30 Agustus 2011

PENENTUAN TANGGAL 1 SYAWWAL ( Antara Perbedaan, Keyakinan dan Ketulusan)

Oleh : Muhammad Subkhan

Hisab dan Ru’yat

Sekelompok masyarakat di Jalan Pisangan Baru Jakarta Timur Nampak sedang ramai berkumpul sesaat setelah melaksanakan shalat tarawih di Masjid At Taqwa. Pembicaraan mereka mengarah akan rencana mudik lebaran yang tinggal beberapa hari lagi. Ada yang sudah memesan tiket kereta api, ada yang mau memakai armada bus, ada juga yang mau ikut program mudik bareng yang disponsori produk tertentu, bahkan yang lebih ekstrem, ada yang mau mudik pakai BAJAJ…!!. Gila, nggak tuh …?! Kiranya mereka bersepakat akan melakukannya bersama pada tanggal 28 Agustus 2011. Hal ini karena almanak di dinding-dinding rumah keluarga, kantor, bengkel dan berbagai macam tempat lainnya menunjukkan kalau lebaran tahun ini jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011, yang berarti bahwa pelaksanaan ibadah puasa sebagaimana tahun-tahun sebelumnya hanya sampai pada bilangan 29 hari.

Adalah Bumiayu, sebuah kota kecil di wilayah selatan Kabupaten Brebes yang menjadi sentra dari beberapa kecamatan yang mengelilinginya. Bumiayu laksana magnet yang dapat menyedot “aliran dana” masyarakat berputar di dalamnya. Potensinya sebagai sentra ekonomi membuat Bumiayu dapat menjadi kota yang menyenangkan sekaligus kota yang menyebalkan. Kok bisa…? Aduh ceritanya panjang deh... Yang jelas sih, karena di moment Idul Fitri ini aktifitas perekonomian masyarakat begitu meningkat sehingga bagi yang pedagang maupun penjual jasa menjadi sesuatu yang menjanjikan. Namun tidak bagi para pengguna jalan, baik masyarakat lokal maupun para pemudik. Melalui jalur tengah (bukan ring road selatan) terasa seperti “neraka”, yang siap menghanguskan pahala puasa setiap muslim.

Hari itu, tanggal 29 Agustus 2011 jalan-jalan protokol Bumiayu penuh sesak baik oleh kendaraan para pemudik dan masyarakat lokal, maupun oleh para pejalan kaki yang sedang mencari kebutuhan lebaran. Wow… bagaimana tidak ? “orang lebarannya juga besok (baca: tanggal 30 Agustus)…, mau gak mau ?” Aktifitas semua swalayan dan hampir setiap toko di jalan-jalan protokol pada H-4 sampai pada jam 21.00 tidak seperti hari-hari biasa yang cuma sampai jam 17.00. Hiruk pikuk jalanan menjadi pemandangan dan situasi yang rentan terhadap keimanan seorang muslim. Bisa dibayangin deh, kalau ada desak-desakan, ada kendaraan saling senggol… kira-kira seperti apa ?! Ya, kan ..?

Yups, itu semua karena kebutuhan yang harus mereka penuhi untuk berlebaran tanggal 30 besok. Eh, apa iya .. sih ..?! Banyak masyarakat yang dibuat “bingung” atas ini, ada yang bilang tanggal 30. Ada juga yang bilang, “belum tentu tanggal 30 dong…” Bahkan penulis sendiri, mendapatkan tidak sedikit sms yang menanyakan hal ikhwal tentang” lebaran kapan”. Yah… penulis juga mesti maklum, karena sadar betul posisinya sebagai guru PAI dan yang (katanya) ditokohkan (cieee… ceritane ?) dalam organisasi kepemudaan dan ormas Islam. Jadi sangat wajar, jika banyak yang menanyakannya.

