kasunanan Kartasura] sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram. Legenda yang beredar disebutkan pula bahwa, cukup lama Sunan Amangkurat I berada di wilayah Bumiayu dan sekitarnya. Singkat cerita, sampailah ia berada di suatu tempat bernama Adiwerna. Dengan bekal ketakwaan dan silsilah darah birunya, membuatnya menjadi panutan masyarakat sehingga ia mendapatkan gelar SUNAN TEGAL ARUM atau SUNAN TEGALWANGI. Ia dimakamkan di Pesarean Lemah Duwur Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal. Konon, makamnya pada hari-hari tertentu mengeluarkan bau harum, karenanya ia mendapatkan gelar Tegal Arum. Pemakamannya selalu ramai dikunjungi para peziarah, khususnya setiap malam Selasa atau Jum’at Kliwon, terlebih pada malam 1 Suro atau malam tanggal 1 Muharram tahun baru Islam. Para peziarah dating dari berbagai penjuru memadati ruas-ruas jalan Slawi-Tegal tentunya dengan berbagai macam tujuan. Namun sangat penulis sesalkan, bahwa tulisan cerita ini belum lengkap versinya. Belum ada informasi yang cukup meyakinkan penulis untuk dapat dimuat dalam sebuah cerita legenda, terutama tentang penamaan Dukuh Balaikambang, Kedatuan, Pesanggrahan, Desa Linggapura, Balapusuh, Rajawetan sampai dengan Adiwerna Kabupaten Tegal.

Wallahu a’lam bishawab.

· Penulis adalah Pengajar di SMK Negeri 1 Tonjong Kab. Brebes

· Pernah “ngajar” juga di ; SMP BU Bumiayu, SMK Kerabat Kita Bumiayu, SMPN 1 Tonjong



[1] Sultan Agung pernah dua kali mencoba melakukan serangan ke Batavia, yaitu pada tahun 1627 dibawah pimpinan Tumenggung Baureksa dan Tumenggung Suro Agul-agul. Tahun 1629 dibawah pimpinan Kyai Ageng Juminah, Kyai Ageng Purbaya dan Kyai Ageng Puger, Kedua penyerangan tersebut tidak berhasil menembus benteng pertahanan VOC di Batavia. Prajurit Mataram telah kehabisan tenaga akibat kurangnya perbekalan, karena dibakar pengkhianat. Kegagalan itu sebenarnya sudah dapat dirasakan oleh Senopati Linduaji yang bertugas sebagai spionase, yang menyatakan terdapat indikasi penyusupan dan pengkhianatan oleh masyarakat yang ditugasi menjaga lumbung padi untuk perbekalan prajurit Mataram yang ditempatkan di daerah perbatasan (Jawa Tengah – Jawa Barat). (ENSIKLOPEDI ISLAM, Jilid 3)

[2] Penduduk setempat mempercayainya, bahwa ikan-ikan tersebut diutus untuk menjaga area pesawahan di Desa Pandansari. Konon, sawah-sawah di desa ini tidak pernah terkena hama tikus. namun daerah sekitar, banyak ditemukan sawah yang terkena hama tersebut, yang diyakini kalau tikus-tikus tersebut bersumber dari ikan-ikan lele yang berada di Telaga Ranjeng. Wallahu a’alam ….

[3] Konon menurut cerita, Desa Daha ini leluhur dan pendirinya adalah berasal dari Kerajaan Daha, Kediri Jawa Timur. Sekarang desa tersebut bernama Negaradaha berada di Wilayah Kecamatan Bumiayu. Di desa tersebut juga terdapat suatu tempat bernama Candi Nyai Rantansari yang dipercaya memiliki hubungan dengan Candi Kramat di Bumiayu yang juga Nyai Rantansari sebagai Danyang yang Mbahurekso tanah Bumiayu.

