01 Juni 2009

GUNUNG SLAMET "WATUK"

GUNUNG SLAMET “WATUK”

( Catatan Fenomena Mistis

Ingkang Mbahurekso Slamet )

Oleh : Muhammad Subkhan*



Sebagai negara yang dilalui oleh cincin api pasifik, jelas Indonesia terdapat banyak dengan keberadaan gunung berapi. Catatan United State Geological Survey (USGS) menyebutkan, lebih dari 60 gunung berapi yang besar terdapat di Indonesia.

Istilah gunung berapi digunakan untuk menyebut setiap lubang dalam kerak yang dilalui batuan cair (magma), gas, dan pecahan-pecahan batuan saat meletus (terlempar keluar). Kata tersebut juga untuk menyebut bentuk-bentuk tanah yang secara perlahan meninggi saat material diendapkan pada permukaan setelah beberapa letusan. Material tersebut akhirnya membeku membentuk batuan vulkanis. Letusan terjadi apabila magma naik melintasi kerak bumi dan muncul di atas permukaan. Pada dasarnya, gunung berapi terbentuk saat pertama kali magma meletus ke permukaan. Begitu telah terbentuk, gunung berapi tersebut akan tetap meletus selama masih banyak magma yang terkandung di dalamnya, walaupun antara letusan-letusannya, sangat dimungkinkan membutuhkan waktu yang relative cukup lama bagi manusia, yaitu puluhan, ratusan dan bahkan ribuan tahun lamanya.

Gunung Slamet, salah satu diantara gunung-gunung berapi besar di Indonesia berada di Jawa Tengah. Dengan ketinggian 3.432 meter di atas permukaan laut, Slamet terhitung tertinggi kedua di Pulau Jawa setelah Semeru di Jawa Timur. Slamet berada di lima kabupaten, yaitu ; Brebes (melalui Puncak Sakub Kaligua dan Kaliwadas), Tegal (melalui Guci Bumijawa), Pemalang (melalui Gambuhan), Purbalingga (melalui Bambangan) dan Banyumas (melalui Baturaden). Sejak tahun 1772 Slamet telah lebih dari 41 meletus.

Aktivitas Slamet sejak pertengahan April lalu mulai meningkat. Gunung berapi yang menjadi lambang keperkasaan masyarakat lima kabupaten itupun mulai “batuk-batuk”. Dengan sigap, pemerintah daerah lima kabupaten itupun mulai mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan terburuk atas aktifitas yang kian ditingkatkan sejak “batuknya”. Hal tersebut memang telah menjadi kewajaran, mengingat jika terjadi letusan besar maka penduduk di sekitarnya akan menghadapi berbagai macam bahaya yang, yaitu aliran lava bersuhu 700 – 1200 derajat celcius, banjir lahar, hujan abu, awan panas bersuhu lebih dari 6000 derajat celcius, kebakaran hutan, semburan gas beracun, dan gempa bumi.

Berdasarkan pengamatan kami yang ingin numpang “bermanfaat” bagi orang lain dalam suatu wadah Tim SAR Kabupaten Brebes, aktifitas Slamet (yang pada umumnya dapat dilihat pada malam hari) dengan letusan-letusan disertai gempa-gempa yang dapat dirasakan di desa-desa terdekat masih belum menunjukkan kekhawatiran yang berlebih pada masyarakat sekitar. Berbagai jenis letusan digolongkan berdasarkan cara keluar lava. Ini sangat bergantung pada kekentalan lava dan kemudahan gas-gas yang terperangkap di dalamnya dapat lepas. Gas-gas mudah lepas dari lava yang tidak kental, tetapi pada lava yang lebih kental, gas yang terlepas menimbulkan letusan. Saat magma mendekati permukaan, tekanan berkurang dan gas-gas vulkanis membentuk gelembung-gelembung kecil dalam magma, seperti gelembung-gelembung kecil yang terbentuk dalam sebotol air soda (karbonasi) karena tekannya berkurang saat kita membuka tutupnya secara perlahan.

Sementara ini, sejauh dalam pengamatan kami letusan-letusan yang terjadi di Slamet dapat dikatagorikan pada letusan jenis HAWAII yang cenderung lembut yang terjadi saat lava dalam keadaan encer dan magmanya kadang menyembur keluar dari diatrema membentuk pancuran lava. Namun bagaimanapun juga, hingga kini warga juga masih berjaga-jaga, walaupun sebagian besar masih mempercayai fenomena mistis yaitu turunnya Mbah Agung yang dipercaya sebagai yang Mbahurekso Gunung Slamet.

Belum lama ini masyarakat dan teman-teman Tim SAR Brebes dikejutkan dengan adanya penampakan Mbah Agung ini. Betapa tidak, tatkala Slamet menyemburkan lava encer sampai dengan ketinggian 50 – 400 meter dari kubah lava, sosok yang diyakini sebagai Mbah Agung ini muncul dalam gumpalan awan hitam yang menyerupai seorang nenek tua. Sementara masyarakat Kalikidang dan sekitarnya meyakini bahwa sosok dalam penampakan tersebut adalah bukan sosok sebenarnya, karena banyak masyarakat yang mempercayai bahwa Mbah Agung ini dapat menyerupai apa saja. Namun yang paling dijadikan sebagai pertanda buruk dengan gejala yang ditimbulkan oleh Gunung Slamet ini, disamping gejala-gejala ilmiah seperti gempa, munculnya geothermal (panas bumi), gas beracun dan bau belerang yang menyengat adalah turunnya binatang-binatang gunung akibat kegelisahan yang dirasakannya serta turunnya Mbah Agung dalam wujud seekor macan yang berbadan besar.

Teman-teman yang mencoba menyelusur di kaki lereng-lerang Gunung Slamet memaparkan, bahwa mereka pernah bertemu dengan serombongan macan dan binatang-binatang lain termasuk turunnya ular-ular besar (dengan ukuran minimal selebar daun pintu berukuran 80-100 cm). Kumpulan binatang-binatang gunung ini, menurut pengamatan dari teman-teman yang berada di posko Baturaden, Bambangan dan Pandansari telah turun dan berada di wilayah Rata amba (sebuah wilayah lereng yang berada di barat daya Gunung Slamet)

Fenomena-fenomena mistis semacamnya, dipercaya atau tidak memang terjadi di gunung-gunung, bahkan ditempat lain seperti laut, udara, dan bahkan di rumah tempat tinggal kita. Hanya saja yang penulis rasakan lebih “menggigit” adalah fenomena mistis di gunung. Bagaimanapun keberadaannya masih menjadi bahan perdebatan di kalangan masyarakat, namun bagi kami yang ingin “menyatu dengan alam” fenomena tersebut nyata adanya.

Walau demikian, sikap waspada terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh aktifitas Slamet ini harus sedini mungkin telah dimiliki warga dan pihak-pihak yang terkait dengan penanggulangan bencana alam lainnya. Transformasi pengetahuan ilmiah terhadap kegiatan gunung berapi sudah harus tersampaikan kepada masyarakat, termasuk juga dalam kegiatan ini adalah latihan-latihan evakuasi serta penggunaan bahan makanan dan minuman, juga penyebaran penyakit akibat gas beracun dan lain sebagainya.

Wallahu a’lam ...

---------------------------------------

· Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Pecinta Alam Bumiayu, saat ini mengampu Mata Diklat Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMK Negeri 1 Tonjong Kabupaten Brebes