Jawaban yang dirasa pas dan aman untuk pertanyaan penentuan 1 syawwal adalah, “ Tunggu saja hasil sidang Istbat nanti malam di Kemenag RI lewat Ti Vi.” What …!!??? Ya memang begitulah. Karena sidang itsbat itu adalah hasil keputusan berdasarkan kesepakatan pemerintah, MUI, Ormas Islam, dan beberapa perwakilan negara-negara asing untuk menentukan jatuhnya 1 syawwal. Di dalamnya berisi laporan dari utusan pemerintah dari berbagai macam tempat di seluruh wilayah Indonesia, yang melakukan kegiatan pantauan Hilal (Ru’yatul Hilaal). Kemarin tanggal 29 Agustus 2011, tidak kurang dari 90 titik di seluruh wilayah Indonesia menjadi tempat untuk melakukan pemantauan Hilal. Dalam laporan sidang itsbat tadi malam (29 Agustus 2011) yang disampaikan oleh Kabid Hisab dan Rukyat, tersampaikan bahwa, dari 36 petugas yang mewakili daerah maupun propinsi di seluruh Indonesia (pake disebutin nama, usia, jabatannya lagi..) tidak ada petugas dapat melihat hilal (eh… jangan salah lho… ini pake alat super canggih, jadi gak pake mata telanjang). Hanya ada dua laporan yang memberikan kesaksian, yaitu di Cakung-Jakarta Timur dan Jepara- Jawa Tengah yang menyatakan dapat melihat hilal. Walaupun akhirnya kesaksian tersebut ditolak musyawirin atas saran dari Ketua MUI K.H. Ma’ruf Amin, karena dianggap lemah argumentasinya.

So… Kementerian Agama RI akhirnya memutuskan berdasarkan hasil sidang Itsbat (termasuk) rekomendasi sejumlah ormas Islam yang hampir semuanya memberikan rekomendasi bahwa 1 syawwal 1432 H jatuh pada Rabu, 31 Agustus 2011, kecuali rekomendasi dari PP. Muhammadiyah yang memutuskan berdasarkan hisab, bahwa 1 syawwal 1432 H jatuh pada Selasa, 30 Agustus 2011. Akhir sidang, Menteri Agama RI KH. Maftuh Basyuni memohon agar perbedaan ini tidak menjadikan renggangnya ukhuwah Islamiyah dan satu sama lain harus saling menghormati keputusannya. Ya, itulah Indonesia, negeri sejuta budaya dan bahasa, negeri dengan sejuta perbedaan, sekaligus negeri dengan sejuta keindahan (harusnyaa…). Dan pada hari ini (30 Agustus 2011), mengulang sebagaimana tahun 2006 dan 2007, masyarakat Muhammadiyah di Indonesia melakukan Shalat Ied di berbagai tempat terbuka dengan khusyuk dan penuh ketenangan. Sementara sebagian besar umat Islam lainnya masih berpuasa dan baru merayakannya esok Rabu, 31 Agustus 2011.

Keyakinan dan Ketulusan

Terlalu panjang memang dirasakan oleh pembaca pada awal tulisan ini, yang seolah hanya ingin mengungkapkan kronologis terjadinya perbedaan penentuan 1 syawwal ansich. Namun penulis ingin membuat suatu benang merah, bahwa bukan hal di atas yang menjadi inti tulisan ini. Why ? karena hal itu dianggap sudah biasa terjadi di sekitar kita, tidak hanya menyangkut penentuan hari lebaran, namun ibadah-ibadah lainnya yang bersifat khilafiyah diantara sesama muslim.

Ada satu cerita menarik (atau sengaja dianggap menarik) datang dari keluarga penulis. Selepas shalat maghrib dan santap buka puasa, Selma putri keduaku yang baru berusia 8 tahun, menanyakan jadi lebaran besok apa tidak. Secara spontan istri penulis menjawab, kalau urusan itu menunggu keputusan pemerintah di Ti Vi. Telah terasa aroma kurang sedap dari raut mukanya begitu ia menyadari belum adanya jawaban pasti tentang hari H lebaran. Tayangan secara live yang disiarkan oleh Metro TV dan TV One seolah menyihir kami untuk tetap berada di depan media elektronik itu dan tidak beranjak ke tempat lain, guna menyaksikan jalannya sidang itsbat.

Sesaat setelah Menteri Agama RI memutuskan, bahwa 1 Syawwal 1432 H jatuh pada hari Rabu, 31 Agustus 2011, sontak putri keduaku ini langsung berteriak, “Dasar, Bodoh …!!! besok gak puasa lah…” Penulispun paham dan menyadari kondisi demikian, “maklum …. Anak kecil, nanti juga sadar sendiri.” Gumamku. Keputusan itu, berarti mengubah rencana malam takbiran menjadi aktifitas rutin shalat tarawih masih satu malam lagi dijalankan. So… ikhlaskan saja lah. Begitulah potret keluarga penulis pada moment sidang itsbat.