[4] Dukuh Karangjati terletak di Desa Kalierang Kecamatan Bumiayu. Terdapat sebuah tempat dimakamkannya Kyai Pancurawis dan kuda kesayangannya, yang sekarang tempat tersebut dikenal oleh masyarakat dengan nama CANDI PANCURAWIS.

[5] Sampai dengan akhir hayatnya, konon Kyai Pancurawis yang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu kemudian ditokohkan oleh masyarakat sekitar. Ia dimakamkan disamping kuda kesayangannya sesuai dengan wasiat sebelum wafatnya.

[6] Masyarakat mempercayai Sosok Nyai Rantansari adalah sebagai Danyang atau sebangsa Jin perempuan yang masih memiliki ikatan dengan penguasa Pantai Selatan, Nyai Roro Kidul. Konon, ia suka memakai pakaian hijau pupus. Maka, kepercayaan masyarakat Bumiayu, adalah pantang bagi orang memakai pakaian dengan warna yang sama saat masuk ke Dukuh Kramat, terlebih saat memasuki kawasan Candi Kramat.

01 Desember 2011

NASIB INDONESIAN SOCCER TIMNAS


Dulang Prestasi, (dan) Dulang Prestise
Pesta Olah Raga negara-negara se Asia Tenggara dah sepekan berlalu. Indonesia telah meraup sukses acara sekaligus sukses prestasi. Hal ini ditunjukkan dengan lancarnya penyelenggaraan tidak hanya di Jakabaring Sport City, tetapi juga di Jakarta en kota-kota lain yang menjadi tempat dilangsungkannya beberapa cabang olah raga.
Kumandang lagu kebangsaan setiap hari senantiasa mengiringi naiknya Sang Dwi Warna, sebagai perlambang keperkasaan para atlet yang meraup medali emas. Secercah harapan kembali muncul di wajah Bangsa negeri ini untuk menjadi "Macan Asia" terutama di pentas-pentas Olah Raga. Hal ini wajar, karena telah lama "Macan" ini tertidur, terninabobokan oleh kejayaan masa silam.
Sekedar mengenang masa lalu saja, penulis ingin mengungkapkan rasa rindu kejayaan beberapa cabang Olah Raga profesional yang dulu pernah menjadi harapan dan perlambang keperkasaan bangsa. Tercatat dalam sejarah, di cabang Bulutangkis, kita tersenyum karena Rudi Hartono, Liem Swie King, Icuk Sugiarto meraih poin penuh sebagai "Raja" di ajang All England. Bahkan Piala Thomas dan Uber beberapa kali disandingkan para atlet Pelatnas. Kita juga ingat kala, Bambang Nurdiansyah menjadi pengawal gawang Timnas bersama dengan Heri Kiswanto dll saat dapat mengalahkan Korea Selatan di ajang Pra Piala Dunia. Dari dunia Tinju profesional, Ellyas Pical sempat menorehkan tinta emas bagi perjalanan Tinju Dunia. Dan tentunya beberapa cabang olah raga lainnya yang pernah menjadi kebanggaan masyarakat negeri ini.