Yang menjadi sebuah pelajaran berharga dari penulisan ini adalah, saat orang dewasa muslim pun turut larut dalam kekesalan dan kemasygulan yang sering terungkapkan dengan cacian bertubi-tubi ke arah yang tidak jelas tentang hasil keputusan tersebut. Penulis dapat meraba, inilah ujian iman, inilah yang Allah SWT janjikan sebagai “’Itqun min an annaar” pada sepertiga ramadlan terakhir, inilah yang disebut dengan ujian ketulusan dan panggilan cinta terhadap Dzat Allah.

Bagaimana tidak ? alasan kemasygulan dan kekesalan mereka bukan pada persoalan “mundurnya” waktu lebaran, tetapi lebih pada bertambahnya hari mereka berpuasa ramadlan. Seolah puasa yang Allah SWT wajibkan ini sebagai sebuah beban berat laksana senggunung batu yang dengan penuh keterpaksaan harus mereka jalani. Moment ramadlan tidaklah menjadikan sebagai wahana introspeksi dan taqarrub kepada Sang Pencipta. Maka tidaklah heran, pasca ramadlan kemaksiatan kembali “digelar” oleh manusia sebagai budak syaithan, seolah mereka baru saja terbebas dari “neraka” yang membelenggu kebebasannya selama ini. Astaghfirullahal’adzim …..Tengok saja di jalan-jalan, mall, terminal, stasiun, pasar, bahkan depan masjid sekalipun pada hari ini (Selasa, 30 Agustus 2011), perilaku mereka yang "merasa" baru saja mendapatkan kemerdekaan atas belenggu yang bernama PUASA. Dengan gaya seolah tidak ada perbedaan antara bulan Ramadlan dengan yang lain, dengan tingkah polah yang tidak mencerminkan akhlak Islam yang mengedepankan kehormatan dan toleransi, mereka sedikitpun tidak menghargai sesama yang masih menjalankan ibadah puasa. Padahal penulis yakin betul mereka Islam juga.

Inilah pembaca yang budiman, puasa adalah panggilan cinta, sebagaimana idealisme seorang muslim yang seharusnya bergetar hatinya tatkala nama kekasihnya (Tuhannya) disebut-sebut. Maka, ayuk…bagi yang berkesempatan membaca tulisan ini tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri dalam rangka mengabdi kepada Sang Khaliq sekaligus memohon agar ramadlan mendatang kita masih berkesempatan mengikuti keindahan dan kenikmatannya. Amien …..

Wallahu A’lam bi muraadih …

22 Agustus 2011

MENEGUHKAN KEMBALI MAKNA PROKLAMASI KEMERDEKAAN Dengan Semangat Pendidikan Islam



Oleh : “Al Faqir” Muhammad Subkhan

Fakta

Tak terasa sudah negeri kita telah merdeka (secara yuridis) 66 tahun lamanya. Berbagai perhelatan sebagai bentuk ekspresi kegembiraan yang terwarnai oleh semangat patriotisme telah banyak ditunjukkan oleh anak-anak negeri. Tengok saja kreatifitasnya pada kegiatan karnaval misalnya, atau berbagai macam lomba nan lucu dan menarik banyak digelar oleh lembaga-lembaga pendidikan, instansi-instansi pemerintah dan swasta, sampai pada masyarakat level bawah “TARKAM” (antar kampung) seolah mengisyaratkan bahwa negeri ini benar-benar sejahtera dan penuh kedamaian.

Namun dibalik itu semua, ternyata kita masih saja disuguhkan dengan berbagai macam berita yang menggiriskan hati. Simak saja aneka informasi yang ditayangkan media elektronik audio visual yang hadir di tengah-tengah keluarga kita. Dari potret kemiskinan sampai rebutan kekayaan, kasus penyimpangan seksual sampai pada peristiwa tawuran sebagai akibat gesekan sosial, hingga berbagai kejadian pembunuhan dan terorisme serta bencana alam yang seolah ingin menunjukkan ketidakharmonisannya dengan manusia. Sungguh… hal ini seolah mengisyaratkan kalau negeri ini kembali pada titik nadir.

Kemerdekaan, Isapan Jempol ..?

Jalan Pegangsaan Timur No. 56 di Jakarta 66 tahun lalu, telah menjadi saksi bisu kalau negeri yang bernama Indonesia ini telah Merdeka (baca : bebas) dari cengkeraman penjajah. Masyarakat dunia pun banyak pula yang bersimpati atas perjuangan bangsa Indonesia hingga tidak sedikit mereka munculkan dalam bentuk pengakuan secara resmi.

Dan sebagai catatan, bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia bukanlah hasil pemberian maupun “anugerah” dari Penjajah Jepang maupun Belanda, namun kemerdekaan ini telah ditebus dengan tumpahan darah dan air mata sebagai wujud dari konsekuensi perjuangan fisik. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan kemerdekaan negeri-negeri tetangga Indonesia sendiri. Namun, apakah hal ini hanya sebuah moment yang mesti kita bangga-banggakan sementara hakekat kemerdekaan itu sendiri masih semu ?

Perjuangan para penegak negeri ini tentunya teriringi dengan sebuah tujuan besar dan mulia. Mereka sangat mendambakan bahwa ia dan anak cucunya kelak dapat menapak tanah air mereka sendiri dengan bebas dan berkembang layaknya kodratnya sebagai manusia. Penegak negeri ini sadar betul, jika negeri yang sangat melimpah akan sumber daya alam, kaya akan aneka ragam budaya dan bahasa ini diharapkan dapat menjadi negeri adi daya dan bermartabat. Namun alangkah menyedihkannya sekarang jika harapan tersebut sering kali hanya sebuah harapan yang entah kapan dapat terwujud.

Mengurai Benang Kusut Kemerdekaan Indonesia

Sub judul diatas, sepintas terlihat sangat ekstrim. Yup, benar sekali bagi mereka yang beranggapan bahwa kemerdekaan bangsa kita ini telah lengkap dan sesuai dengan isi dan semangat Pancasila serta UUD 1945.

“Perjuangan belum selesai, Kawan …”, mungkin itulah kalimat yang tepat kita ucapkan saat ini. Bagaimana tidak ? telah 66 tahun merdeka, mestinya usia itu telah dapat menjadikan bangsa ini banyak belajar dari “kesalahan-kesalahan” masa lalu. Mungkin kita masih ingat pepatah bertuah dari John F. Kennedy, bahwa “Bangsa yang bangga akan masa lalu dan sekarang, adalah bangsa yang hakekatnya kehilangan masa depannya sendiri.”

Lantas kepada siapakah tanggung jawab atas kesalahan itu mesti ditimpakan ? Pertanyaan itu mesti terurai dengan sebuah jawaban yang bijaksana tanpa harus ada yang menanggung atas semuanya itu. Mari kita tengok firman Allah SWT dalam QS. Ar Ra’du : 11, yaitu :

11. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Ayat di atas jika kita amati secara tekstual, bisa jadi hal ini berlaku bagi sebuah kaum (kelompok masyarakat ansich). Tetapi jika kita dapat menukil beberapa tafsir, maka ayat tersebut lebih memiliki makna secara personal, yaitu individu. Dalam hal mana, “restu” Tuhan akan kemajuan diri pribadi sangat bergantung kepada apa yang dipikirkan dan dilakukannya. Artinya, jika seseorang tidak bertindak secara cepat dan tepat atas kemunduran dan “ketidakberhasilannya”, maka janganlah menyalahkan Tuhan akan janjinya ini. Karena yang terjadi adalah, ia akan tetap terbelakang, jumud, gatek, gumunan wal kagetan sebagaimana indikator masyarakat tradisional. Lebih menggiriskan lagi bahwa ia tidak memiliki arah atau visi dan misi yang jelas.

Dalam kaitannya dengan kasus di atas, maka “ibda’ binafsika” (Sabda Nabi saw) menjadi suatu pedoman bagi setiap individu. Hal ini juga memiliki makna mendalam, terutama bagi generasi-generasi penerus dan pewaris Nabi dan Ulama, bahwa dalam rangka mengisi kemerdekaan mestilah harus dimulai perbaikan-perbaikan tersebut dari diri sendiri.