Kalah sama Malaysia Timnas Sepakbola Indonesia di laga terakhir Sea Games kemarin, berhadapan di partai Final (kembali) melawan Malaysia setelah sebelumnya berhasil mencukur Timnas Vietnam yang menjadi Juara Group A. Supporter yang memadati Gelora Bung Karno dan Senayan serta jutaan warga Indonesia menaruh harapan kepada Egi dan Timnas kita untuk dapat membalas kekalahan kita di ajang AFF.
Gemuruh suara supporter diharapkan dapat membangkitkan "cakar Garuda" untuk dapat menerkam" Harimau Malaya". Namun apa hendak dikata, cakar Garuda seolah tumpul saat berhadapan dengan" Taring Harimau Malaya". Kekalahan dramatis Timnas Indonesia lewat adu finalti membungkam jutaan warga Indonesia yang menyaksikan secara live laga itu.
Kecewa ...?! itu PASTI. Namun laga ini bukan hanya "perang prestasi" tapi lebih pada "perang prestise". Mengapa disebut sebagai perang prestise ? O, ya.... jelas, kalah dari Malaysia lebih menyakitkan dibanding dengan Vietnam, Philipina, bahkan Timor Leste sekalipun. Hal ini tidaklah berlebihan. Beberapa faktor yang melatarbelakangi, dapat penulis ungkapkan sebagai berikut :
  1. Masyarakat negeri ini telah dibuat "geregetan" oleh ulah Malaysia yang tak ubahnya macam perampok. Ngrampok budaya lah (Kesenian Reog dan Batik), ngrampok pulau lah (Sipadan dan Ligitan) bahkan beberapa pulau juga (kabarnya) mau dicaplok lagi macam Camar Bulan.
  2. Malaysia telah dituduh menghina martabat bangsa Indonesia dengan perlakuan kasar para majikan terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia. Tak jarang dari para TKW ini pulang tinggal nama. (Yang ini sih..bukan salah mereka secara murni, kita yang mesti introspeksi).
Ya... demikian itulah, faktor utama yang menjadi peperangan prestise pada laga Football kita.

Apa yang salah dengan Pemain Timnas kita ?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kayaknya sulit banget deh. Pernah sih pelatih asal Belanda Si Wim Rijkburgen ketika dia menangani Timnas senior berkilah, kalau postur tubuh menjadi alasan utama Timnas kita kalah sama Bahrain, Qatar dan Iran. "Apa iyaa... Meneeer ?"
Mungkin Meneer Wim belum pernah tengok postur Timnas Korea sama Jepang kali ya.... Kalau mau dibandingkan, kita sama koq dengan mereka. Tapi mereka bisa tampil di ajang World Cup.
Persoalan bola ini tidak lepas dari pendidikan karakter bangsa yang telah mengurat akar di negeri ini.
Lho... hubungannya apa, Mas ? kalau dilihat dari sudut pandang etika agama (maaf neh cuma bisa dari sisi ini aja), kita ini terlalu sombong meminta sesuatu kepada Tuhan. (sekali lagi maaf, ni tak sampaikan karena Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berke-Tuhan-an). Saat orang Jawa dan kebanyakan bangsa timur lainnya menanamkan etika anak meminta sesuatu pada orang tuanya, mereka diajarkan untuk berbuat santun dan sopan dengan (maaf) menengadahkan tangan. Bagaimana dengan meminta sesuatu kepada Tuhan ? (misalnya ; minta menang atau Bangsa menjadi JAYA..?). Saya kira sama lah ya...
Upacara-upacara yang tiap Senen digelar di sekolah-sekolah ternyata belum menyentuh hal itu. Mereka lebih "memilih" gaya militer dari pada sipil. Maklum... militer kan pegang senjata, jadi kalo upacara gak pake mengangkat tangan sebagai tanda "butuh". Nah... kita militer bukan kenapa harus (cuma) menundukkan kepala atau sekedar mendengar laporan dari Sang Pembaca Do'a ?
Jadi apa sih susahnya mengangkat tangan saat berdo'a sekalipun pada kegiatan sekelas upacara. Begitu angkuhkah kita sampai kepada Tuhan Yang Maha Kuasa kita tidak kuasa mengangkat tangan ? "Aaahhh... yang penting kan niatnya, Mas". Eeiiiiittt .... kalo alasannya niat saja, mbok ya konsisten .... Habis shalat cukup tundukkan kepala saja dong gak pake ngangkat tangan.
Iya dong, Sang Dwi Warna naik saja, kita mesti angkat tangan untuk hormat sebagai wujud dari penghargaan atas perjuangan para pahlawan tegakkan NKRI.
So.... marilah kita perbaiki diri (yang salah satunya) dengan menghargai Tuhan, yang semoga masih berkenan mengangkat derajat Bangsa Indonesia tampil kembali sebagai "Macan Asia".
FORZA INDONESIA ....!!!