Klaim-klaim atas kenakalan remaja dengan serentetan indikatornya seringkali disikapi secara sepihak. Beberapa instansi terkait malah seolah “kebakaran jenggot” dengan menyelenggarakan kegiatan sosialisasi bahaya seks bebas, penyalah gunaan narkotika dan zat adiktif, serta beberapa “trend-trend” miring lainnya yang berkenaan dengan masalah remaja. Sementara sangat sedikit sekali kegiatan serupa diselenggarakan dengan audiens para orang tua dan guru sebagai pendidik di garda terdepan.

Jika kita mau menengok beberapa kasus luar biasa yang terjadi pada zaman dimana teknologi belum secanggih masa kini, guru dan ustadz madrasah belum mengenal dana sertifikasi, tetapi mereka telah dapat melahirkan pemimpin-pemimpin yang kharismatik dan demokratik yang tampil untuk memandegani umat.

Maka, kata kuncinya adalah hanya satu, yaitu Ikhlas. Yup… Ikhlas adalah sebuah tindakan yang disadari atau tidak akan menciptakan dan memunculkan aura-aura positif terhadap diri seorang pendidik. Dari sosok ideal inilah kita meyakini bahwa pendidikan akan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar kehidupan manusia. Sebagai ikhtitam dari tulisan ini, penulis mengajak kepada khalayak untuk bersama merenungi petuah nyata namun seringkali kita abaikan, ;

Kejayaan suatu negeri tidak bergantung pada usia dari budaya negeri itu, ia juga tidak bergantung pada kekayaan alamnya dan ia sangat-sangat tidak bergantung atas image bahwa bangsa tertentu memiliki tingkat kecerdasan di bawah standar.”

Silakan bandingkan usia kebudayaan negeri Mesir dan India dengan Singapura, Kanada, Australia dan Selandia Baru. Silakan juga bandingkan, negeri kita dengan Jepang dan Swiss yang daratannya tidak lebih luas dari Indonesia. Anda juga boleh tengok para imigran dari afrika yang katanya terbelakang namun dapat menorehkan tinta emas di negara-negara Eropa dan Amerika.

Yuk… kita mulai dari sendiri sebagai pendidik tanpa pandang tanggung jawab penuh pada mata pelajaran tertentu, karena hakekatnya Pendidikan Islam mencakup semua ranah mata pelajaran, bukan hanya Pendidikan Agama Islam. Kita harus sadari bersama, bahwa Islam dasarnya adalah Tauhid, syi’arnya ialah kejujuran, porosnya adalah keadilan, tiangnya bernama kebenaran dan ruhnya penuh dengan kasih sayang.

Wallahu ‘alam bishawab


BELAJAR, SEBUAH PENDEWASAAN MANUSIA

Belajar, Pengertian dan Realitas

Ada sebuah pertanyaan menarik, jika seorang guru sedang mengajar di kelas, apakah dengan sendirinya siswa yang diajarnya otomatis juga sedang belajar ? Apakah dengan telah tersampaikannya materi kepada peserta didik, memberikan soal, serta mengevaluasi, hakekatnya pelajaran telah dianggap selesai pula ?

Belajar hakekatnya tidak hanya sekedar meliputi mata pelajaran saja, tetapi penguasaan, kebiasaan, persepsi, kesenangan, minat, penyesuaian sosial, ketrampilan dan cita-cita. Oemar Hamalik menyatakan, bahwa belajar mengandung pengertian tentang terjadinya perubahan dari persepsi dan perilaku, termasuk juga perbaikan perilaku, misalnya pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara lebih lengkap,[1] karena tujuan belajar yang utama adalah bahwa apa yang dipelajarinya berguna di kemudian hari, yakni membantu kita untuk dapat belajar terus dengan cara yang lebih mudah.[2] Namun tidak semua perubahan perilaku juga merupakan belajar.

Seperti halnya QS.16 ; An Nahl : 78, sebagai berikut :

78. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

Dari ayat di atas, maka dalam belajar juga harus memperhatikan aspek-aspek atau potensi-potensi ragawi, akal, dan hati yang dimiliki manusia baik berkaitan dengan posisinya sebagai pendidik maupun sebagai peserta didik.

Pemindahan pengetahuan dan nilai-nilai dari seseorang kepada orang lain, dari satu generasi ke generasi lain, hakekatnya bukan merupakan inti dari proses belajar. Hasan Langgulung memberikan tiga syarat pokok suatu proses yang disebut dengan belajar. Dalam belajar harus terdapat ; 1) rangsangan, 2) benda hidup haruslah mengadakan respons terhadap rangangan tersebut, dan 3) respons yang telah didapatkan kemudian diteguhkan seoerti ganjaran benda atau bukan benda supaya respons itu dibuat lagi dalam suasana yang sama pada masa yang akan datang, atau ditinggalkan kalau respons itu diteguhkan secara negatif. [3]

Standar Keberhasilan Pendidikan ; Pandangan Islam

Departemen terkait merasa bangga jika ada anak yang nilainya tinggi (secara akademik) lalu dijadikannya sebagai “icon” keberhasilan pendidikan di wilayahnya. Guru begitu memuji-muji prestasi muridnya yang memiliki peringkat tertinggi nilai akademiknya, karena ia (dipercaya) akan membawa “nama baik” sekolahnya. Sementara orang tua merasa beruntung jika anaknya mendapatkan juara I karena nilai raportnya tertinggi di atas teman-temannya. Keberuntungan orang tua itu karena (“dianggap”) dengan prestasi anaknya itu akan membuatnya hidup bahagia (secara materi) di masa mendatang. Sementara jika terdapat peserta didik yang (secara akademik) tidak begitu menonjol, tetapi ia dapat melakukan suatu tindakan sosial, misalnya ; berdialog dengan masyarakat, dapat mendamaikan teman yang bertikai, dan tindakan-tindakan lain yang berkaitan erat dengan kepekaan-kepekaan sosial, ia tidak pernah mendapatkan sanjungan, terlebih penghargaan secara nyata sebagai siswa yang berprestasi.

Pandangan di atas merupakan sebuah potret, bahwa peserta didik dianggapnya sebagai kotak kosong yang harus diisi. Guru bertindak sebagai sumber dan pemegang otoritas ilmu, yang mana peserta didik “dipasung” untuk taat, tunduk, patuh, dan satu kata dengan guru, yang pada akhirnya peserta didik harus mengikuti kesimpulan guru.

Pandangan ini bukan saja “memasung” kreatifitas peserta didik, namun yang lebih tidak manusiawi adalah bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM).

Islam diperkenalkan sebagai sebuah agama yang mengusung tema utama, yaitu AKHLAQ. Bahkan Rasulullah SAW pun diutus bukan untuk menyebarkan Islam (secara Syariati), tetapi lebih menitikberatkan pada pembinaan Akhlaq. Akhlaq dalam ajaran agama Islam mencakup keseluruhan sendi kehidupan manusia, agar manusia sebagai Khalifah fi al ardl dapat benar-benar mewujudkan perannya sebagai wakil Allah SWT di bumi. Intinya, Islam mengatur agar manusia belajar dari semua hal yang telah diciptakan dan diatur oleh Allah SWT. Islam memandang keberhasilan pendidikan bukan hanya terletak pada manfaat secara pribadi yang dirasakan oleh peserta didik, tetapi lebih pada nilai manfaat bagi seluruh wilayah, bangsa, negara dan alam.

Terciptanya kehidupan yang teratur, damai dan sejahtera itulah yang dikehendaki dalam pendidikan Islam. Hal itu akan terwujud jika masing-masing pribadi sadar betul akan perannya masing-masing dalam menjalani “lakonnya” dalam sebuah pentas yang bernama DUNIA.



[1] Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1992, hlm. 45

[2] S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta, 1992, hlm.3

[3] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1988, hlm. 251

Yang menjadi pembeda antara bangsa kita dengan bangsa lain yang lebih “maju” , adalah sikap dan perilaku sebagai hasil dari pendidikan bangsa itu sendiri yang seringkali mengabaikan proses dan selalu mengedepankan “nilai” sebagai angka-angka mati yang dapat dihasilkan secara instan.